RSS

MENENGOK SEJARAH INDONESIA DI BENGKULU.


Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Banyak sudah cerita tentang perjuangan para pahlawan dalam upaya merebut kemerdekaan Indonesia. Namun, di balik cerita-cerita heroik berhiaskan pertumpahan darah, tak sedikit benda atau tempat yang menjadi saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Bengkulu, salah satunya. Wilayah yang sejak 18 November 1968 menjadi provinsi ke-26 ini merupakan salah satu saksi bisu lahirnya negara Republik Indonesia. Dan berikut adalah, tiga lokasi bersejarah di kota yang dulu disebut Bencoolen ini.

RUMAH PENGASINGAN BUNG KARNO.

Tepat di pinggir Jalan Soekarno - Hatta, Anggut Atas, Gading Cempaka, Bengkulu, sebuah rumah dengan desain khas era kolonial berdiri gagah. Sebuah penanda bangunan yang terbuat dari beton terpancang di halaman depan rumah bertuliskan informasi bangunan bersejarah tersebut. Halaman terlihat rapi tertata, pepohonan di sekitar rumah membuat suasana semakin terlihat asri. Menyusuri jalan setapak menuju pintu rumah, seakan membawa kita masuk ke kapsul waktu. Begitu jarak semakin dekat, kita akan disambut oleh juru pelihara rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu ini.


Sebelum masuk ke dalam bangunan, pengunjung wajib mengisi buku tamu yang telah disediakan. Demi menghormati dan menjaga kebersihan salah satu bangunan warisan Sang Proklamator, pengunjung juga diwajibkan untuk membuka alas kaki sebelum memasuki ruang demi ruang. Begitu telapak kaki menginjak lantai teras sederhana yang tidak berubin dan hanya dibuat dari semen itu, hawa dingin langsung merayap pelan dan memberi kesegaran di tengah udara siang Bengkulu yang panas. Sekilas, tidak ada yang istimewa dari bagian teras bangunan ini, selain kisi-kisi di atas pintu yang berornamen Tiongkok.

Menurut cerita sejarah, bangunan ini awalnya adalah milik seorang pedagang yang bernama Tjang Tjeng Kwat, sebelum akhirnya menjadi tempat tinggal Presiden Ir. Soekarno selama diasingkan di Bengkulu sejak 1938 sampai 1942. Ruangan pertama yang dilihat begitu memasuki rumah ini adalah sebuah ruang tamu kecil dengan perabotan kuno yang terbuat dari kayu. Berbelok ke kanan, adalah ruang kerja Presiden pertama Indonesia. Di ruang itu terdapat meja dan kursi kayu sederhana tanpa ukiran rumit dikelilingi rak buku yang menemani Ir. Soekarno di masa pengasingan. Sebagian buku beragam judul yang nyaris semuanya berbahasa Belanda itu terlihat usang dimakan waktu. Sebagian buku sudah diperbaiki, yang tentu saja prosesnya tidak mudah dan memerlukan tenaga ahli. Di ruangan ini juga kita bisa melihat beberapa gambar bangunan yang dibuat Ir. Soekarno selama di Bengkulu. Di antaranya desain rumah sahabat dan Masjid Jami yang hingga saat ini masih berdiri.


Tepat di sebelah ruang kerja, terdapat ruang penyimpanan kostum teater sandiwara bernama Monte Carlo asuhan Ir. Soekarno. Bersama Ibu Inggit Ganarsih dan sahabatnya kala menjalani pengasingan di Bengkulu, Ir. Soekarno rajin menggelar pementasan teater. Naskah yang dipentaskan Monte Carlo adalah karya Ir. Soekarno, di antaranya berjudul Dr. Syaitan, Rainbow (Poetri Kentjana Boelan), Chungking Djakarta, dan lain-lain. Drama Dr. Syaitan dan Rainbow menjadi drama favorit warga Bengkulu kala itu. Dari informasi yang tercetak di dekat lemari kostum, diketahui bahwa naskah Dr. Syaitan ditulis Ir. Soekarno karena diilhami oleh film Frankenstein. Sementara naskah bertajuk Rainbow bercerita mengenai kisah gadis yatim piatu dari keluarga bangsawan Sungai Lemau yang diangkat anak oleh seorang pembesar dari Inggris.

Rumah ini tetap terjaga keasliannya. Kalaupun ada perbaikan, semuanya diganti mendekati aslinya. Tak hanya bentuk, tapi juga bahannya. Misalnya, mengganti kayu pagar dan atap rumah yang sudah lapuk atau dimakan rayap. Engsel pintu rumah ini juga sebagian sudah diganti karena rusak. Cukup susah mencari engsel handle pintu dan kunci pengganti, karena sudah tidak ada yang memproduksi lagi. Beruntung, pengelola berhasil mendapatkannya dari sebuah rumah tua yang ada di Yogyakarta.

RUMAH KELUARGA IBU FATMAWATI.


Menelusuri sejarah Kota Bengkulu terasa kurang lengkap jika tidak melangkahkan kaki ke rumah Ibu Negara pertama Indonesia. Rumah yang terletak di Jalan Fatmawati, Kelurahan Penurunan ini berada tak jauh dari rumah pengasingan Ir. Soekarno. Berdasarkan cerita sejarah, di tahun 1943 Ibu Fatmawati menikah dengan Ir. Soekarno. Dari tangan perempuan kelahiran Bengkulu, 5 Februari 1923, putri pasangan Hassan Din dan Siti Chadijah ini, bendera pusaka Sang Saka Merah Putih hadir menjadi simbol kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 silam. Bendera yang dijahitnya dikibarkan untuk pertama kali usai Ir. Soekarno membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur (kini bernama Jalan Proklamasi) Nomor 56, Jakarta.

Dari pernikahannya dengan Ir. Soekarno, Ibu Fatmawati melahirkan Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnputri, dan Guruh Soekarnoputra. Beliau meninggal pada 14 Mei 1980 di Malaysia dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.


Rumah kediaman Ibu Fatmawati ini terbuat dari kayu bercat cokelat dan terlihat sangat sederhana. Berbentuk panggung seperti rumah zaman dulu di kawasan Bengkulu, patung setengah badan Ibu Fatmawati menyambut di halaman. Dihiasi bendera merah putih, di halaman yang berukuran tidak terlalu besar itu berdiri sebuah panggung. Menjelang 17 Agustus ada banyak kegiatan yang dilaksanakan di sana. Salah satunya acara bertajuk Merajut Nusantara. Di acara ini, para pengunjung dapat menjahit duplikat bendera pusaka.

Berdiri di beranda, menghadap pintu masuk rumah berlantai kayu ini, pengunjung dapat melihat langsung ke bagian belakang. Tidak banyak ruangan di rumah ini. Kamar tidur pun jumlahnya hanya dua. Karena Ibu Fatmawati merupakan anak semata wayang. Di salah satu ruangan, terdapat mesin jahit berwarna merah yang terlihat usang termakan usia. Dari keterangan yang diberikan, mesin jahit inilah yang digunakan Ibu Fatmawati untuk menjahit bendera pusaka di Jakarta.  Mesin jahit inilah yang menjadi saksi bisu sejarah Indonesia. Waktu itu, dengan tangannya, Ibu Fatmawati menggunakan mesin jahit ini untuk menyatukan dua kain berwarna merah dan putih. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan, berkutat menyempurnakan bentuk bendera. Dengan semangat kebangsaan dan jiwa patriot yang tinggi, lewat karyanya, Fatmawati mengantar negeri ini menuju kemerdekaan.


Hingga saat ini, kebanggaan warga Bengkulu terhadap Ibu Fatmawati tidak pernah pupus. Bahkan, demi menghormati namanya, 14 November 2001 silam, bandar udara di Bengkulu yang awalnya bernama Padang Kemiling berganti nama menjadi Bandar Udara Fatmawati.

BENTENG MARLBOROUGH.


Mengikuti jejak kehadiran Sang Proklamator di wilayah Bengkulu membawa kaki melangkah ke Benteng Marlborough. Di salah satu penjara dalam benteng ini, Ir. Soekarno pernah mendekam. Benteng peninggalan penjajahan Inggris yang hingga kini masih berdiri kokoh ini menjadi bukti bahwa kekayaan dan kecantikan Indonesia memang telah lama membius dunia. Dari daftar penguasa benteng pun dapat diketahui bahwa Bengkulu menjadi rebutan negeri penjajah. Benteng Marlborough didirikan oleh East India Company (EIC) sejak tahun 1713 hingga 1719 di bawah pimpinan Gubernur Joseph Callet. Benteng ini menjadi pusat pemerintahan Inggris di Bengkulu.

Marlborough jatuh ke tangan Hindia Belanda pada tahun 1825-1942, lalu dikuasai Jepang di tahun 1942-1945. Ketika Jepang terusir dari Bumi Pertiwi, benteng ini sempat menjadi markas Polri. Namun, tahun 1949-1950, Marlborough diduduki oleh Belanda. Hingga kemudian tahun 1950 sampai 1977, Marlborough digunakan sebagai markas TNI-AD. Tahun 1977, benteng diserahkan ke Depdikbud untuk dipugar dan berubah fungsi menjadi bangunan cagar budaya.


Mengunjungi Marlborough cukup menarik. Selain dapat melihat pemandangan kota dan laut Bengkulu yang indah, informasi yang didapat dari keberadaan benteng ini menambah wawasan dan pengetahuan akan sejarah Indonesia.




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar