RSS

KISAH PENGRAJIN KAIN SUTRA MANDAR




Pernah melihat kain sutra Mandar yang indah dan terkenal dengan motif kotak-kotaknya itu ? Nah, anda bisa membelinya langsung ke sang pengrajin. Selain harganya lebih terjangkau, beragam pilihan pun bisa didapatkan. Asyiknya, anda juga bisa mencoba menenun dengan alat tradisional yang disebut gedokan atau panette. Berjarak kurang lebih 5 kilometer dari pusat kota Polewali Mandar, sampailah kita ke sentra pengrajin kain sutra Mandar di Desa Karama, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Perjalanan selama kurang lebih 30 menit ini menawarkan pemandangan yang indah. Tak hanya sawah yang menghijau, tetapi juga melewati kampung nelayan yang penuh jajaran kapal yang tengah bersandar beserta pemandangan laut lepasnya. Sesampai di desa Karama, pemandangan lain langsung menyita mata. Para warga, terutama ibu-ibu, asyik menenun kain Mandar di dalam rumah.

Jangan heran bila melihat jalan-jalan desa terlihat sepi tanpa aktivitas. Pasalnya, semua pengrajin memang lebih sibuk berada di rumahnya untuk menenun. Salah satunya adalah Nurmiati, yang kebagian memintal benang sutra. Sumau, begitu Nurmiati menyebut pekerjaan yang dilakukannya setiap hari dari pagi sampai malam. Ia hanya bisa istirahat kalau harus memasak, makan, dan sholat. Menurut ibu enam anak ini, penghasilannya cukup lumayan untuk menambah uang saku anaknya, perhari ia mendapat Rp 10.000. Nurmiati bercerita, para perempuan di desanya sudah sejak lama dan secara turun temurun belajar memintal dan menenun. Ia sendiri sudah diajari memintal dan menenun sejak gadis. Tapi sayangnya, generasi muda sekarang kurang suka dengan menenun, karena sudah sibuk dengan aktifitas di sekolahnya. Jadi saat ini, hanya yang tua-tua saja yang masih aktif menenun.


Hal senada dikatakan Muliani, yang akrab dipaggil Muli. Sehari-hari ia memilih menenun dengan alat tradisional yang disebut panette. Dalam satu minggu, Muli bisa menghasilkan satu lembar kain sutra Mandar selebar 4 meter. Ia pun bercerita upahnya cukup lumayan untuk menambah penghasilan dan membantu suaminya mencari uang. Bila dijual di pasar hanya bisa laku sekitar Rp 80.000 sampai Rp 100.000, padahal seharusnya harganya bisa Rp 120.000. Itu pun menurut Muli, bila laku di pasar biasanya dibayar hanya Rp 60.000, kemudian sisanya yang Rp 40.000 ditukar dengan benang sutra agar bisa terus dibuat kain lagi. Muli berharap harga kain sutra Mandar bisa terus naik sehingga pengrajin sepertinya bisa mendapatkan upah yang layak. Ada banyak corak yang dibuat pengrajin di sini, mulai Corak Wiranto, Corak Kepala Daerah, Corak Komandan Kodim, Corak Sandeg, Corag Sulbar, dan lain-lain. Dijelaskan Muli, bahwa macam-macam corak untuk kain sutra Mandar memang bernama unik. Nama corak itu sesuai dengan nama pemesannya. Karena setiap pemesan memang selalu memberi contoh corak yang diminta. Dan ternyata corak itu laku hingga terus dipesan. Jadi namanya disesuaikan dengan nama pemesan. 

Maryam, yang juga bertetangga dengan Muli, turut bercerita, sejak umur 15 tahun, atau sejak tahun 1985 juga sudah diajari menenun. Maka tak heran bila saat ini ia sudah hapal dan lihai memainkan panette. Menurutnya hasilnya pun lumayan bisa untuk membayar sekolah anaknya. Apalagi suaminya seorang nelayan yang penghasilannya dari hasil melaut. Maka, bila suaminya sedang tidak melaut, uang hasil penjualan kain bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk kain berukuran 4 meter, Maryam bisa menyelesaikannya dalam waktu lima hari. Ia mengaku banyak menerima pesanan, maka itu pemesan yang baru harus mengabarinya sejak jauh-jauh hari. Ada pula yang memesan corak tertentu, bila sudah ada contohnya, Maryam pun sanggup mengerjakan.


Menurut Maryam, potensi kain sutra Mandar di desanya tak kalah dengan kain tenun lain. Sayangnya, para pengrajin di desanya tak memiliki pasar untuk menjual. Ia berpikir, bila seandainya desanya ini dijadikan desa wisata, maka akan banyak pembeli yang langsung datang ke sini. Para pengrajin pun tentu akan makin semangat dan senang, karena pembeli sudah langsung datang menemui, bukan lagi ke pengepul. Kain sutra Mandar yang dihasilkan di sini banyak pilihan dan dijamin bagus kualitasnya. Agar terus mendapatkan pelanggan dan tak ketinggalan zaman, Maryam dan beberapa pengrajin kini tak lagi hanya membuat sarung sutra Mandar, tetapi juga kain yang bisa langsung dijahitkan untuk dibuat kemeja ataupun bawahannya seperti rok. Malah, kain jenis ini sekarang lebih banyak dibeli daripada kain sarung.

Murniati, istri kepala desa Karama, Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar yang juga Kepala Sekolah SD 019 Bala Nipah mengatakan, ia mencoba memasarkan kain sutra Mandar yang dihasilkan desanya kepada teman-teman kerjanya. Ia berani melakukan itu karena kualitas kain sutra Mandar yang diproduksi di desanya memang bagus pengerjaannya. Kainnya tidak luntur. Sayangnya, kain ini memang belum ada pasarnya. Maka selain terus berpromosi sendiri, ia pun juga ingin agar desanya bisa dijadikan sebagai desa wisata. Rasanya sayang sekali kalau hasil pengrajin di sini kurang bisa dinikmati dan malah membuat pengepulnya lebih sukses.

Untungnya, menurut Murniati, ada kebijakan peraturan daerah baru yang tengah digodok yang menginstruksikan pegawai pemerintahan seminggu sekali mengenakan baju dari kain sutra Mandar. Kini, sudah ada beberapa teman Murniati dan beberapa dinas yang membeli padanya. Ia berhahap, semoga bila kebijakan ini sudah disahkan bisa membantu para pengrajin di desanya. Soal promosi, tanpa diminta Murniati memang akan terus berusaha mempopulerkan kain sutra Mandar asal desa Karama ini. Kadang kalau ada agenda sekolah ataupun ada acara dinas, ia biasanya sekalian ikut promosi. Pelan-pelan, ia berharap, semoga nantinya wisatawan domestik banyak yang melirik dan langsung datang ke desanya untuk membeli kain dari pengrajin. Karena akan dijamin mendapatkan yang berkualitas. Bahkan bila ada yang ingin ikut menenun pun juga boleh. Agar semakin banyak yang tahu bahwa harga yang mahal itu karena memang proses pembuatannya yang butuh kerja keras dan kerapian.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

WISATA PEMANDIAN AIR PANAS DI PULAU JAWA



Air panas yang bermata air dari gunung berapi dipercaya memiliki khasiat untuk kesehatan. Tak mengherankan bila obyek wisata pemandian air panas selalu penuh oleh pengunjung, baik yang sekedar menikmati keelokan alam maupun yang memang berniat mencari kesembuhan dengan cara mandi atau berendam air panas. Berikut 4 tempat pemandian air panas di Indonesia yang bisa menjadi pilihan anda.

GUNUNG PANCAR


Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Pancar berada di Desa Karang Tengah, Babakan Madang, Bogor, menawarkan sejumlah fasilitas wisata yang bisa dicoba pengunjung. Lokasinya yang berada di tengah-tengah hutan pinus terbilang menakjubkan. Hamparan hutan pinus hijau disertai udara sejuk menawarkan pesona tersendiri. Bagi pengunjung yang menyukai tracking, bersepeda, atau sekedar refreshing, TWA Gunung Pancar bisa menjadi salah satu alternatif yang menarik. Letaknya cukup dekat dari Jakarta (sekitar 40 km). Selain menikmati indahnya pemandangan alam, pengunjung juga bisa menikmati sensasi mandi air panas di lokasi. Meski tidak mengandung unsur belerang seperti kebanyakan lokasi pemandian air panas, air panas di Gunung Pancar juga dipercaya memberi banyak manfaat kesehatan.

Dari beberapa kolam yang disediakan untuk dewasa dan anak-anak, pengunjung bisa memilih kolam air panas berdinding batu kali yang natural atau kolam dengan dinding keramik yang lebih modern. Selain itu, pengunjung juga bisa melakukan terapi air panas. Nah, jika ingin memperoleh layanan eksklusif, pengunjung bisa datang ke Giri Tirta Hot Spring Resort & Spa. Pemandangan alam yang tersaji di sini pun tak kalah elok. Dari Giri Tirta, pengunjung bisa menikmati bentangan sawah dan deretan bukit menghijau. Giri Tirta menyediakan 13 unit vila, lengkap dengan kolam air panas di masing-masing vila. Layanan yang diberikan antara lain spa, massage, maupun outbound.


CIATER

Pemandian air panas Ciater terletak di wilayah Ciater, Subang, Jawa Barat. Lokasinya tepat di perbatasan antara Bandung dan Subang, bersebelahan dengan Lembang. Air panas di Ciater, yang bersumber dari Gunung Tangkuban Perahu ini bersuhu antara 43-46 Celcius. Air tersebut memiliki kandungan belerang yang sangat bermanfaat bagi kesehatan dan dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti rematik, penyakit kulit, gangguan saraf, tulang, dan lainnya.


Karena berada di daerah pegunungan, suhu udara di Ciater pun terasa sejuk, bahkan cenderung dingin pada malam hari. Di lokasi tersebut, pengunjung juga bisa menikmati berbagai fasilitas. Misalnya outbound, sarana olahraga, flying fox, arung jeram, dan lainnya. Bagi pengunjung yang berminat menghabiskan malam di Ciater, berbagai penginapan bisa dengan mudah ditemukan di sana, baik yang berkelas vila sampai hotel berbintang dengan fasilitas yang premium.

GUCI



Pemandian air panas Guci terletak di desa Guci, Bumijawa, Tegal, Jawa Tengah. Selain memiliki 10 air terjun dan 6 mata air, di sini tersedia banyak pancuran air panas yang bisa digunakan pengunjung. Kandungan belerang pada air yang mengalir dari pancuran tersebut dipercaya bisa menyembuhkan penyakit seperti rematik dan penyakit kulit lainnya. Memiliki luas 210 Ha, Guci terletak di kaki Gunung Slamet bagian utara dengan ketinggian kurang lebih 1.050 meter. Ada sekitar 10 air terjun yang terdapat di daerah Guci. Di bagian atas pemandian umum, terdapat air terjun dengan air dingin bernama Air Terjun Jedor. Untuk berkeliling di sekitar obyek wisata, pengunjung dapat menyewa kuda dengan tarif yang relatif murah. Lantaran berada di dataran tinggi di kaki Gunung Slamet, kawasan ini berhawa sejuk.

Selain kolam dan pancuran, disediakan pula puluhan tempat pemandian air panas tertutup. Setelah puas menikmati kehangatan air di pemandian air panas Guci, pengunjung bisa melepas penat dengan menyewa vila yang bisa dengan mudah dijumpai di sana, atau menikmati sajian teh poci panas yang legendaris. Sebagai sebuah obyek wisata, fasilitas Guci terbilang lengkap. Mulai wisata hutan, kolam renang air panas, dan juga camping ground. Yang tak kalah menarik adalah Guciku Hot Waterboom, sebuah wahana permainan air lengkap meliputi kolam renang, kolam badan, kolam rendam, dan kolam arus.

CANGAR


Jawa Timur pun punya obyek wisata pemandian air panas. Salah satunya pemandian air panas Cangar yang ada di kota Batu, Jawa Timur. Cangar terletak di kaki Gunung Welirang, tepatnya di dusun Cangar, Sumber Brantas, Bumiaji, Batu. Obyek wisata yang masuk dalam kawasan Taman Hutan Rakyat R. Soerjo ini memang cukup ramai dikunjungi pengunjung, baik yang sekedar ingin menikmati keindahan alamnya maupun yang berniat mandi air panas yang kaya manfaat. Cangar menyediakan beberapa kolam pemandian air panas, masing-masing memiliki tingkat panas yang berbeda. Untuk sampai ke pemandian air panas Cangar, pengunjung harus menggunakan kendaraan pribadi karena tidak ada angkutan umum yang menuju lokasi ini. Meski begitu, panorama menakjubkan sepanjang perjalanan membuat pengunjung tak bakal bosan.

Terdapat beberapa pilihan kolam pemandian untuk berendam, salah satunya kolam khusus perempuan. Ada juga pemandian yang lebih privasi, khusus untuk satu orang berupa kamar semacam sauna. Dinginnya suasana pegunungan membuat pengunjung betah berlama-lama berendam di kolam hangat sambil menikmati pemandangan. Air panas Cangar dipercaya memiliki banyak khasiat, salah satunya bisa menyembuhkan penyakit kulit. Usai berendam, pengunjung juga bisa melepas penat dan menikmati pemandangan Cangar di saung-saung yang disediakan khusus untuk beristirahat. Dan juga ada vila yang bisa disewa dengan harga cukup terjangkau. Di samping itu, pengunjung juga bisa mencicipi aneka sajian kuliner khas kota Batu, salah satunya tape beras ketan hitam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

RUMAH GADANG DI PADANG PANJANG : Pusat Data dan Informasi Kebudayaan Minangkabau




Bila anda berkendara dari arah Padang, maka kecantikan Rumah Gadang ini langsung menyita perhatian. Lokasinya tepat berada di sisi kanan jalan raya Padang-Bukittinggi, tak lama setelah melewati air terjun Lembah Anai. Rumput hijau nan luas yang terhampar di sekelilingnya makin membuat dominasi corak dan warna rumah berdinding kayu ini terlihat memikat. Berdiri di atas lahan seluas dua hektar, Rumah Gadang yang terletak di Padang Sarai, Silaing Bawah,  Kabupaten Padang Panjang ini merupakan Pusat Data dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM). Padang Panjang sendiri merupakan sebuah kota kecil yang berjarak 72 kilometer dari kota Padang. Kota kecil ini terletak di daerah pegunungan. Tidak mengherankan jika hawa kota paling kecil di Sumatera Barat ini terasa sejuk.

Peletakan batu pertama rumah adat yang lebih berfungsi sebagai perpustakaan ini dilakukan pada 8 Agustus 1988 dan diresmikan 17 Desember 1990. Adalah mantan menteri koperasi almarhum Bustanil Arifin yang mendirikan PDIKM sebagai wujud sumbangsih untuk tanah kelahirannya, Padang Panjang. PDIKM didirikan karena selama ini untuk mempelajari adat dan budaya Minang, literaturnya justru banyak terdapat di Jakarta dan Belanda. Itu sebabnya, Pak Bustanil lalu mengumpulkan literatur itu dan menyatukannya dalam wadah PDIKM. Lebih dari 40 persen literatur tentang kebudayaan Minangkabau yang disimpan dalam PDIKM berbahasa Belanda. Sebab, selain lama dijajah Belanda, budaya masyarakat Minang saat itu lebih banyak diceritakan secara turun temurun lewat tambo atau lisan.

Di dalam areal PDIKM terdapat dua Rumah Gadang, yaitu Rumah Gadang dari suku Koto dan Piliang serta Rumah Gadang dari suku Bodi dan Chaniago. Rumah Gadang yang disebut pertama inilah yang kecantikannya terlihat dari kejauhan dan digunakan sebagai PDIKM, sedangkan Rumah Gadang yang kedua dijadikan sebagai kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Padang Panjang. Perbedaan budaya di kedua Rumah Gadang ini di masa lalu ternyata sangat menarik. Dulu, di Rumah Gadang suku Koto dan Piliang berlaku sistem pemerintahan otokrasi. Di dalamnya terdapat anjungan di bagian ujung kanan dan kiri, dengan beberapa anak tangga di setiap anjungan. Dalam pemberian gelar, bila seorang datuk atau pimpinan suku meninggal, maka kepemimpinannya diteruskan oleh keponakan laki-laki yang sekandung.

Sementara di Rumah Gadang Bodi dan Chaniago bersistem pemerintahan demokrasi. Selain itu, tak ada anjungan di kedua sisinya, semua lantai rata. Sehingga, bila ada musyawarah di sana, datuk dan keponakan duduk di lantai yang sejajar. Bila pimpinan suku meninggal, seluruh kemenakan laki-laki dikumpulkan, baru dipilih siapa yang pantas menjadi datuk. Menariknya, ternyata alur kehidupan di rumah gadang cukup kompleks. Rumah Gadang suku Koto dan Piliang di masa lalu selalu memiliki jumlah ruang yang ganjil, misalnya, 3, 5, 7, atau 9. Ini untuk keseimbangan ruangan. Jumlah ruang yang dibuat melambangkan status sosial sebuah kaum. Makin banyak, makin kaya kaum tersebut. Rumah Gadang yang menjadi PDIKM, misalnya, memiliki 9 ruang kecil yang berjajar di antara anjungan, semuanya menghadap ke arah luar rumah.

Ini berarti, jumlah kamar tidur ada 8, sedangkan 1 ruang yang terletak di tengah-tengah berfungsi sebagai dapur. Setiap kamar, dihuni oleh satu keluarga. Namun, wilayah kekuasaan masing-masing keluarga hanya sebatas di depan kamar sampai ke serambi dan dibatasi oleh tiang di kanan-kiri. Jadi, bila ada tamu datang, keluarga yang kedatangan tamu hanya boleh menjamu tamu di depan kamarnya, tidak boleh di depan kamar keluarga lain karena itu bukan wilayahnya. Yang boleh tidur di dalam kamar adalah kedua orangtua dan anaknya yang masih kecil. Anak laki-laki yang berusia 10 tahun tidurnya tidak lagi di Rumah Gadang, melainkan di surau. Di sana dia akan belajar agama, adat, dan pencak silat.

Anak laki-laki hanya datang ke Rumah Gadang untuk makan dan beganti pakaian. Siang hari, ia harus membantu orangtua di sawah dan malamnya tidur di surau. Anak laki-laki belajar di surau agar tak bodoh, karena dulu yang mendapat pendidikan hanya anak orang kaya. Sekolah tak ada di kampung. Letak surau tidak jauh dari Rumah Gadang. Surau ini disebut surau kaum atau surau suku. Jadi, pengawasan anak laki-laki tetap dari Rumah Gadang.

Anjungan di sayap kanan rumah digunakan sebagai kamar tidur semua anak gadis yang tinggal di Rumah Gadang dan ditutup tirai. Aktivitas anak gadis seperti menyulam atau merenda juga dilakukan di anjungannya. Sementara, anjungan di sayap kiri digunakan untuk tempat duduk para datuk. Sebagai penghormatan, para datuk duduk di anjungan sebelah atas, sedangkan anak dan keponakan duduk di anjungan yang lebih rendah. Kamar pertama di ujung kiri berfungsi sebagai kamar pengantin. Perempuan yang baru menikah akan tinggal di kamar ini. Bila ada yang menikah lagi, penghuni kamar ujung bergeser ke kamar sebelahnya. Begitu seterusnya. Bila menempati kamar paling ujung kanan, maka keluarga itu harus bersiap meninggalkan Rumah Gadang. Ketika menikah, anak laki-laki akan keluar dari Rumah Gadang ini dan tinggal di rumah istri.

Biasanya yang tinggal di Rumah Gadang adalah mereka yang ekonominya kurang mampu. Kalau keluarga itu kaya, maka belum sampai ujung biasanya dia akan keluar dan mendirikan rumah sendiri. Bukan Rumah Gadang, melainkan rumah biasa karena Rumah Gadang adalah rumah bagi suku. Setiap kamar yang sengaja dibuat berukuran kecil menjadi isyarat bagi suami untuk bekerja keras mencari uang agar bisa membuatkan rumah bagi anak-istri.

Tamu yang datang ke Rumah Gadang biasanya, duduk menghadap keluar rumah, sedangkan tuan rumah berhadapan dengannya. Ini dimaksudkan agar tamu tak melihat kekurangan yang ada di dalam rumah yang bisa menimbulkan pergunjingan atau fitnah. Tamu cukup melihat pemandangan yang indah saja di luar. Keuntungan bagi tuan rumah dengan menghadap ke arah dalam adalah bila menu dalam jamuan habis, misalnya, dia tak perlu berteriak untuk minta tambahan pada orang dapur, melainkan cukup memberi isyarat. Dapur yang ada di Rumah Gadang hanya ada satu, tapi di dalamnya terdapat tungku dari setiap keluarga yang tinggal di dalamnya. Masing-masing memasak dengan tungkunya sendiri.

Dari sisi konstruksi, tiang Rumah Gadang tidak lurus melainkan mengembang ke atas. Jendelanya pun sengaja dibuat mengikuti konstruksi tiang. Rumah ini juga dibangun tidak dengan dipaku, melainkan dengan sistem pasak. Konstruksi ini lebih tahan terhadap gempa bumi.  Ketika terjadi gempa besar tahun 2007 dan 2009, bangunan ini tidak rusak sama sekali. Bagian luar Rumah Gadang penuh ukiran indah yang melambangkan bahwa dalam pembuatannya orang Minang berguru pada alam. Kayu-kayu besar dijadikan tiang, sedangkan yang kecil dibuat ukiran. Jadi, tak ada yang terbuang.

Ukiran Sikambang Manih atau bunga yang indah melambangkan keramahan orang Minang dalam menyambut tamu. Sementara, ukiran Itiak Pulang Patang atau itik pulang sore melambangkan kedisiplinan. Mengacu pada karakter itik yang kalau berjalan selalu rapi berbaris meski tidak ada yang mengatur. Ada lagi Pucuak Rabuang atau pucuk rebung, artinya sejak kecil sampai tua kita berguna untuk orang lain. Empat rankiang atau lumbung padi yang berjejer rapi di depan kanan dan kiri Rumah Gadang juga memiliki arti. Bentuk keempatnya sama, hanya saja jumlah tiang penyangganya berbeda. Dua di sebelah kiri masing-masing bertiang empat, sedangkan di sebelah kanan masing-masing bertiang enam dan sembilan. Padi di lumbung paling kiri digunakan untuk upacara adat, misalnya pernikahan. Padi di lumbung sebelahnya digunakan untuk membantu fakir miskin dan persediaan musim paceklik.

Sementara, lumbung bertiang enam menyimpan padi untuk makanan sehari-hari penghuni Rumah Gadang. Sedangkan padi di lumbung bertiang sembilan bisa dijual dan hasilnya untuk menyumbang pembangunan di kampung. Letak rankiang yang jauh dari Rumah Gadang juga memiliki arti bila terjadi kebakaran di rumah, padi masih tetap aman dan penghuni tidak kelaparan. Padi diambil dengan menggunakan tangga dan setelahnya tangga disimpan di bawah Rumah Gadang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

WISATA TANA TORAJA YANG PENUH KESAN MAGIS




Entah mengapa, kesan magis langsung terasa ketika kita menginjakkan kaki di Tana Toraja. Bisa jadi lantaran wilayah yang berada di Sulawesi Selatan ini memang banyak menyimpan kisah adat budaya yang sangat menghargai arwah, leluhur, dan keseimbangan alam. Sebuah potret kekayaan budaya negeri yang bisa menjadi potensi wisata. Agustus dan Desember adalah bulan terbaik untuk berwisata ke Tana Toraja. Di bulan ini ada banyak upacara adat digelar. Bukan tanpa alasan. Bulan-bulan tersebut adalah masa libur panjang anak sekolah, sehingga mempermudah keluarga untuk mengumpulkan sanak saudara, kerabat, handai taulan. Kita tahu, sebagian besar masyarakat Tana Toraja adalah pengembara ke berbagai kota, terutama kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Makassar itu sendiri. Bahkan, kini pemerintah telah rutin menggelar Toraja International Festival di bulan Agustus dan Lovely December. Dua event ini sengaja dibuat dalam rangka mengembalikan kembali gairah wisatawan untuk berkunjung ke Tana Toraja.

Beberapa yang tak boleh dilewatkan bila berkunjung ke sana adalah upacara Rambu Solo, daerah pemakaman di tebing dan gua, kain tenun, tarian, dan tentu saja mencicipi makanan khas di sana.

RAMBU SOLO


Rambu Solo adalah upacara kematian atau prosesi mengantar jenazah ke tempat peristirahatan abadi. Di Tana Toraja, jenazah ini tidak dimakamkan di dalam tanah, melainkan disimpan di tebing-tebing atau gua. Hal ini karena tanah-tanah di Toraja merupakan dataran tinggi yang berbatu-batu dan kurang produktif. Hingga bila kemudian sisa tanah ini digunakan untuk pemakaman akan makin mengurangi tanah produktif yang ada. Bisa tidak ada lagi tanah yang bisa digarap untuk memberi kehidupan warga. Umumnya, orang yang meninggal memang tidak langsung dimakamkan di tebing-tebing. Namun, ‘menginap’ sementara di rumah adat Tongkonan. Sembari keluarga menyiapkan upacara Rambu Solo, jenazah ini diperlakukan seperti layaknya manusia yang sedang sakit, karena ia tetap diberi makanan (sesajian sesuai kesukaannya semasa hidup). Rata-rata, jenazah baru diantarkan ke tempat peristirahatan di tebing setelah 6 bulan atau bahkan lebih tergantung hasil kesepakatan keluarga besar.

Penundaan ini, selain untuk mengumpulkan seluruh keluarga besar, juga untuk memberi kesempatan mengumpulkan biaya yang tak sedikit. Dalam sebuah prosesi upacara Rambu Solo, yang biasanya berlangsung lebih dari seminggu akan menyembelih puluhan kerbau, ratusan babi, dan tentu saja berbagai rangkaian prosesi doa dan adat yang digelar saban hari sampai menjelang hari ‘keberangkatan’ jenazah. Upacara Rambu Solo diawali dengan membawa jenazah yang semula bersemayam di Tongkonan ke Lakien. Lakien adalah semacam rumah yang dibuat tinggi dengan undakan-undakan tangga. Lakien ini diletakkan persis di tengah-tengah area upacara Rambu Solo dengan dikelilingi oleh ratusan Tongkonan, tempat keluarga besarnya berkumpul selama upacara berlangsung. Sebelum sampai Lakien, jenazah ini dibalut kain yang cukup besar dan tebal, sebelum kemudian dibungkus oleh kain bermanik-manik, yang biasanya dibuat sendiri oleh empunya semasa ia hidup atau telah disiapkan keluarga terdekat.


Setiap hari, prosesi adu kerbau berlangsung. Puluhan kerbau ini satu persatu diadu sebagai rangkaian penerimaan dan hiburan bagi ribuan tetamu yang memadati area upacara. Tetamu yang hadir tentu saja dari berbagai kalangan tergantung siapa yang meninggal. Pejabat tinggi sampai masyarakat biasa berdatangan turut menghormati jenazah dan keluarga besarnya. Biasanya,  kerbau sumbangan dari anak-cucu menjadi yang paling terakhir diadu. Kerbau yang disumbangkan pun bukan sembarang kerbau. Tedong todi merupakan salah satu kerbau yang dianggap sakral. Harganya lebih tinggi ketimbang kerbau hitam biasa, namun lebih murah ketimbang tedong bonga dan tedong saleko yang merupakan kerbau dengan belang di sekujur tubuhnya.

RUMAH TONGKONAN

Kete’Kesu adalah salah satu cagar budaya atau juga desa wisata yang cukup besar di Toraja. Terletak 4 km dari Rantepao, ibukota Toraja Utara. Wilayah desa wisata ini terdiri dari 6 rumah adat tongkonan dan 12 lumbung padi, sebuah simbol yang mengisyaratkan bahwa Tana Toraja adalah wilayah agraris. Di dalam rumah Tongkonan ini beberapa dijadikan museum jejak peninggalan leluhur, dari alat-alat masak, pakaian, alat-alat pertanian, senjata, sampai kisah-kisah yang diceritakan turun temurun kepada anak cucu. Di Kete’Kesu pun bisa ditemukan kerajinan tangan dari bambu atau kayu, juga aneka kain tenun yang memang menjadi ciri khas Toraja. Di salah satu rumah sering juga dibuat semacam pelatihan untuk meneruskan keterampilan kepada generasi muda.


Di area yang sama dengan rumah-rumah tongkonan terdapat menhir-menhir yang digunakan untuk upacara kematian. Di bagian atas wilayah Kete’Kesu adalah tebing-tebing menjulang tinggi di mana kuburan-kuburan megah tampak terlihat menggantung di tebing atau gua. Umumnya makin tinggi jenazah digantung di tebing menunjukkan status sosial yang juga tinggi semasa hidupnya. Di kaki tebing terdapat beberapa bangunan beratap genting yang ruas dalamnya digunakan untuk pemakaman (patane). Beberapa lokasi pemakaman Kete’Kesu dikelilingi oleh pagar besi. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi dari pencurian harta yang biasanya ikut dikubur bersama jenazah. Untuk diketahui, Kete’Kesu ini menyimpan benda-benda purbakala yang berumur 300 sampai 500 tahun lampau. Erau atau peti-peti jenazah pun beragam bentuknya. Ada yang berbentuk perahu, kerbau, babi yang dihiasi pahatan-pahatan dan ukiran motif tertentu. Begitu juga dengan tau-tau atau patung jenazah yang dipahat menyerupai almarhum.

PESONA TENUN


Bicara Tana Toraja berarti bicara soal tenunnya yang khas. Menenun memang membutuhkan ketekunan juga kesabaran. Proses pewarnaannya dilakukan secara alami dengan menggunakan bahan baku seperti jahe, kunyit, cabe, juga abu hasil pembakaran daun dan lain sebagainya. Warna-warna yang dihasilkan menjadi unik dan membuat kain menjadi tahan lama. Sayangnya saat ini tradisi menenun dengan cara tradisional sudah mulai jarang. Kini hampir rata-rata dilakukan dengan cara modern sehingga kualitas kainnya pun berbeda.

Lantas, bagaimana kita membedakan tenun yang proses alami dengan yang menggunakan mesin ? Ternyata mudah saja. Kain tradisional biasanya ukurannya tidak lebih dari 4 meter dan lebar hanya 70 cm. Sedangkan pemintalan kain yang dikerjakan oleh mesin umumnya bergulung-gulung alias bermeter-meter dan lebar antara 120 cm-2 meter. Kendati begitu, harga pun tentu saja menjadi berbeda. Yang diolah tradisional menjadi sedikit lebih mahal karena memang prosesnya pun memakan waktu paling sedikit 6 bulan. Berawal dari memintal benang, mewarnai, memberi motif, sampai proses pengeringan.

PEREMPUAN DAN TARIAN


Bila di wilayah Indonesia lain, penari rata-rata masih muda belia. Di Tana Toraja berbeda sama sekali. Ada tarian yang memang dimainkan oleh nenek usia lanjut. Semisal, tarian Madandan. Kita bisa menemui para penari sepuh ini di Lembang Madong, Kecamatan Dende Piongan Napo atau lebih sering disebut Denpina, yang berjarak sekitar 26 kilometer dari arah Rantepao, ibukota Toraja Utara. Sayangnya, jalanan cukup terjal dan meliuk-liuk mengakibatkan jarak 26 km harus ditempuh selama 2 jam untuk sampai di daerah pedalaman ini.

Tarian Madandan biasanya dilakukan untuk upacara Rambu Tuka, semacam syukuran kepada Yang Maha Agung atas rejeki berlimpah, kesehatan, mendirikan rumah Tongkonan, dan sebagainya. Biasanya saat syukuran rumah tongkonan tarian ini dipentaskan bersama tarian Ma’nimbong yang dimainkan oleh para lelaki. Tarian Madandan sendiri dimainkan oleh 30 penari. Dalam pementasan resmi, para penari akan berbusana warna kuning yang berpadu dengan sarung tenun tradisional dengan warna senada. Nenek yang ibarat syaman mengenakan sokko, ikat kepala dengan hiasan rotting atau bunga-bunga dari bulu ayam, dan menggenggam tongkat berukir, tekken. Ada 12 gerakan tarian yang dimainkan berbarengan sembari melafalkan mantra atau senandung pujian.

Para penari yang berusia lanjut ini tak mematok tarif bila ada yang mengundang untuk menari. Mereka melakukannya dengan sukarela karena memang berniat untuk melakukan ritual tarian yang sudah semestinya menjadi bagian dari sebuah upacara. Selain menari, sehari-hari pekerjaan mereka menganyam alle atau tikar khas Toraja. Tikar Toraja dibuat dari daun tuyu, sejenis tanaman air yang banyak tumbuh di sawah. Kemudian dianyam kurang lebih seminggu dengan harga jual Rp 60 ribu. Sayangnya, mereka belum terlalu serius menggarap tikar. Mengerjakannya hanya di saat waktu luang, disela mengurus dapur, anak, dan suami. Ditambah lagi di Lembang Paku maupun Lembang Madong belum semua rumah teraliri listrik. Sehingga kalau malam, cukup gulita. Jadi, mereka hanya bisa menganyam di siang hari saja.

Untunglah dalam waktu dekat, listrik akan masuk ke wilayah ini. Setidaknya harapan itu akan segera terwujud dengan adanya Pembangkit Listrik Tenaga Microhydro (PLTM) yang dibangun oleh PT Nagata Dinamika. Cahaya benderang pun tak akan lama lagi bisa mereka nikmati.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS