RSS

TRADISI : KISAH PARA IBU PENGANYAM TIKAR PURUN DI OGAN KOMERING ILIR, PALEMBANG, SUMATERA SELATAN.


Suatu siang, belasan ibu-ibu duduk di lantai kayu sebuah rumah berbentuk panggung yang ada di Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Palembang, Sumatera Selatan. Sambil duduk lesehan, jari jemari ibu-ibu dari berbagai usia itu dengan cekatan mengenyam lembar demi lembar purun membentuk sebuah lembaran tikar dengan warna-warni indah. Untuk memecah kesunyian, sambil terus menganyam mereka incang-incangan, yaitu menyenandungkan lagu yang liriknya diambil dari pantun yang memiliki makna harapan, doa, perjalanan hidup, sampai keceriaan hati yang disenandungkan saling bersahut-sahutan.

Karena dilakukan dengan penuh ceria, tanpa terasa anyaman sudah selesai. Banyak pula. Menganyam tikar purun bersama-sama memang menjadi kegiatan keseharian ibu-ibu desa setempat. Purun sendiri adalah tumbuhan liar yang bentuknya lebih besar dari lidi yang panjangnya bisa mencapai sekitar 2 meter. Purun yang tumbuh liar di atas lahan gambut menjadi bahan utama untuk membuat tikar. Desa Menang Raya memang dikenal sebagai kota tikar, di mana hampir 90 persen ibu-ibu yang ada di sini mata pencahariannya menganyam tikar. Tidak ada yang tahu persis, sejak kapan perempuan warga desa ini menjadi penganyam tikar purun. Yang jelas, sejak nenek moyang secara turun temurun sudah melakukan pekerjaan tersebut di sela-sela pekerjaan utama sebagai ibu rumah tangga.


Mereka menganyam tikar purun setelah memasak nasi untuk keluarga, bersih-bersih rumah, dan mengasuh anak. Karena itu kegiatan menganyam tikar purun itu dilakukan siang sampai sore, dan terkadang masih ada yang melanjutkan menjelang tidur di rumah masing-masing. Tradisi membuat anyaman purun ini ternyata tidak hanya dilakukan perempuan dewasa saja, tetapi juga anak-anak. Tak heran, setiap hari anak-anak melihat ibu mereka menganyam sehingga kebiasaan itu menular. Anak-anak di Desa Menang Raya sejak umur tujuh tahun sudah ikut menganyam. Biasanya mereka melakukan sepulang sekolah.

Tapi, purun tidak serta merta bisa dijadikan tikar. Usai diambil dari ladang gambut, masih harus melalui proses yang cukup panjang. Setelah dijebol dari akarnya, tanaman liar yang tumbuh di atas gambut berair itu kemudian dipotong rata agar panjangnya sama dan dibersihkan akarnya. Selanjutnya, batangan purun tersebut dijemur di bawah terik matahari antara tiga sampai empat hari agar benar-benar kering. Karena itu, kalau musim hujan tiba mereka agak kesulitan, sebab purun yang dijemur tak kunjung kering.


Usai dijemur, proses berikutnya batangan purun ditumbuk dengan lesung sampai menjadi lembaran pipih. Sesudah itu baru dilakukan proses pewarnaan dengan cara lembaran purun dimasukkan ke cairan pewarna yang mendidih di atas tungku dari tanah liat. Setelah warna terlihat melekat dengan baik, purun kemudian dijemur lagi sampai kering, setelah itu baru dianyam. Pada musim kemarau, proses awal sampai akhir paling tidak membutuhkan waktu 7 sampai 10 hari dari batangan purun sampai bisa dijadikan bahan baku tikar.

Namun, tidak semua pembuat tikar mengambil sendiri purun ke rawa gambut. Mereka lebih banyak yang membeli dari para pencari purun di rawa gambut yang ada di kawasan air hitam yang berjarak tempuh sekitar 2,5 jam menggunakan perahu klotok. Satu ikat purun dihargai Rp 7000 dan bisa digunakan untuk membuat tiga lembar tikar ukuran lebar 1 meter x 1,5 meter. Jika sudah jadi, selembar tikar dijual ke tengkulak dengan harga Rp 7000.



Bagi para ibu Desa Menang Raya, membuat tikar adalah sumber kehidupan mereka. Kebanyakan mereka adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Jadi, membuat tikar ini lumayan untuk membantu ekonomi keluarga. Karena itu, purun bagi mereka adalah napas kehidupan. Dalam sehari, para wanita ini bisa membuat 2-3 lembar tikar. Tikar made ini Desa Menang Raya ini sudah terkenal di mana-mana, tidak hanya di Palembang, tetapi sudah merambah ke berbagai daerah bahkan sampai ke Pulau Jawa.

Dengan berjalannya waktu, anyaman purun tidak hanya dijadikan tikar, tetapi dengan sentuhan berbeda bisa dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan lain, mulai tas, dompet, sampai sandal hotel. Bahkan, belakangan, untuk menambah nilai dan keindahan, anyaman purun dikombinasikan dengan kain batik Palembang atau bahan-bahan etnik lainnya untuk dijadikan sebuah produk. Untuk tas misalnya, bunga-bunga yang menjadi hiasan dikombinasikan dengan kain batik agar terlihat lebih mewah.


Mastuti, adalah salah satu pengrajin yang membuat berbagai produk dari bahan purun. Ibu lima orang anak ini awalnya adalah seorang penganyam tikar purun. Namun, pada sekitar 2008, ia mendapat tawaran dari Dinas Perindustrian Kabupaten OKI untuk ikut pelatihan memanfaatkan anyaman purun menjadi berbagai kerajinan. Sejak mendapat ilmu tambahan tersebut, dia memiliki lebih banyak variasi, tidak sekedar menjual tikar purun. Meski tikar tetap ada, saat ini ia lebih fokus pada craft, karena hasilnya lebih menjanjikan.

Saat ini, ketika mendapat banyak pesanan, istri dari Hanif Nurdin ini akan melibatkan anak dan kerabatnya untuk mengerjakan, mengingat dia belum memiliki karyawan. Yang menjadi persoalan adalah, dia kurang mendapat kesempatan memasarkan hasil karyanya lebih luas, misalnya melalui pameran atau kegiatan lainnya. Selama ini pembeli datang ke desanya untuk melihat dari dekat hasil kerajinan setempat. Mastuti sebetulnya menginginkan bisa sering mengikuti pameran ke luar kota supaya makin banyak pesanan yang datang. Kalau dilihat dari hasil kerajinan yang dibuat, harga yang dipatok Mastuti relatif murah. Misalnya, tas pesta dengan bentuk dan kualitas cukup bagus dijual dengan harga Rp 50.000. Bagi Mastuti, ia tidak perlu menjual mahal-mahal produknya, karena yang penting bisa memutar modalnya saja sudah bagus.


Akan tetapi, semakin hari, luas lahan gambut yang tersedia makin menipis jumlahnya. Dengan sendirinya, jumlah purun pun juga berkurang. Tak bisa dibayangkan andaikata lahan gambut sebagai tempat tumbuhnya purun tidak ada lagi. Warga Desa Menang Raya tidak tahu harus kemana lagi mencari nafkah. Bahkan, ketika beberapa tahun lalu terjadi kebakaran hutan, tidak ada purun sama sekali, kehidupan mereka menjadi susah. Mereka memang sangat khawatir lahan tempat tumbuh purun lenyap. Di atas kertas, Desa Menang Raya memang bisa jadi desa termiskin lantaran masyarakatnya tidak punya sumber mata pencaharian lain. Saat ini, ada sekitar 2000 ibu-ibu yang mengais rezeki dari membuat tikar purun.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PESONA WISATA ATAMBUA - NUSA TENGGARA TIMUR : Bagai Gadis Remaja Yang Mulai Bersolek.


Bagai gadis yang beranjak remaja, Atambua, Nusa Tenggara Timur, mulai bersolek. Terlepas dari berbagai pembangunan fisik yang mulai menggeliat, Atambua menyimpan kekayaan wisata yang sayang untuk dilewatkan. Bukan hanya cuacanya yang hangat, sambutan masyarakat Atambua kepada pengunjung dan wisatawan pun juga tak kalah hangat. Senyum disertai sapaan, "Selamat pagi, siang, sore atau malam" mencerminkan keramahtamahan warga ibukota Kabupaten Belu, NTT ini, sekaligus menunjukkan hal kecil yang mungkin sudah mulai redup di kota-kota besar di Indonesia.

Nama kota ini dulu ramai diberitakan kala menjadi salah satu daerah penampungan warga asal Timor Timur yang kemudian menjadi Timor Leste di tahun 1999, saat Timor Leste memutuskan lepas dari wilayah Negara Kesatuan RI melalui jalan referendum. Buah sirih, pinang dan bubuk kapur selalu tersedia di rumah maupun dalam tas kebanyakan masyarakatnya. Sirih kerap ditawarkan sebagai tanda persahabatan. Atambua merupakan kota terbesar kedua di Pulau Timor. Tak heran jika kota cantik ini menjadi kota multi etnis. Belu yang dalam bahasa Tetun, bahasa yang sering digunakan warga setempat, berarti "sahabat" atau "teman" ini, seperti menjadi fondasi dari kebhinekaan dan persaudaraan antar warga. Beragam suku, agama, ras, dan golongan tinggal bersama dengan semangat persaudaraan yang tinggi.


Kota Atambua dilayani 2 pelabuhan laut, yaitu Pelabuhan Atapupu dan Pelabuhan Teluk Gurita (Tegur). Di antara pantai berpasir halus, dua pelabuhan ini ramai disambangi warga setiap akhir pekan. Beragam kegiatan dilakukan di lokasi ini. Walau masih minim fasilitas umum seperti toilet, pantai ini terbentang panjang mengundang siapa pun untuk mampir dan menghabiskan waktu. Entah sekedar duduk menikmati keindahan alam menanti matahari terbenam, bercengkrama dengan kekasih atau keluarga, juga melakukan aktifitas memancing dari dermaga di pelabuhan. Pelabuhan Atapupu merupakan pelabuhan kargo, sementara Pelabuhan Tegur adalah pelabuhan kapal penumpang atau ferry yang melayani transportasi dari dan ke sejumlah tempat seperti Kupang dan Alor. Selain itu, di tempat ini juga dapat ditemui sebuah lokasi wisata Kolam Susu yang menjadi inspirasi lagu dari band legendaris Indonesia, Koes Plus. Atambua tak hanya memiliki lokasi wisata alam bahari. Bukit dan pegunungan yang membentang di wilayah ini juga menyimpan pemandangan yang tak kalah indahnya.


Masyarakat asli yang masih memegang teguh budaya juga menjadi kekayaan budaya Atambua yang sayang dilewatkan. Bila beruntung, pengunjung dapat menyaksikan perhelatan upacara tradisional. Misalnya upacara Gali Tulang. Dipimpin Kepala Dusun, warga menggali makam salah satu warga untuk dipindahkan ke makam baru. Sebelum dimasukkan ke liang lahat, kerangka dibersihkan dan dimasukkan ke dalam peti baru beserta kain tenun, makanan, serta minuman sebagai bekal di alam baka. Diiringi doa, peti ditutup dan digotong beramai-ramai untuk dimasukkan ke liang lahat. Tak lupa, beberapa ekor babi dan ayam dipotong, dimasak sebagai sajian penghormatan untuk warga yang datang.

Terdapat pula beberapa obyek wisata alam dan sejarah yang tak kalah menarik untuk dikunjungi. Di antaranya benteng tujuh lapis peninggalan masa penjajahan Belanda dan Jepang. Gua Kalelawar dan air terjun Mauhalek yang tidak pernah kering sepanjang tahun. Terletak di Dusun Fatumuti, Desa Raiulun, Kecamatan Lasiolat, Kabupaten Belu, air terjun Mauhalek dapat dicapai dengan kendaraan bermotor melewati jalan beraspal. Kondisi jalan menuju wisata alam ini masih tidak terlalu ramai bahkan cenderung sepi. Permukaan jalan yang halus dan berpemandangan cantik di kanan dan kiri jalan membuat perjalanan tidak membosankan. 


Berbatasan langsung dengan Timor Leste, Atambua menjadi salah satu pintu gerbang masuknya wisatawan asing. Tak heran jika kemudian pemerintah pusat mulai giat melakukan pembangunan di kota ini. Selain pembangunan jalan, sebuah gedung berarsitektur rumah adat di kawasan kota Mota'ain disulap menjadi kantor imigrasi. Untuk mencapai perbatasan, dibutuhkan waktu kurang dari sejam perjalanan darat dari kota Atambua. Kondisi jalan menuju perbatasan ini sepi, mulus, dan rapi. Namun jangan sampai terlena dan menurunkan kewaspadaan. Pasalnya, hewan ternak berupa ayam, sapi, dan kambing kerap berdiri di pinggir atau bahkan di tengah jalan.


Dari gedung ini, wisatawan dapat berjalan kaki mencapai gerbang negara Timor Leste. Jangan lupa, siapkan paspor dan uang sebesar 30 USD jika ingin melanjutkan perjalanan ke Dili atau kota lain di Timor Leste. Tapi, tidak perlu menyiapkan paspor atau membayar jika hanya ingin melihat kondisi di sekitar perbatasan. Tidak banyak yang bisa dilihat di perbatasan ini, namun pengunjung bisa berbelanja di sebuah pasar bebas pajak yang ada di dekat kantor imigrasi Timor Leste. Pasar ini pun belum sepenuhnya beroperasi, dan hanya ada satu toko serta beberapa gerobak makanan dan minuman yang dapat ditemui. Aktivitas jual beli di tempat ini tidak terlalu merepotkan karena pedagang masih bisa berbahasa Indonesia. Bahkan, sayup-sayup masih terdengar musik Indonesia mengalun dari Pos Keamanan penjaga perbatasan Timor Leste. Walau transaksi menggunakan uang dolar Amerika Serikat, rupiah pun masih diterima pedagang. Minuman yang dijual di tempat ini kebanyakan didatangkan dari berbagai negara seperti Portugal dan Australia. Khusus untuk minuman keras, setiap satu orang pengunjung yang akan kembali ke Indonesia tidak diperbolehkan membawa lebih dari satu botol minuman keras.


Menurut data imigrasi, jumlah wisatawan asing yang datang ke Atambua melalui gerbang di Mota'ain menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Agar jumlah kedatangan wisatawan mancanegara terus meningkat, sejak pertengahan tahun 2016, pihak Kementerian Pariwisata menggelar Festival Crossborder. Festival ini dimeriahkan dengan hadirnya beragam musisi lokal dan ibu kota. Setiap bulan, festival ini selalu dipadati pengunjung lokal maupun dari negara tetangga. Festival Crossborder sendiri diadakan di wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Timor Leste, dan Papua Nugini. Selain untuk meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara, acara ini juga dapat mengikat tali persaudaraan dengan negara tetangga, sekaligus branding 'Wonderful Indonesia'.

Musisi ibukota pun kerap meramaikan festival ini. Khusus untuk festival di Atambua, pernah dihadirkan Kikan, Roy Jeconiah, Fade to Black, juga pemenang The Voice Indonesia. Selain diadakan di Atambua, acara serupa juga sempat diadakan di Dili, Timor Leste. Acara ini secara langsung juga membantu menggulirkan roda ekonomi kreatif masyarakat setempat. Masyarakat yang berjualan di arena bazar mengaku, kegiatan ini membuat penjualan mereka naik.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

WISATA PULAU SAMOSIR DI TENGAH DANAU TOBA - SUMATERA UTARA

Pulau di tengah Danau Toba ini memiliki banyak tempat wisata, mulai dari budaya, alam, suvenir, hingga kuliner. Siapkan waktu luang karena tak cukup satu hari untuk menikmati wisata yang ada di sana.

MAKAM RAJA SIDABUTAR


Makam ini terletak di kawasan Pasar Tomok, tak jauh dari dermaga. Memasuki gerbang areal makam, tiang kayu tinggi dengan ukiran cicak dan payudara yang menjadi filosofi Batak berada di kanan dan kiri anak tangga. Areal ini memang letaknya lebih tinggi dari jalanan pasar dan terbagi menjadi dua, yaitu deretan bangku semen untuk duduk di sebelah kiri dan makam-makam dengan beberapa ukuran di sebelah kanan. Anda bisa menyewa pemandu tur yang tersedia di dermaga Tomok untuk menerangkan berbagai tempat wisata yang ingin didatangi, termasuk ke makam ini. Jadi, anda tak sekedar melihat tanpa tahu cerita di baliknya. Untuk ukuran masyarakat setempat, semua makam di areal Makam Raja Sidabutar terbilang kecil. Sebab, di pulau Samosir, ada makam yang ukurannya besar, dilengkapi dengan dua daun pintu yang lebar dan memiliki teras.

Beberapa Raja Sidabutar dimakamkan di areal ini bersama beberapa makam lain yang berisi tulang belulang tentara dan keluarga kerajaan yang tewas saat perang pada saat itu. Kuburan tertua di areal itu adalah kuburan Raja Sidabutar pertama, di mana wajah raja dipahat di sana. Letak makam berusia 580 tahun ini ada di sebelah kiri makam terbesar. Makam yang lebih besar dan ukirannya lebih mulus adalah makam Raja Sidabutar kedua yang merupakan cucu dari Raja Sidabutar pertama. Menariknya, makam yang terbuat dari batu ini bisa dibuka dengan cara digeser bagian tengahnya. Makam ini pernah dibuka pada tahun 1983 saat upacara pembersihan tulang belulang. Saat itu, rambut panjang Sang Raja yang menunjukkan ilmunya sudah tinggi, masih tetap ada. Begitu pula dengan gigi dan kulit tubuhnya.


Raja kedua ini menganut agama Parmalim, agama kuno yang kini masih banyak dianut orang Batak di Samosir. Sementara, raja ketiga dan seterusnya menganut agama Kristen. Yang menarik, di atas makam raja kedua terdapat patung perempuan berukuran kecil. Perempuan yang konon tercantik di Samosir pada zamannya tersebut sangat istimewa bagi raja kedua, karena itulah cinta pertamanya. Raja kedua jatuh cinta pada Anting Malela Br. Sinaga, nama perempuan itu. Pada hari pesta pernikahan akan dilangsungkan, salah satu tamu undangan sangat cemburu Anting Malela dipinang raja. Ia lalu membaca guna-guna untuk membatalkan pernikahan itu. Rupanya, cara itu berhasil karena mendadak perempuan cantik itu mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak pantas dan tak bersedia dinikahi raja.

Raja tahu bahwa Anting Malela diguna-guna. Ia lalu mengucapkan mantra untuk menghilangkan mantra tamu tersebut. Namun, rupanya tubuh Anting Malela tidak sanggup menerima dua mantra sekaligus. Ia pun jadi gila dan sejak saat itu sering berkeliaran ke sana-sini. Ia menghilang tanpa diketahui keberadaannya. Untuk mengenang cinta pertamanya itulah, patung Anting Malela diabadikan di atas makam raja.

PASAR TOMOK


Begitu sampai di Tomok, anda bisa langsung berbelanja suvenir sesaat turun dari kapal. Maklum, Pasar Tomok yang menjadi pusat suvenir di Samosir memang berada di pinggir danau. Sepanjang jalan yang menyerupai lorong, di kanan-kiri anda bisa memilih bermacam-macam barang yang bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Mulai dari kaus, setelan kulot, sampai baju anak-anak dengan gambar dan tulisan Danau Toba atau Samosir. Juga cinderamata khas Batak seperti tas dan dompet kulit, rajut, kain, ulos, gelang, hiasan dinding dan meja, kalender Batak, gantungan kunci, bahkan kopi bubuk khas Sumatera dan makanan. Harganya pun bervariasi, mulai dari ribuan hingga ratusan ribu rupiah. Para pedagang dengan ramah akan mempersilahkan anda mampir dan meminta menawar harganya.

Harga yang ditawarkan umumnya lebih murah dibandingkan barang yang sama yang dijual di Parapat, Kabupaten Simalungun atau bandara. Bila datang ke sana sesaat toko-toko dibuka, anda bisa mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah, karena dianggap sebagai penglaris. Hanya saja, perlu ketelitian agar bisa mendapatkan baju atau kaus dengan kualitas bagus, mengingat di sana kualitas yang ditawarkan rata-rata biasa saja, bahkan cenderung kurang bagus. Tak hanya pedagang di toko yang menawarkan dagangan mereka. Penjual ikan asin yang menggelar dagangannya di atas tampah seadanya pun tak mau ketinggalan. Ikan yang mereka jual umumnya adalah ikan nila atau ikan lain yang diambil dari Danau Toba.

DAMASUS RESTO


Dari kejauhan, bila anda datang ke Pulau Samosir dengan kapal, tempat makan yang memanjang ke samping ini sudah terlihat. Letaknya yang persis di pinggir danau sehingga membuat pengunjung yang datang bisa langsung menambatkan perahu atau kapal di depannya. Meski menyandang kata resto di bagian belakangnya, tempat makan yang satu ini sebetulnya terbilang sangat sederhana. Malah, lebih mirip warung. Hanya saja, ada banyak meja dengan bangku-bangku panjang di sana, menandakan ramainya pengunjung yang datang. Meski bentuknya mirip warung, rasa yang ditawarkan tak kalah dengan rumah makan besar di Jakarta yang menawarkan menu serupa. Tumis kangkung dan tauge yang harganya Rp 25.000 per porsi sangat renyah dan lezat. Kepiawaian Mia Br. Silalahi, pemilik Damasus, dalam mengolah ikan juga membuat mulut rasanya tak ingin berhenti mengunyah. Jangan berharap menu ayam di sini, karena Mia memang sengaja berniat mengembangkan ikan hasil tangkapan dari Danau Toba.

Damasus hanya menyuguhka ikan nila, mas, lele, dan udang lobster. Khusus ikan, bisa disajikan dalam masakan tauco, kukus, goreng, atau bakar, yang ditawarkan mulau dari harga Rp 30.000-Rp 55.000 per porsi untuk setengah kilogram. Sedangkan udang yang per porsinya dibanderol Rp 90.000 bisa dimasak dalam dua pilihan, saus tiram atau tauco. Untuk minuman, Mia juga menyediakan jus yang ditawarkan dengan harga Rp 15.000. Semua ikan dan udang diambil langsung dari keramba sebelum dimasak, untuk menjaga kesegaran dan kelezatan rasanya. Malah, kalau tak terlalu ramai, pembeli dipersilahkan mengambil sendiri dari keramba agar bisa memilih. Tak heran, rasa manis ikan tetap terasa ketika disantap.


Mia memulai usaha kuliner ini sejak 2001, tapi saat itu yang lebih difokuskan adalah bisnis keramba. Damasus yang namanya diambil dari nama anak sulungnya ini baru dikenal orang sebagai tempat makan pada 2004. Bermula dari para relasi suaminya yang kerap berkunjung ke tempatnya kalau ada acara di Danau Toba. Mereka kerap minta dimasakin ikan, dibakar, atau dibuat arsik. Karena menganggap masakan Mia enak, mereka pun mencetuskan ide agar Mia membuat rumah makan. Dari cerita mulut ke mulut, akhirnya rasa ikan olahan ibu tiga anak ini membuat rumah makannya dikenal banyak orang. Berawal dari empat meja yang ditata di bawah pohon cemara di belakang rumah, pengunjung Damasus makin lama makin ramai. Terutama, ketika akhir pekan tiba. Kursi yang tersedia tak bisa lagi menampung mereka, sehingga Mia menambah meja menjadi 10 buah. Kini, Damasus memiliki 22 meja yang selalu penuh saat akhir pekan dan bisa menampung sampai 200 orang.

Bila hari besar seperti Lebaran, meja makan di restonya selalu penuh. Sampai-sampai mobil pengunjung pun susah parkir. Maka, Mia berencana untuk membesarkan lagi rumah makannya. Selain wisatawan dari Sumatera, tak jarang pejabat mulai dari bupati, sampai sekelas menteri dan jenderal pun ikut bertandang mencicipi menu Damasus. Sambil menikmati menu yang lezat, semilir angin dan pemandangan danau membuat siapa pun dijamin betah berlama-lama di sana.

MUSEUM RUMAH ADAT BATAK


Sama seperti Makam Raja Sidabutar, museum ini juga terletak di Tomok, tapi bukan di kawasan pasar. Museum ini berupa rumah adat yang terbuat dari kayu dengan anak tangga berjumlah ganjil, lantaran angka ganjil dipercaya membawa keberuntungan. Setelah sampai di atas, anda akan menemukan beberapa ruangan berlantai kayu berisi bermacam-macam perabotan. Untuk membangun rumah adat Batak sendiri konon dibutuhkan waktu bertahun-tahun, sehingga keluarga akhirnya tinggal dalam satu rumah sempit. Satu rumah biasanya ditempati 4-5 keluarga. Untuk membagi ruangan, semua perempuan dan laki-laki tidur secara terpisah lantaran di dalam rumah tidak terdapat kamar. Semua tidur beralaskan tikar. Untuk melakukan hubungan suami istri, sang suami harus mendirikan gubuk kecil di sawah atau ladang.

Rumah adat Batak pada zaman dulu cukup praktis dalam menyimpan barang. Hampir semua barang disimpan di atas, seperti yang terdapat di museum. Museum ini juga memajang kain tenun ulos yang umumnya dipakai pria dan perempuan Batak pada masa lalu. Bila anda menyewa pemandu, ia akan menjelaskan perbedaan pemakaian ulos untuk laki-laki dan perempuan, serta perlengkapannya. Anda juga bisa mencoba ulos dan mengabadikan gambarnya. Sehari-hari, laki-laki hanya memakai sarung dan tidak memakai baju maupun celana. Ikat pinggangnya menggunakan kulit kayu, sementara selendang ulos hanya dikenakan ketika mendatangi suatu acara. Keluarga raja umumnya ketika pergi membawa senjata berupa pedang dan mengenakan ikat kepala tertentu.


Di museum ini juga dipajang hombung, yaitu tempat tidur dari kayu besi yang sangat berat yang biasa dipakai para raja. Tempat tidur ini alasnya bisa dibuka untuk menyembunyikan harta atau raja ketika terjadi perang. Bermacam-macam ukura piring sapa, yaitu piring kayu yang sangat besar dan tebal seukuran kuali juga dipamerkan. Orang Batak pada zaman dulu punya kebiasaan makan bersama dengan menggunakan sebuah sapa. Makin banyak anak atau keluarga yang tinggal dalam rumah tersebut, makin besar piring yang digunakan. Sementara, keluarga yang belum memiliki anak menggunakan piring sapa yang paling kecil. Nasi dan lauk pauk diletakkan di atas sapa, lalu semua anggota keluarga dengan cepat akan menghabiskannya dengan tangan. Yang makan dengan lambat hanya akan mendapat sedikit makanan. Selain sapa dan hombung, ada pula beragam senjata dan peralatan dapur yang dipajang di museum. Semuanya terbuat dari kayu.

Selain yang telah disebutkan di atas, ada banyak lagi tempat wisata di Samosir. Antara lain Danau Sidihoni di Kecamatan Pangururan dan Danau Natonang di Kecamatan Simanindo. Keduanya kerap disebut sebagai danau di atas danau (di atas Danau Toba). Ada pula Batu Marhosa atau Batu Bernapas di Huta Sosortolong, Kecamatan Simanindo. Batu ini memiliki lubang sebesar bola pingpong yang mengeluarkan angin sejuk dari sisi tebing, sehingga mirip sedang bernapas. Konon, lubang batu ini tembus ke dasar Danau Toba dan angin yang berembus itu berasal dari embusan ombak danau. Mendapati embusan angin yang keras dipercaya masyarakat setempat akan mendapatkan rezeki besar. Lalu ada pemandian air panas di beberapa lokasi, termasuk di Pangururan.


Ada pula batu gantung yang bentuknya menyerupai patung orang, juga pertunjukan patung Sigale-Gale di Pasar Tomok. Patung ini konon bermula ketika seorang raja di Samosir sangat sedih ditinggal mati anak lekaki kesayangannya. Untuk mengobati rasa rindu raja, seseorang yang sakti membuatkan patung yang dibuat sangat mirip dengan wajah anak raja tersebut. Patung tersebut bisa bergerak-gerak, karena konon diisi roh, sehingga raja merasa terhibur dengan keberadaannya. Kini, patung yang kerap dipertunjukkan di berbagai acara adat maupun festival ini dibuat dari kayu dan ditarik dengan tali di bagian belakangnya, sehingga tangannya bisa bergerak dan matanya bisa berkedip.

Pulau Samosir sendiri merupakan pulau yang berada di tengah Danau Toba, Sumatera Utara, yang berjarak sekitar 223 kilometer dari Medan. Konon kabarnya, pulau ini memiliki luas yang sama dengan Singapura. Meski berada di tengah danau, pulau ini tak hanya bisa didatangi dengan perahu motor, karena sebetulnya ada jembatang sepanjang 20 meter yang menghubungkan Samosir dengan Sumatera. Jembatan yang disebut dengan Tano Ponggol tersebut berada di Pangururan, Samosir. Dengan jembatan ini, anda tak perlu memutari Danau Toba untuk menuju Samosir. Namun, bila anda berangkat dari Parapat, dibutuhkan kapal wisata untuk menuju ke sana.


Kapal biasanya berangkat dari dua pelabuhan, yaitu Ajibata dan Tigaraja. Ajibata umumnya mengangkut para wisatawan, sedangkan Tigaraja biasanya digunakan para penduduk lokal. Untuk menyeberangi danau selama sekitar satu jam, setiap penumpang diwajibkan membayar tiket senilai Rp 10.000. Anda bisa memilih duduk di lantai bawah atau naik ke lantai atas kapal. Duduk di lantai atas membuat anda lebih keras diterpa angin dan goncangan kapal lebih terasa saat kapal menabrak ombak. Namun, mata lebih leluasa menikmati pemandangan. tidak terbatas seperti bila anda duduk di lantai bawah. Bila anda ingin menginap, banyak pilihan yang tersedia, mulai dari penginapan sampai hotel berbintang. Sebelum menuju ke Samosir, sebaiknya siapkan uang tunai, karena di sana agak sulit menemukan mesin ATM.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MENIKMATI PEMANDANGAN TEBING DAN AIR TERJUN YANG INDAH DI LEMBAH HARAU - SUMATERA BARAT


Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, tidak hanya memiliki Kelok Sembilan. Di Kecamatan Harau yang berjarak sekitar 47 kilometer dari Bukittinggi, terdapat Lembah Harau yang memiliki pemandangan cantik. Sepanjang beberapa ratus meter di kiri dan kanan jalan di sana, anda akan disuguhi pemandangan hamparan sawah dengan tebing cadas setinggi 80-300 meter di belakangnya. Cuaca membuat tebing-tebing batu granit ini seolah bermotif dan berwarna-warni, yang membuat tebing tampak makin unik. Setelah melewati tebing-tebing tersebut, anda akan menemukan air terjun yang juga tinggi menjulang, persis di pinggir jalan. Airnya yang sangat jernih dan dingin membuat pengunjung tertarik untuk masuk ke dalam kolam yang dibuat di bawah air terjun tersebut. Tak sedikit pula yang berpose dengan latar belakang air terjun.

Konon, Lembah Harau disebut sebagai Yosemite-nya Indonesia. Yosemite adalah lembah yang juga memiliki tebing cadas dan air terjun tinggi di Taman Nasional Yosemite, Sierra Nevada, California, Amerika. Kecantikan pemandangan Lembah Harau sebetulnya telah menarik perhatian orang sejak zaman dulu. Salah satu buktinya, adanya sebuah monumen peninggalan Belanda yang terletak di bawah kaki air terjun Sarasah Bunta bertahun 1926.


Lembah Harau memiliki cagar alam yang memiliki beragam spesies tanaman hutan hujan tropis dataran tinggi yang dilindungi, juga sejumlah binatang langka asli Sumatera. Cagar alam ini diresmikan pemerintah pada Januari 1993. Kawasan Wisata Lembah Harau sendiri terdiri dari tiga resor, yaitu Resort Sarasah Bunta, Resort Aka Berayun, dan Resort Rimbo Piobang. Resort Aka Berayun menjadi favorit para pemanjat tebing lantaran memiliki bukit batu yang terjal. Selain itu, di resort ini juga terdapat air terjun Aka Berayun dan lokasi yang memiliki gema. Sempatkanlah untuk turun dari kendaraan, lalu berteriaklah kuat-kuat. Suara anda akan bergema lantaran terpantul tembok tebing. Lalu, di Resort Sarasah Bunta, terdapat beberapa air terjun, antara lain air terjun Sarasah Bunta, Sarasah Murai, dan Sarasah Aie Luluih.

Sarasah Bunta memiliki air yang terjun secara indah. Bila terkena sinar matahari, pantulannya tampak seperti bidadari yang sedang mandi. Lalu, di Sarasah Murai konon sering dijumpai burung murai yang sedang mandi sambil memadu kasih. Masyarakat setempat mempercayai bila mandi di air terjun ini akan segera mendapat jodoh. Sementara, di Sarasah Aie Luluih, bagian bawahnya memiliki kolam tempat mandi alami yang airnya sangat jernih. Air terjun ini turun mengalir melewati dinding batu. Air terjun inilah yang pertama akan anda jumpai di pinggir jalan di Lembah Harau. Konon, mandi atau mencuci muka di Sarasah Aie Luluih bisa menghilangkan jerawat dan membuat cantik dan tubuh awet muda. 


Puas mandi di bawah air terjun, anda bisa menyantap kerupuk laweh yang diberi mi basah berdiameter kecil di atasnya, lalu dibubuhi saus yang biasa digunakan untuk saus sate Padang. Kerupuk laweh sendiri dibuat dari singkong, yang bentuk dan rasanya mirip kerupuk opak. Mengingat diameternya cukup besar, ada baiknya menyantapnya dengan cara mematahkan kerupuk laweh. Makanan ini jadi ciri khas Lembah Harau dan banyak dijajakan di warung-warung di seberang air terjun Aie Luluih. Selain itu, ada pula jagung bakar dan minuman. Sebelum pulang, jangan lupa berbelanja tanaman khas Lembah Harau seperti anggrek dan suplir, atau suvenir khas Minang yang ditawarkan di kios-kios di sana.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mengagumi Alam Keindahan Bumi Sumatera Barat Dari Kelok Sembilan.



Sesuai namanya, jalanan yang dibuat pada zaman kolonial Belanda untuk melintasi Bukit Barisan ini memiliki sembilan kelok. Bila anda melewatinya, hitunglah kelokannya dengan teliti, karena dalam beberapa kelokan, jalan sudah berkelok kembali begitu anda selesai mengucapkan hitungan sebelumnya. Ya, Kelok Sembilan yang menjadi jalan penghubung Bukittingi-Pekanbaru memang memiliki belokan yang tajam. Lebar jalan hanya lima meter kerap menimbulkan kemacetan panjang bagi kendaraan yang melintas, terutama kendaraan besar seperti bus atau truk bermuatan berat yang tak kuat menanjak. Akibatnya, perjalanan dari Bukittinggi ke Pekanbaru yang harusnya bisa ditempuh dalam waktu empat jam, bisa menghabiskan waktu 5-6 jam.

Padahal, kalau ditarik garis lurus, Kelok Sembilan yang terletak di Jorong Aie Putiah, Nagari Sarilamak, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, sebenarnya hanya sepanjang 300 meter. Melewati jalan sempit ini akan lebih menyeramkan saat malam hari, lantaran lokasinya yang gelap dan diapit dua jurang. Namun, kesan menyeramkan itu tinggal kenangan. Sekarang, Kelok Sembilan malah ramai didatangi orang dari berbagai kota sebagai tempat wisata. Tepatnya sejak jembatan layang Kelok Sembilan beroperasi pada 2013. Wajar saja jembatan ini menyita perhatian banyak orang. Konstruksi tiang-tiangnya yang kokoh dan tinggi serta bentuk penyangganya yang melengkung membuat jembatan berwarna putih ini tampak menonjol di antara hijaunya pepohonan bukit dan jurang. Dari kejauhan, jembatan sepanjang 2,5 kilometer dan kelokan-kelokan jalan tampak mempesona.


Jembatan yang diresmikan pada 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini dibangun sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan dan berbagai masalah yang timbul ketika kendaraan melintas Kelok Sembilan. Masyarakat Sumatera Barat jadi lebih bangga karena jembatan ini murni hasil karya anak bangsa dan menggunakan bahan-bahan dalam negeri. Tak heran, kemegahannya membuat banyak orang ingin merasakan langsung sensasi melewati jembatan yang kini menjadi landmark Sumatera Barat tersebut. Apalagi, jalanannya yang cukup lebar memungkinkan kendaraan besar seperti bus diparkir di sekitar sana. Alhasil, banyak penjual makanan dan minuman yang menawarkan dagangannya di sana untuk mengisi perut pengunjung.

Mulai dari pisang kapik, yaitu pisang kepok yang dibakar lalu dipenyet dan ditaburi keju, jagung bakar, mi instan, es kelapa muda, dan lain sebagainya. Jangan khawatir juga bila ingin berpose dengan latar jembatan layang Kelok Sembilan. Banyak tukang foto yang siap mengabadikan pose anda dan dalam sekejap fotonya bisa anda bawa pulang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menyeruput Teh Daun Kopi Dari Batok Kelapa di Perkebunan Kopi Kiniko - Sumatera Barat.


Dari luar, Kiniko yang terletak di Nagari Tabek Patah, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, tampak biasa saja. Malah, sepintas tak terlihat bila rumah lama yang sederhana ini menyimpan pemandangan menawan di bagian belakangnya. Setelah masuk, Anda akan langsung menemukan rak-rak memenuhi ruangan yang berisi camilan, makanan kering, juga kopi dan minuman bubuk lainnya hasil produksi UKM dari berbagai kecamatan di Sumatera Barat yang dijual di Kiniko. Berjalanlah terus menyusuri rak-rak tersebut sampai anda menemukan pintu penghubung ke bagian belakang yang difungsikan sebagai kafe. Berdiri di tengah pintu itu saja sudah membuat anda terpana. Pemandangan deretan terasering sawah hijau di depan mata dengan latar belakang Gunung Marapi sungguh sangat menyejukkan hati. Anda bisa menikmati pemandangan ini sambil menyeruput teh daun kopi atau teh daun mulberi yang disediakan kafe.

Tak seperti kafe di lainnya, di sini anda bisa langsung mengambil sendiri minuman yang disediakan di meja khusus yang dibuat melingkari sebuah tiang. Dua buah panci tembikar besar berwarna cokelat tua tampak selalu mengepulkan asap. Di dalamnya, masing-masing berisi teh kawa daun kopi dan teh daun mulberi yang siap minum. Rasanya pas, tidak pahit bila anda ingin meminumnya tanpa tambahan apa pun. Bila menginginkan rasa manis, anda bisa menambahkan gula. Aduklah dengan batang kayu manis yang tersedia di sebelah tembikar agar aroma dan rasa kayu manis yang khas ikut larut dalam teh. Anda juga bisa menggunakan cangkir seng putih bermotif bunga seperti yang biasa digunakan pada zaman dulu. Atau, jika tertarik, anda bisa mengganti cangkirnya dengan batok kelapa, yang dulu biasa digunakan masyarakat Minang untuk meminum teh kawa daun.


Sebaiknya teh segera diminum mengingat cuaca yang dingin bakal cepat menguapkan panas teh. Sebagai teman teh, anda bisa menikmati pisang, tahu, atau tempe goreng panas plus cabai rawit. Datanglah pada pagi atau sore hari bersama teman atau saudara, sekedar untuk bercengkerama menghabiskan waktu santai. Indahnya alam berpadu dengan cuaca yang sejuk dijamin membuat anda enggan beranjak pulang. Jangan lupa, sempatkan berfoto dengan latar belakang pemandangan yang indah tersebut.

Kafenya sendiri tergolong sederhana tapi sangat natural dan terasa menyatu dengan alam. Tempat duduknya berupa kayu gelondongan yang dipotong setinggi kursi murid TK, sementara mejanya berupa lempengan kayu yang lebar. Lantai yang sengaja hanya diplester semen dan pagar yang terbuat dari potongan batang pohon yang dijejer rapi ikut menambah kental suasana khas pedesaan. Kafe ini merupakan salah satu unit usaha dari Kiniko, selain toko oleh-oleh yang terletak di bagian depan bangunan dan perkebunan kopi yang letaknya jauh dari situ. Kiniko sendiri awalnya berupa perkebunan kopi yang didirikan pada 1981 oleh Abdul Aziz Idris dengan nama usaha CV Kiniko Enterprise. Aziz membangun perkebunan kopi seluas 16 hektar ini antara lain untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.


Dua tahun setelah didirikan, Kiniko mulai memproduksi kopi. Tahun 1998, pengelolaan Kiniko dilanjutkan oleh anak Aziz, Satrio Budiman. Sejak itu pula, Kiniko Enterprise berganti nama menjadi Kiniko 2001 dan memiliki unit usaha toko oleh-oleh serta kafe. Kini, Kiniko memiliki lima unit usaha, antara lain unit minuman, makanan, sentra, kafe, dan pertanian. Sentra adalah toko oleh-oleh yang menampung beragam produk UKM dari berbagai kecamatan di seluruh Sumbar. Antara lain, kopi bubuk, kopi jauh, kopi daun, serbat, dodol papaya, dan lainnya. Kopi Kiniko sendiri merupakan kopi olahan tradisional yang terbuat dari kopi robusta dan diolah secara sederhana. Tak hanya mengolah bijinya, Kiniko juga mengangkat kembali minuman tek kawa daun yang terbuat dari daun kopi. Minuman kawa daun merupakan minuman tradisional khas mayarakat Minang yang tinggal di daerah peguungan. Berkat minuman ini pula, Kiniko kini dikenal pula sampai mancanegara.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BERLIBUR SINGKAT DI KOTA KUPANG.

Cukup banyak yang bisa kita nikmati dalam kunjungan singkat ke Kupang, ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur. Kota dengan luas wilayah 180,27 kilometer persegi itu memang memiliki beberapa panorama alam yang memikat.

GUA KRISTAL


Destinasi wisata ini berlokasi di Bolok, sebuah desa di Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, sekitar 16 kilometer dari pusat kota Kupang. Sebelumnya sempat beredar foto di dunia maya, tentang pemandangan di gua ini yang sangat menakjubkan. Air yang ada di dalam gua akan memantulkan cahaya matahari serupa kilau kristal yang amat indah. Waktu yang tepat untuk berkunjung ke gua ini antara pagi hingga siang hari, sekitar pukul 09.00 Wita sampai 14.00 Wita. Tiba terlalu pagi atau terlalu sore bisa dibilang percuma, karena gua akan menggelap tanpa cahaya matahari.

Begitu sampai di lokasi gua, kita akan menjumpai ceruk kecil gelap yang menjorok ke dalam, usai melewatkan lima menit berjalan kaki dari tanah lapang tempat parkir kendaraan. Dari situlah kita bisa mulai menuruni mulut gua yang cukup licin. Sarana penerangan, seperti lampu senter amat dibutuhkan. Langkah kaki harus berpijak hati-hati, karena bebatuan alami dalam gua berkontur vertikal ini cukup curam tanpa jalan buatan. Sejarak kira-kira kedalaman 20 meter dari permukaan tanah, kolam di dasar gua sudah tampak. Bila kita menengadah ke langit-langit, terlihat beberapa ekor kalong beterbangan dalam kesenyapan. Dapat memunculkan perasaan ngeri bagi yang tak terbiasa melihatnya.

Namun, kejernihan perairan di dasar Gua Kristal yang tampak menenangkan dan mengagumkan, mampu menghapus perasaan ngeri itu. Kita bisa langsung menceburkan diri ke kolam di dalam gua yang airnya sedikit terasa asin. Ada ceruk lain di sisi ujung kolam yang luasnya kira-kira 30 meter persegi. Pengunjung yang mempunyai nyali tinggi, bisa melompat ke air dari tebing yang tinggi itu.

PANTAI LASIANA


Pantai ini terletak di Kelurahan Lasiana, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang. Bila diukur dari pusat kota, jarak tempuhnya kira-kira mencapai 12 kilometer. Pantai ini tampak tertata rapi, walau amat sepi. Ada arena bermain anak-anak di lokasi berpasirnya. Sejumlah pondok yang dalam bahasa lokal disebut lopo-lopo menjajakan kelapa muda dan penganan kecil. Pantai seluas 3,5 hektare ini berpasir putih dengan ombak tenang yang cocok untuk berenang.

Berdasarkan informasi dari Dinas Pariwisata NTT, Pantai Lasiana dibuka untuk umum sejak 1970-an. Sejumlah fasilitas pendukung dibangun pada 1986 untuk membuat turis domestik ataupun mancanegara lebih nyaman. Pantai Lusiana pada masa silam disebut tampak lebih indah dan alami, tapi mengalami gerusan bibis pantai sekitar 500 meter dalam masa 30 tahun. Dalam rangka penanggulangan masalah itu, Pemerintah Kota Kupang telah membangun tanggul-tanggul pemecah ombak sepanjang pantai. Pesona alam Pantai Lasiana didukung oleh rerimbunan pohon menjulang yang menambah kerindangan. Kesan damai itu menciptakan suasana kontemplatif, membekas saat kita sejenak melenggang di kota Kupang.

PULAU KERA


Tak ada satu pun kera di Pulau Kera. Nama pulau kecil tersebut memang bukan berasal dari kera, si hewan berbulu kecokelatan dalam ordo primata. Kata 'Kera' berasal dari istilah dalam bahasa Solor 'takera' yang artinya ember atau timba. Pemberian nama tersebut agaknya merujuk pada banyaknya wadah air yang digunakan warga yang hampir seluruhnya berprofesi sebagai nelayan. Pelafalan huruf 'e' pada 'Kera' juga tidak sama seperti menyebut 'e' dalam kata 'emas'. Pulau Kera diucapkan selayaknya huruf  'e' dalam kata 'enak'.

Butuh waktu 45 menit hingga satu jam perjalanan laut menuju pulau yang menjadi bagian dari Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang itu. Perahu bisa disewa dari para nelayan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Oeba di Jalan Alor, Kupang. Pasir putih Pulau Kera menyambut kedatangan dengan bentang biru laut yang bagai tanpa ujung. Pemandangan itu amat menggirangkan bagi rombongan warga kota besar yang kekurangan vitamin sea (sebutan gaul untuk rindu main di laut). Dalam kondisi lautnya yang tenang, perairan sekitar Pulau Kera cocok untuk berenang, berjemur, atau snorkeling. Apalagi, terik sinar matahari seakan sudah meninggi meski waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi.


Setapak dekat bibir pantai, pelancong akan melihat sebuah bangunan sederhana. Masjid dengan kubah limas warna biru berdiri di tengah pulau, setia mengumandangkan azan. Arsyad Abdul Latif adalah Imam di Masjid bernama Darul Bahar tersebut. Ia telah menjadi pemimpin dalam kepengurusan masjid sejak bangunan itu berdiri pada 20 Februari 2000. Tidak hanya untuk shalat, masjid ini juga digunakan untuk belajar. Anak usia sekolah dasar belajar agama dan mengaji di sana. Tadinya, ada bangunan TPA yang berdiri sejak 2012, tetapi rubuh karena puting beliung yang terjadi pada 2014.

Pendidikan di Pulau Kera memang masih kurang memadai. Keluarga yang hendak menyekolahkan anaknya harus mengirimkan putra-putri mereka menyeberang laut. Selain ketiadaan sekolah, warga Pulau Kera juga belum memiliki fasilitas layanan kesehatan. Listrik di pulau, seperti pengeras suara masjid atau televisi, menyala berkat dinamo. Ketertinggalan tersebut cukup disayangkan, mengingat lokasi Pulau Kera tak jauh dari kota Kupang. Secara administratif, Pulau Kera berada di wilayah Desa Uiasa, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, NTT. Total terdapat 400-an jiwa dalam 97 keluarga yang tinggal di sana. Mereka mendirikan bangunan rumah semi permanen di pulau yang dihuni sejak 1911 itu.

Penduduk Kota ataupun Kabupaten Kupang memang mayoritas memeluk agama Kristen. Pulau Kera adalah perkecualian, dengan mayoritas warganya adalah umat Islam. Mungkin hanya lima atau enam orang saja yang non-Muslim. Meski pembangunan belum menyentuh rata, warga di Pulau Kera tak berkenan meninggalkan pulau tercintanya. Beberapa rencana relokasi penduduk ke daerah pegunungan Kabupaten Kupang pun tak disetujui mayoritas warga. Pasalnya, laut adalah sumber kehidupan bagi seluruh warga Pulau Kera. Mereka rela menghuni pulau kecil dengan masjid sederhana itu, sebagai pembeda di antara 44 pulau yang dihuni dari keseluruhan 1.192 pulau di NTT.

MENYANTAP JAGUNG BOSE KHAS NTT.


Jagung menjadi salah satu makanan pokok warga Kupang, NTT. Olahannya pun amat khas, yakni menu santapan bubur jagung alias jagung bose. Semangkuk jagung bose terdiri dari bahan dasar jagung, kacang merah, labu manis, dan santan. Cita rasanya tawar gurih dan kerap disajikan dengan daging se'i (daging sapi asap), tumis bunga pepaya, dan lawar ikan.

Cara mengolahnya, yakni dengan terlebih dahulu merendam jagung berbiji putih di air kapur sirih. Kulit ari jagung kemudian dibuang dan bulir jagung dijemur. Lantas, jagung dan kacang merah direbus hingga matang, lantas disiram dengan santan. Bubur jagung ini biasanya dinikmati bersama ikan bakar atau sebagai pengganti nasi.

Kota Kupang yang dikelilingi lautan juga dikenal dengan hasil laut yang melimpah. Salah satunya, Pasar Ikan Pasir Panjang yang terletak di sepanjang Jalan Timor Raya. Pasar ini menjual berbagai ikan segar yang ukuran terkecilnya sepanjang lengan manusia. Berbagai santapan bahari yang nikmat dilahap juga tersedia di pantai yang bersebelahan dengan pasar. Beberapa menu yang tersedia termasuk olahan berbagai ikan, udang, cumi-cumi, dan kepiting dengan varian saus aneka rasa.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS