RSS

TRADISI : KISAH PARA IBU PENGANYAM TIKAR PURUN DI OGAN KOMERING ILIR, PALEMBANG, SUMATERA SELATAN.


Suatu siang, belasan ibu-ibu duduk di lantai kayu sebuah rumah berbentuk panggung yang ada di Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Palembang, Sumatera Selatan. Sambil duduk lesehan, jari jemari ibu-ibu dari berbagai usia itu dengan cekatan mengenyam lembar demi lembar purun membentuk sebuah lembaran tikar dengan warna-warni indah. Untuk memecah kesunyian, sambil terus menganyam mereka incang-incangan, yaitu menyenandungkan lagu yang liriknya diambil dari pantun yang memiliki makna harapan, doa, perjalanan hidup, sampai keceriaan hati yang disenandungkan saling bersahut-sahutan.

Karena dilakukan dengan penuh ceria, tanpa terasa anyaman sudah selesai. Banyak pula. Menganyam tikar purun bersama-sama memang menjadi kegiatan keseharian ibu-ibu desa setempat. Purun sendiri adalah tumbuhan liar yang bentuknya lebih besar dari lidi yang panjangnya bisa mencapai sekitar 2 meter. Purun yang tumbuh liar di atas lahan gambut menjadi bahan utama untuk membuat tikar. Desa Menang Raya memang dikenal sebagai kota tikar, di mana hampir 90 persen ibu-ibu yang ada di sini mata pencahariannya menganyam tikar. Tidak ada yang tahu persis, sejak kapan perempuan warga desa ini menjadi penganyam tikar purun. Yang jelas, sejak nenek moyang secara turun temurun sudah melakukan pekerjaan tersebut di sela-sela pekerjaan utama sebagai ibu rumah tangga.


Mereka menganyam tikar purun setelah memasak nasi untuk keluarga, bersih-bersih rumah, dan mengasuh anak. Karena itu kegiatan menganyam tikar purun itu dilakukan siang sampai sore, dan terkadang masih ada yang melanjutkan menjelang tidur di rumah masing-masing. Tradisi membuat anyaman purun ini ternyata tidak hanya dilakukan perempuan dewasa saja, tetapi juga anak-anak. Tak heran, setiap hari anak-anak melihat ibu mereka menganyam sehingga kebiasaan itu menular. Anak-anak di Desa Menang Raya sejak umur tujuh tahun sudah ikut menganyam. Biasanya mereka melakukan sepulang sekolah.

Tapi, purun tidak serta merta bisa dijadikan tikar. Usai diambil dari ladang gambut, masih harus melalui proses yang cukup panjang. Setelah dijebol dari akarnya, tanaman liar yang tumbuh di atas gambut berair itu kemudian dipotong rata agar panjangnya sama dan dibersihkan akarnya. Selanjutnya, batangan purun tersebut dijemur di bawah terik matahari antara tiga sampai empat hari agar benar-benar kering. Karena itu, kalau musim hujan tiba mereka agak kesulitan, sebab purun yang dijemur tak kunjung kering.


Usai dijemur, proses berikutnya batangan purun ditumbuk dengan lesung sampai menjadi lembaran pipih. Sesudah itu baru dilakukan proses pewarnaan dengan cara lembaran purun dimasukkan ke cairan pewarna yang mendidih di atas tungku dari tanah liat. Setelah warna terlihat melekat dengan baik, purun kemudian dijemur lagi sampai kering, setelah itu baru dianyam. Pada musim kemarau, proses awal sampai akhir paling tidak membutuhkan waktu 7 sampai 10 hari dari batangan purun sampai bisa dijadikan bahan baku tikar.

Namun, tidak semua pembuat tikar mengambil sendiri purun ke rawa gambut. Mereka lebih banyak yang membeli dari para pencari purun di rawa gambut yang ada di kawasan air hitam yang berjarak tempuh sekitar 2,5 jam menggunakan perahu klotok. Satu ikat purun dihargai Rp 7000 dan bisa digunakan untuk membuat tiga lembar tikar ukuran lebar 1 meter x 1,5 meter. Jika sudah jadi, selembar tikar dijual ke tengkulak dengan harga Rp 7000.



Bagi para ibu Desa Menang Raya, membuat tikar adalah sumber kehidupan mereka. Kebanyakan mereka adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Jadi, membuat tikar ini lumayan untuk membantu ekonomi keluarga. Karena itu, purun bagi mereka adalah napas kehidupan. Dalam sehari, para wanita ini bisa membuat 2-3 lembar tikar. Tikar made ini Desa Menang Raya ini sudah terkenal di mana-mana, tidak hanya di Palembang, tetapi sudah merambah ke berbagai daerah bahkan sampai ke Pulau Jawa.

Dengan berjalannya waktu, anyaman purun tidak hanya dijadikan tikar, tetapi dengan sentuhan berbeda bisa dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan lain, mulai tas, dompet, sampai sandal hotel. Bahkan, belakangan, untuk menambah nilai dan keindahan, anyaman purun dikombinasikan dengan kain batik Palembang atau bahan-bahan etnik lainnya untuk dijadikan sebuah produk. Untuk tas misalnya, bunga-bunga yang menjadi hiasan dikombinasikan dengan kain batik agar terlihat lebih mewah.


Mastuti, adalah salah satu pengrajin yang membuat berbagai produk dari bahan purun. Ibu lima orang anak ini awalnya adalah seorang penganyam tikar purun. Namun, pada sekitar 2008, ia mendapat tawaran dari Dinas Perindustrian Kabupaten OKI untuk ikut pelatihan memanfaatkan anyaman purun menjadi berbagai kerajinan. Sejak mendapat ilmu tambahan tersebut, dia memiliki lebih banyak variasi, tidak sekedar menjual tikar purun. Meski tikar tetap ada, saat ini ia lebih fokus pada craft, karena hasilnya lebih menjanjikan.

Saat ini, ketika mendapat banyak pesanan, istri dari Hanif Nurdin ini akan melibatkan anak dan kerabatnya untuk mengerjakan, mengingat dia belum memiliki karyawan. Yang menjadi persoalan adalah, dia kurang mendapat kesempatan memasarkan hasil karyanya lebih luas, misalnya melalui pameran atau kegiatan lainnya. Selama ini pembeli datang ke desanya untuk melihat dari dekat hasil kerajinan setempat. Mastuti sebetulnya menginginkan bisa sering mengikuti pameran ke luar kota supaya makin banyak pesanan yang datang. Kalau dilihat dari hasil kerajinan yang dibuat, harga yang dipatok Mastuti relatif murah. Misalnya, tas pesta dengan bentuk dan kualitas cukup bagus dijual dengan harga Rp 50.000. Bagi Mastuti, ia tidak perlu menjual mahal-mahal produknya, karena yang penting bisa memutar modalnya saja sudah bagus.


Akan tetapi, semakin hari, luas lahan gambut yang tersedia makin menipis jumlahnya. Dengan sendirinya, jumlah purun pun juga berkurang. Tak bisa dibayangkan andaikata lahan gambut sebagai tempat tumbuhnya purun tidak ada lagi. Warga Desa Menang Raya tidak tahu harus kemana lagi mencari nafkah. Bahkan, ketika beberapa tahun lalu terjadi kebakaran hutan, tidak ada purun sama sekali, kehidupan mereka menjadi susah. Mereka memang sangat khawatir lahan tempat tumbuh purun lenyap. Di atas kertas, Desa Menang Raya memang bisa jadi desa termiskin lantaran masyarakatnya tidak punya sumber mata pencaharian lain. Saat ini, ada sekitar 2000 ibu-ibu yang mengais rezeki dari membuat tikar purun.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PESONA WISATA ATAMBUA - NUSA TENGGARA TIMUR : Bagai Gadis Remaja Yang Mulai Bersolek.


Bagai gadis yang beranjak remaja, Atambua, Nusa Tenggara Timur, mulai bersolek. Terlepas dari berbagai pembangunan fisik yang mulai menggeliat, Atambua menyimpan kekayaan wisata yang sayang untuk dilewatkan. Bukan hanya cuacanya yang hangat, sambutan masyarakat Atambua kepada pengunjung dan wisatawan pun juga tak kalah hangat. Senyum disertai sapaan, "Selamat pagi, siang, sore atau malam" mencerminkan keramahtamahan warga ibukota Kabupaten Belu, NTT ini, sekaligus menunjukkan hal kecil yang mungkin sudah mulai redup di kota-kota besar di Indonesia.

Nama kota ini dulu ramai diberitakan kala menjadi salah satu daerah penampungan warga asal Timor Timur yang kemudian menjadi Timor Leste di tahun 1999, saat Timor Leste memutuskan lepas dari wilayah Negara Kesatuan RI melalui jalan referendum. Buah sirih, pinang dan bubuk kapur selalu tersedia di rumah maupun dalam tas kebanyakan masyarakatnya. Sirih kerap ditawarkan sebagai tanda persahabatan. Atambua merupakan kota terbesar kedua di Pulau Timor. Tak heran jika kota cantik ini menjadi kota multi etnis. Belu yang dalam bahasa Tetun, bahasa yang sering digunakan warga setempat, berarti "sahabat" atau "teman" ini, seperti menjadi fondasi dari kebhinekaan dan persaudaraan antar warga. Beragam suku, agama, ras, dan golongan tinggal bersama dengan semangat persaudaraan yang tinggi.


Kota Atambua dilayani 2 pelabuhan laut, yaitu Pelabuhan Atapupu dan Pelabuhan Teluk Gurita (Tegur). Di antara pantai berpasir halus, dua pelabuhan ini ramai disambangi warga setiap akhir pekan. Beragam kegiatan dilakukan di lokasi ini. Walau masih minim fasilitas umum seperti toilet, pantai ini terbentang panjang mengundang siapa pun untuk mampir dan menghabiskan waktu. Entah sekedar duduk menikmati keindahan alam menanti matahari terbenam, bercengkrama dengan kekasih atau keluarga, juga melakukan aktifitas memancing dari dermaga di pelabuhan. Pelabuhan Atapupu merupakan pelabuhan kargo, sementara Pelabuhan Tegur adalah pelabuhan kapal penumpang atau ferry yang melayani transportasi dari dan ke sejumlah tempat seperti Kupang dan Alor. Selain itu, di tempat ini juga dapat ditemui sebuah lokasi wisata Kolam Susu yang menjadi inspirasi lagu dari band legendaris Indonesia, Koes Plus. Atambua tak hanya memiliki lokasi wisata alam bahari. Bukit dan pegunungan yang membentang di wilayah ini juga menyimpan pemandangan yang tak kalah indahnya.


Masyarakat asli yang masih memegang teguh budaya juga menjadi kekayaan budaya Atambua yang sayang dilewatkan. Bila beruntung, pengunjung dapat menyaksikan perhelatan upacara tradisional. Misalnya upacara Gali Tulang. Dipimpin Kepala Dusun, warga menggali makam salah satu warga untuk dipindahkan ke makam baru. Sebelum dimasukkan ke liang lahat, kerangka dibersihkan dan dimasukkan ke dalam peti baru beserta kain tenun, makanan, serta minuman sebagai bekal di alam baka. Diiringi doa, peti ditutup dan digotong beramai-ramai untuk dimasukkan ke liang lahat. Tak lupa, beberapa ekor babi dan ayam dipotong, dimasak sebagai sajian penghormatan untuk warga yang datang.

Terdapat pula beberapa obyek wisata alam dan sejarah yang tak kalah menarik untuk dikunjungi. Di antaranya benteng tujuh lapis peninggalan masa penjajahan Belanda dan Jepang. Gua Kalelawar dan air terjun Mauhalek yang tidak pernah kering sepanjang tahun. Terletak di Dusun Fatumuti, Desa Raiulun, Kecamatan Lasiolat, Kabupaten Belu, air terjun Mauhalek dapat dicapai dengan kendaraan bermotor melewati jalan beraspal. Kondisi jalan menuju wisata alam ini masih tidak terlalu ramai bahkan cenderung sepi. Permukaan jalan yang halus dan berpemandangan cantik di kanan dan kiri jalan membuat perjalanan tidak membosankan. 


Berbatasan langsung dengan Timor Leste, Atambua menjadi salah satu pintu gerbang masuknya wisatawan asing. Tak heran jika kemudian pemerintah pusat mulai giat melakukan pembangunan di kota ini. Selain pembangunan jalan, sebuah gedung berarsitektur rumah adat di kawasan kota Mota'ain disulap menjadi kantor imigrasi. Untuk mencapai perbatasan, dibutuhkan waktu kurang dari sejam perjalanan darat dari kota Atambua. Kondisi jalan menuju perbatasan ini sepi, mulus, dan rapi. Namun jangan sampai terlena dan menurunkan kewaspadaan. Pasalnya, hewan ternak berupa ayam, sapi, dan kambing kerap berdiri di pinggir atau bahkan di tengah jalan.


Dari gedung ini, wisatawan dapat berjalan kaki mencapai gerbang negara Timor Leste. Jangan lupa, siapkan paspor dan uang sebesar 30 USD jika ingin melanjutkan perjalanan ke Dili atau kota lain di Timor Leste. Tapi, tidak perlu menyiapkan paspor atau membayar jika hanya ingin melihat kondisi di sekitar perbatasan. Tidak banyak yang bisa dilihat di perbatasan ini, namun pengunjung bisa berbelanja di sebuah pasar bebas pajak yang ada di dekat kantor imigrasi Timor Leste. Pasar ini pun belum sepenuhnya beroperasi, dan hanya ada satu toko serta beberapa gerobak makanan dan minuman yang dapat ditemui. Aktivitas jual beli di tempat ini tidak terlalu merepotkan karena pedagang masih bisa berbahasa Indonesia. Bahkan, sayup-sayup masih terdengar musik Indonesia mengalun dari Pos Keamanan penjaga perbatasan Timor Leste. Walau transaksi menggunakan uang dolar Amerika Serikat, rupiah pun masih diterima pedagang. Minuman yang dijual di tempat ini kebanyakan didatangkan dari berbagai negara seperti Portugal dan Australia. Khusus untuk minuman keras, setiap satu orang pengunjung yang akan kembali ke Indonesia tidak diperbolehkan membawa lebih dari satu botol minuman keras.


Menurut data imigrasi, jumlah wisatawan asing yang datang ke Atambua melalui gerbang di Mota'ain menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Agar jumlah kedatangan wisatawan mancanegara terus meningkat, sejak pertengahan tahun 2016, pihak Kementerian Pariwisata menggelar Festival Crossborder. Festival ini dimeriahkan dengan hadirnya beragam musisi lokal dan ibu kota. Setiap bulan, festival ini selalu dipadati pengunjung lokal maupun dari negara tetangga. Festival Crossborder sendiri diadakan di wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Timor Leste, dan Papua Nugini. Selain untuk meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara, acara ini juga dapat mengikat tali persaudaraan dengan negara tetangga, sekaligus branding 'Wonderful Indonesia'.

Musisi ibukota pun kerap meramaikan festival ini. Khusus untuk festival di Atambua, pernah dihadirkan Kikan, Roy Jeconiah, Fade to Black, juga pemenang The Voice Indonesia. Selain diadakan di Atambua, acara serupa juga sempat diadakan di Dili, Timor Leste. Acara ini secara langsung juga membantu menggulirkan roda ekonomi kreatif masyarakat setempat. Masyarakat yang berjualan di arena bazar mengaku, kegiatan ini membuat penjualan mereka naik.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS