RSS

MENELUSURI JEJAK KEINDAHAH KOTA SALATIGA



Gunung Merbabu digelayuti kabut tipis meski masih nampak gagah dari kejauhan. Nampak pula samar-samar Gunung Ungaran dan Telomoyo bersaman ya. Suasana pagi begitu sejuk. Tiup angin dari ketinggian 650 meter di atas permukaan laut menampar wajah silih sapa dari banyak arah. Suasana kolonial Eropa begitu terasa di kota kecil yang pernah dijuluki De Schoonste Stad van Midden Java, ‘kota terindah di Jawa Tengah, Salatiga.

Kota Salatiga berada di Jawa Tengah, 45 kilometer selatan Kota Semarang. Posisinya di timur laut Gunung Merbabu. Dewasa ini, Salatiga hanya dikenal sebagai kota transit, terlupakan lantaran hanya berstatus kota penyambung atara Semarang dan Surakarta. Kota ini hanya diisi empat kecamatan : Argomulyo, Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo. Salatiga sempat dipoles sedemikian rupa sebagai kota peristirahatan di zaman kolonial pada abad ke 19 dan 20. Jejak panjang perjalanan itu kemudian membuat Salatiga dikhususkan sebagai kota tetirah, tempat penyembuhan bagi siapa saja yang sakit atau menua.

Berbagai peninggalan kolonial memang masih ada dan bisa dinikmati sepanjang jalur memasuki kota. Bangunan-bangunan itu digunakan sebagai hunian dan perkantoran. Setidaknya bisa terlihat di beberapa jantung jalan utamanya, seperti Jalan Pangeran Diponegoro, Sudirman, Hasanuddin, dan Jalan Sukowati. Di empat jalur penting itu, berderet bangunan klasik era abad ke 18. Hanya saja, kini Salatiga telah berubah wajah perlahan. Salatiga kehilangan tujuh bangunan bersejarah tiap tahunnya. Sekalipun ada yang tersisa, ia telah berubah ratusan bentuk.

Salah satu bangunan bersejarah yang masih bisa kita sambangi di kota yang berdiri sejak 24 Juli 750 M ini adalah Kantor Wali Kota Salatiga di Jalan Sukowati. Posisinya tak jauh dari alun-alun kota yang biasa disebut Lapangan Pancasila. Bangunan ini merupakan salah satu representasi dari Kota Salatiga sebagai kota peristirahatan. Bangunan yang berbentuk kotak ini merupakan salah satu bekas rumah seorang pebisnis ulung yang juga sosok penting di VOC, Baron van Hakeren van der Schoot. Bangunan bergaya klasik rennaisance ini, dibangun pada 1757 saat VOC masih mencengkeramkan kuku bisnisnya di Pulau Jawa.



Hawa sejuk, pemandangan gunung dan perbukitan, menjadi alasan mengapa Salatiga banyak dibangun permukiman orang-orang kaya dan pejabat Hindia Belanda. Contohnya adalah gedung Kantor Wali Kota ini, yang dibangun bertingkat dalam skema ruangan paling atas yang lowong tanpa atap. Dibuatkan pula balkon besar tempat para keluarga pemiliknya berkumpul. Dari bagian sinilah panorama gunung Merbabu bisa terlihat seluas mata memandang. Di sini mereka bisa mendapatkan pesona, keindahan, dan kenyamanan yang disajikan alam sekitar.

Berdasarkan catatan, gedung ini kemudian sempat dijadikan markas Kempeitai pada zaman pendudukan Jepang dan menjadi sebuah hotel tak lama kemudian. Pasca perebutan kemerdekaan, bangunan ini menjadi aset pemerintah setelah bangunan di atas areal 5000 meter persegi ini dihargai Rp 300 juta. Lalu fungsinya kemudian diubah menjadi gedung pemerintahan kota.

Selain kota peristirahatan, Salatiga, kota kecil yang hanya seluas kurang dari 60 kilometer persegi ini juga dikenal sebagai kota yang tenang, pun demikian sejak zaman Belanda hingga sekarang. Sebagian besar pemukiman khas pengusaha dan pejabat Hindia Belanda terdapat di Jalan Diponegoro, akses memasuki kota Salatiga dari arah Ungaran di utara. Di lokasi itulah pada pertengahan abad ke 19 hingga memasuki abad ke 20 Salatiga dikenal sebagai daerah peristirahatan bagi para pejabat dan orang-orang kaya Eropa. Tempatnya yang berada di kaki gunung dengan hawa sejuk sangat tepat menjadikan Salatiga sebagai tempat berlibur dan melepas lelah.

Deret bangunan hunian berjejer sepanjang Jalan Diponegoro yang berbatasan dengan Jalan Jenderal Sudirman di arah selatan. Dari informasi sepanjang perjalanan, ada 33 titik bangunan yang dicatat sebagai bangunan bersejarah dan merupakan bekas peristirahatan. Semuanya bekas milik para bangsawan ataupun hartawan Eropa. Jalan Diponegoro di era kolonial disebut dengan Tuntangse Weg, karena jalurnya menghubungkan dengan daerah Tuntang di Kabupaten Semarang.

Salah satu bukti nyata fungsi kawasan ini adalah sebuah bangunan kuno yang berada di Jalan Diponegoro Nomor 14. Bangunan itu kini difungsikan sebagai gedung BCA di Salatiga. Bangunan bergaya art deco dengan ornamen gothic dan jendela lancip ini, dahulunya merupakan sebuah rumah tetirah, rumah penyembuhan bagi orang-orang yang sakit. Ada kepercayaan besar, bagi siapa saja yang sakit akan sembuh jika mendiami daerah ini. Bangunan yang masih menyisakan menara klasik yang kini sebagai ruang mesin ATM ini, dulunya dikenal dengan De Mestein Pensioens Hotel ( Hotel para pensiun).



Masih banyak bangunan bangsawan Eropa yang menyisakan bentuknya meski kini telah berubah fungsi. Satu lagi yang tak jauh dari Bank BCA, ada rumah hunian yang cukup menawan. Bangunan ini merupakan milik pribumi bernama N Nitisemito, pengusaha rokok kretek merek Tiga Bal dari Kota Kudus. Saat ini bangunan telah berubah fungsi menjadi kos-kosan mahasiswa. Selain itu, ada juga sebuah bangunan megah yang disebut masyarakat sebagai Istana Djoen Eng, milik raja ekspor impor di Semarang.

Konon, bukan sembarang orang Eropa yang berhak mendiami kawasan ini. Siapa pun mereka, yang berhak membangun pemukiman di Jalan Diponegoro, adalah mereka yang memiliki gaji dalam kategori kelas A, yakni mereka yang berpenghasilan paling tinggi di antara bangsawa Eropa. Selain itu, banyak pula saudagar Cina dan Asia Timur lainnya yang ikut membangun rumah di sini. Kesimpulannya, asalkan seorang itu sangat kaya, boleh bangun rumah di kawasan ini.

Secara keseluruhan, bentuk asli bangunan di Jalan Diponegoro dibangun dengan menara tinggi di kanan kiri bangunan utama. Ada dua asumsi mengenai alasannya. Fungsi pertama adalah menara pengawas untuk memantau perkebunan, atau tempat melepas lelah dan menikmati kesejukan udara Salatiga.

CANTIKNYA BANGUNAN DI JALAN DIPONEGORO, SALATIGA.

Bangunan sepanjang Jalan Diponegoro merupakan bangunan milik orang-orang kaya Eropa. Kendati demikian, bangunan-bangunan itu juga menjadi panggung para pengusaha memamerkan kekayaan. Dari para pemuja prestisius itu, maka tak mengherankan bila banyak bangunan yang berdiri di atas lahan luas dan bangunan menyerupai benteng.

Kemudian, yang kini banyak terjadi salah kaprah, yakni keberadaan bangunan yang kini digunakan sebagai Kantor Satuan Lalu Lintas Polres Salatiga. Awalnya, bangunan ini dikenal dengan Benteng Hock lantaran bentuknya yang menyerupai benteng. Kendati demikian, berdasarkan penelitian lanjutan beberapa pegiat sejarah, bangunan itu murni merupakan rumah tinggal hartawan Eropa.



Nama Hock diambil dari sang arsitek bernama Mr Hock pada kisaran abad ke 19. Catatan yang memungkinkan, bangunan ini dibangun setelah periode perang Diponegoro (1825-1830). Kebijakan membuat bangunan mirip benteng pertahanan diperintahkan Hindia Belanda saat itu. Alhasil, Benteng Hock terinspirasi bangunan bergaya barrock dan art nouveau.

Mayoritas bangunan Eropa di Jalan Diponegoro memiliki menara dan ruangan bawah tanah. Selain menyimpan harta kekayaan, ruangan bawah tanah itu juga diduga memiliki fungsi sebagai pemakaman keluarga dan kerabat. Sebab, kompleks pemakaman khusus orang-orang Eropa, Kerkoff (taman gereja), baru dibuatkan pemerintahan Hindia Belanda selepas tahun 1917.

Proyek baru pemetaan wilayah Kota Salatiga, tidak terlepas pada momen bersejarah yang terjadi pada 1 Juli 1917. Pada tahun itu, Salatiga ditingkatkan statusnya sebagai kota. Sejak saat itulah perubahan besar terjadi di kota ini. Jalan Diponegoro dijadikan sebagai kawasan orang kaya Eropa, Jalan Sudirman sebagai kawasan perniagaan, Jalan Sukowati sebagai daerah pecinan, serta Jalan Kartini sebagai kawasan pendidikan. Tak hanya itu, kawasan pemukiman Arab juga ditempatkan di Jalan Pattimura, sebelah barat Jalan Jenderal Sudirman.

MELONGOK JANTUNG BISNIS DAN PECINAN DI KOTA SALATIGA

Selain membangun pemukiman elite di Jalan Diponegoro, morfologi yang dibuat kolonial di kota sejuk ini juga brilian dengan membangun dan menempatkan kawasan pecinan di tengah kota. Pusara bisnis itu berada di lingkar Taman Sari hingga sepanjang Jalan Jenderal Sudirman atau yang dulu disebut dengan Soloweg. Taman Sari diidentikkan dengan menara jam dan berdirinya patung berkuda Pangeran Diponegoro. Lokasi itu juga merupakan titik nol Kota Salatiga.



Dari titik inilah sesungguhnya Kota Salatiga memperlihatkan sentuhan inspirasi dari tata kota di Eropa. Kota ini santun menyajikan panorama kota yang nyaman meski ramai. Di sepanjang Jalan Sudirman, episentrum bisnis kota, berjejer ruko khas peninggalan Tionghoa. Di balik kepadatan ruko itu, juga berdiri pemukiman Cina. Pecinan di Salatiga berada di sepanjang Jalan Sukowati, jalur penghubung antara Jalan Jenderal Sudirman dengan pusat kota. Di jalan inilah pecinan tertua berdiri di Salatiga.

Salah satu buktinya adalah kehadiran Vihara Amurvabhumi yang dibangun secara gotong royong pemukim Cina setempat pada 1872. Selain bangunan ibadah itu, di Jalan Sukowati juga berdiri gedung birokrat Cina, gedung Chung Hwa Tsung Hwee, yang dibangun pada 1890.

Saat ini, Jalan Sukowati biasanya menjadi magnet para pelancong yang sengaja mampir membawa oleh-oleh dari kota ini. Sepanjang pecinan, aneka toko oleh-oleh khas Salatiga seperti emping gepuk, keripik paru, dan produk kuliner lainnya tersaji di jalan yang terbentang sepanjang satu kilometer. Mayoritas pemilik ruko yang bergeliat sejak 1960-an itu merupakan keturunan Tionghoa, yang leluhurnya telah lama bermukim di sana.

KISAH CINTA SOEKARNO DI KOTA SALATIGA

Jelang siang pada 1952, pekik “merdeka” bersahut-sahutan di Bundaran Taman Sari, Kota Salatiga. Semua masyarakat antusias menyambut kedatangan seorang pemimpin besar. Semuanya menantikan kedatangan Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Kedatangan Soekarno dalam rangka kunjungan kerja ke Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengetahui akan menyempatkan diri singgah di Salatiga, warga Salatiga sudah berdatangan sejak pagi.

Saat itu Soekarno akan menyampaikan pidato keramatnya, di sebuah lapangan besar yang terletak di depan Gedung Ramayana di Jalan Jenderal Sudirman sekarang. Saat ia datang dan mulai menyampaikan orasinya, semuanya hening menunggu pekik merdeka sebagaimana kata pembuka dari pidato kebanyakan putra sang fajar ini. Namun tak dinyana, Soekarno tak menyampaikan pekiknya. Justru, sang presiden melantunkan lagu Jawa yang sedikit dipelintirnya. “Suwe ora jamu. Jamu pisan jamu kapulogo. Suwe ora ketemu. Ketemu pisan nang Solotigo...”. Masyarakat setempat pun bergemuruh melihat pemimpinnya menyampaikan salam cinta untuk rakyatnya. Usai pidato, Bung Karno dikerumuni rakyatnya yang ingin bersalaman dengan sang presiden.

Setelah menyapa rakyatnya, Soekarno kembali memasuki rumah Dinas Wali Kota Salatiga yang tak jauh dari sana. Saat jam makan siang, Bung Karno mencari-cari masakan yang membuat seleranya tergugah. Dari beberapa hidangan yang tersaji di rumah tersebut, ada satu hidangan yang membuat Bung Karno tertarik dan memang itu merupakan masakan favoritnya : sayur lodeh. Kelezatan sayur lodeh yang dimakan secara lahap, membuat Soekarno bertanya-tanya, siapa perempuan yang mampu membuat sayur lodeh selezat ini.

Saat diminta menghadap sang presiden, keluarlah sosok cantik, tinggi semampai berkulit kuning langsat. Sosok perempuan itu adalah Hartini, perempuan 28 tahun yang saat itu telah bersuami dan tinggal persis di depan rumah dinas wali kota. Saat itu, ada dua perempuan yang sebenarnya membuat hati Bung Karno terpikat. Selain Hartini, ada perempuan lain yang bernama Singgih. Hanya saja, saat itu Hartini tidak sengaja menginjak sepatu sang presiden. Hal itu yang kemudian, membuat Soekarno semakin penasaran.

Entah bagaimana ceritanya, Soekarno menemukan cinta lain dalam diri Hartini. Sejak pertemuan di Istana Wali Kota itu, Soekarno saling bertukar surat dengan Hatini. Selama dua tahun, upaya Bung Karno dalam merayu pun berbuah hasil. Hingga akhirnya, sepasang manusia itu menikah di Bogor pada 7 Juli 1954.



Bangunan rumah dinas Wali Kota Salatiga ini dibangun sekitar pertengahan abad ke 19. Pada 1903, rumah kokoh berpilar arsitekur Jawa-Eropa ini dulunya merupakan rumah tinggal asisten residen. Sejatinya, di dalam kompleks dinas wali kota sendiri berdiri dua bangunan. Satu bangunan lainnya merupakan bangunan lebih tua yang dibangun pada 1823. Bangunan itu merupakan kediaman Majelis Tinggi Gereja GPIB Taman Sari. GPIB Taman Sari, yang berhadapan dengan rumah dinas wali kota, adalah gereja tertua yang ada di Salatiga. Bangunan peribadatan itu juga dibangun pada 1823.

Satu hal lagi, di rumah bekas asisten residen tersebut juga terdapat sebuah prasasti berinskripsi yang dibuat pada 1997 oleh duta besar Prancis, Thierry de Beauce. Melalui prasasti itu, didapat keterangan bahwa penyair besar Prancis, Jean Nicolas Arthur Rimbaud (1854-1991) pernah ke Salatiga dari 2 sampai 15 Agustus 1876. Juga tertulis dalam prasasti di dinding itu, Aux pays poivres er detrempes (Negeri ini banyak lada dan beriklim basah).

Sementara itu, rumah Hartini atau lengkapnya Siti Hatini juga masih berdiri persis di hadapan rumah dinas wali kota di sebelah Jalan Diponegoro. Rumah bergaya Eropa abad 20 itu merupakan bekas kediaman pemilik perkebunan asal Belanda. Pada 1950 rumah tersebut dimiliki Suwondo, suami Hartini sebelum Soekarno. Sejak 1960 hingga 1980, rumah yang berdampingan dengan Apotek Vitra itu pernah menjadi kantor Kejaksaan Negeri Salatiga. Bentuk bangunan rumah bercat kuning itu masih sebagaimana adanya sejak awal. Hanya isi peninggalannya saja yang sudah tidak ada sama sekali.

MENGINTIP KAMAR PERISTIRAHATAN SOEHARTO DI KOTA SALATIGA

Salatiga tak hanya menyisakan kenangan bagi Soekarno. Di kota ini juga terdapat salah satu rumah bersejarah bagi presiden kedua Indonesia, HM Soeharto. Karier militer Soeharto memang berawal dari sini saat ia menjabat sebagai komandan Resimen di Salatiga. Di bangunan yang sampai saat ini dikenal dengan Rumah Dinas Korem Makutaraman 073 itu, putra pertama Soeharto, Sigit Harjojudanto, dilahirkan. Soeharto juga menjadi korem pertama di tempat ini. Sejarahnya, Korem 073 Makutaraman Salatiga terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Panglima Kodam VII/Diponegoro, Brigjen M Sarbini tertanggal 29 Agustus 1961.

Bangunan cagar budaya ini berada di Jalan Diponegoro 97. Hingga saat ini, dikenal warga Kota Salatiga sebagai rumah dinas Komandan Korem 073/Makutarama. Bangunan ini tampak luar begitu megah dengan mengedepankan arsitektur khas kekaisaran Eropa. Bangunan yang terdiri atas dua bangunan utama itu merupakan salah satu bangunan peninggalan juragan perkebunan asal Cina yang merajai ekspor impor di Jawa Tengah.



Di ruang utama bangunan bergaya art deco sentuhan doric tersebut dibuat melowong dengan menempatkan beberapa sofa dari kayu jati yang difungsikan untuk ruang keluarga dan menerima tamu. Lantai rumah bermarmer Eropa dengan hiasan porselen di sana-sini. Segaris lurus dengan pintu masuk, ada pintu keluar yang dibuat dengan pintu berjendela besar. Pintu belakang itulah yang menghubungkan dengan beranda belakang. Teras belakang merupakan tempat beristirahat sembari menikmati pemandangan Gunung Merbabu. Dari sepintas pemetaan rumah ini, bisa disimpulkan bahwa siapa pun yang pernah membangun rumah tersebut, ia adalah manusia pemuja keindahan.

Memasuki salah satu ruangan di lantai dua, di sebelah kanan tangga terdapat kamar peristirahatan Soeharto. Menempati kamar berukuran 7x6 meter, kamar Soeharto berdinding kayu jati berwarna cokelat tua. Kamar Soeharto secara pemetaan ruang merupakan lokasi terindah dari keseluruhan ruangan. Selain berada di lantai kedua, kamar ini memiliki jendela yang jika seketika dibuka, terpampang jelas panorama banyak gunung di Jawa Tengah, termasuk Merbabu dan Ungaran. Selain kamar ini, ada satu lagi kamar yang tak kalah memiliki peran sejarah rekam keberadaan sang jenderal. Satu ruangan khusus, tempat menyimpan ranjang dan kasur yang pernah ditiduri Soeharto. Di ruangan itu pula, terdapat sebuah rak menggantung di dinding. Konon, tempat itu dijadikan penyimpanan barang-barang keramat milik sang komandan pertama Salatiga.

TIGA HAL TENTANG SALATIGA
1.       Selain berhawa sejuk karena bentang alam yang mendukung, Salatiga dipilih untuk pemukiman Eropa karena kota ini juga sempat bermetamorfosis sebagai kota militer pada awal abad ke 19. Julukan kota militer tersemat merujuk pada catatan bahwa di Salatiga pernah didirikan sebuah benteng pertahanan, Benteng de Hersteller, didirikan pada 1749 saat gubernur jenderal Hindia Belanda dipegang Baron van Imhoff (kondisi sekarang tak berbekas di Jalan Ahmad Yani).
2.      Kota Salatiga lahir lantaran kepentingan penyebaran agama Hindu di era Mataram kuno. Status tanah bebas pajak untuk salatiga tidak terlepas dari upaya Mataram menempatkan banyak pendeta Hindu-nya di kawasan ini. Salatiga dianggap bisa menjadi salah satu pintu gerbang mencari jejak-jejak peninggalan Mataram kuno di Jawa Tengah.
3.      Seolah tak mengenal akhir pekan, Kota Salatiga tetap saja punya batas waktu bergeliat. Di kota ini, toko-toko telah menutup pintunya pada pukul sembilan malam. Tak ada aktivitas atau kumpul-kumpul yang menonjol yang biasa ditemukan di kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa. Sepanjang Jalan Jenderal Sudirman, jalan utama di kota ini, sepi kendaraan pada jam-jam tersebut. Aktivitas pertokoan pun baru dibuka kembali pukul enam pagi. Itu pun baru sebagian.

ENTING-ENTING GEPUK, OLEH-OLEH KHAS SALATIGA

Ada kegiatan yang begitu ramai di salah satu rumah di sudut Jalan Abdul Gani 1, Kampung Pengilon, Salatiga. ‘Bug... bugg... buggg’, terdengar suara sesuatu dipukul-pukul. Suara ramai itu datang dari rumah pabrik pembuatan enting-enting gepuk, makanan ringan khas dari kota Salatiga. Bunyi yang terkesan menyeramkan seperti orang dipukuli itu datang dari bunyi tabuhan balok kayu yang beringas ‘menghajar’ adonan kacang panggang berlumur gula merah. Ini adalah operasi besar di balik kemasan cantik enting-enting gepuk yang manis gurih itu.

Enting-enting gepuk merupakan produk kuliner yang terbuat dari adonan kacang tanah panggang dan dicampur gula merah kental seperti karamel. Nama gepuk diambil dari proses pembuatannya, yaitu digepuk (dipukul) di atas landasan kayu berbentuk empat persegi panjang. Kacang tanah yang telah manis itu digepuk dengan botol hingga menjadi halus. Kekhasan dari enting-enting Salatiga, enting-enting gepuk ini dikemas berbentuk prisma segitiga, mengilhami pelintiran dari nama kotanya.

Salah satu sentra pembuatan enting-enting gepuk yang terkenal di kalangan pemburu kuliner khas Salatiga, berada di Kampung Pengilon. Di sini lahir salah satu merek enting gepuk yang cukup populer yaitu Arya Mas, yang kini dijalani oleh Marwoto, atau akrab disapa Totok. Totok mulai terjun mengelola usaha pembuatan enting-enting gepuk ini sejak 2006 setelah sebelumnya, usaha ini dirintis oleh orang tuanya pada 1960.

Banyak kisah yang lahir dari perjalanan bisnis Totok dengan enting-enting gepuknya. Pada 1974, orang tua Totok, Slamet Riyanto, pernah menjadi pengusaha enting-enting gepuk yang tersohor dengan merek Dua Naga. Hanya saja, perusahaan yang telah berhasil memperkerjakan 100 pegawai itu bangkrut dan keluarganya di miskinkan lantaran terjadi perebutan hak atas nama produk, di tahun 1989.

Dengan modal keberanian, pengalaman, serta modal usaha yang didapatnya saat bekerja di media massa di Jakarta, akhirnya membuat Totok berani menghidupkan kembali usaha keluarganya yang sempat mati suri itu. Tepat pada penghujung 2006, Totok kembali merintis usaha enting-enting gepuk dengan memakai merek Arya Mas. Pria yang kini juga menjabat sebagai penasihat Dewan Koperasi dan UKM Salatiga ini hanya bercita-cita ingin mengembalikan kejayaan usaha keluarganya.



Kini, Totok telah melalui masa-masa sulitnya. Saat ini, produknya telah meluas dan memiliki beberapa pasar langganan di beberapa kota di Jawa Tengah, termasuk Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Bali, Lombok, dan Makassar, hingga Pekanbaru. Hingga tahun 2008, Totok yang telah memiliki 60 pegawai ini telah mengeluarkan produk baru, Tingkers, enting-enting yang dipadukan dengan beberapa rasa yang bersahabat di lidah masyarakat Indonesia, seperti cokelat dan kacang mete.

Totok pun terus melakukan riset untuk pengembangan produk. Dalam beberapa tahun terakhir, ia juga melakukan kerja sama dengan Unika Soegijapranata, Universitas Gajah Mada untuk meriset dan mencari trik pemilihan serta cara pengolahan kacang guna menghasilkan produk terbaik. Selain itu, pedoman yang dipegangnya, yakni melakukan pengolahan secara manual dengan tangan manusia, baik mulai dari pemilihan kacang dari yang pahit dan layak diolah, hingga proses penggepukan. Sesuai dengan prinsip yang telah ditanamkan oleh orang tuanya, meskipun saat ini sudah banyak pesaing yang menggunakan mesin.

Enting-enting gepuk tersebut dijual seharga Rp 700 per buah dan berbagai harga dalam variasi kemasan. Kini omzet usaha Totok telah mencapai Rp 7 miliar per bulan. Itu berdasarkan catatan setidaknya dalam sehari pabriknya mampu memproduksi 70 ribu buah enting dengan berbagai rasa. Dengan asumsi mencapai tujuh ton kacang tanah per hari, tentunya dengan kualitas terbaik.

PRODUK KULINER DARI SALATIGA

NASI SAMBAL TUMPANG

Makanan ini merupakan masakan yang juga lahir dan meramaikan pesona kuliner di Salatiga. Penganan tersebut sekilas menyerupai gudeg yang terkenal dari Yogyakarta. Nasi sambal tumpang merupakan makanan bersantan yang berisi beragam jeroan dan tulang muda dari otak, lidah, dan tulang muda dari kepala sapi. Di Salatiga tumpang koyor menjadi favorit di kalangan masyarakat setempat.



Makanan ini salah satunya tersaji di rumah makan Ibu Kori di Jalan Jenderal Sudirman, Salatiga. Rasa santan yang gurih serta isi tulang muda sapi menjadi buruan pelancong untuk masakan yang kadang dikenal dengan nama tumpang cungur itu. Rumah makan Ibu Kori tak begitu luas. Hanya saja silih berganti pelanggannya datang. Sehari itu pula, tujuh kepala sapi dihabiskan ibu Kori yang berdagang sejak tahun 1954 ini, untuk para pelanggannya.

WEDANG RONDE

Udara malam yang begitu dingin menusuk di Salatiga, membuat wedang ronde menjadi minuman penghangat tubuh favorit pada waktu malam. Di sepanjang ruko Jalan Sudirman, pada malam hari berjejal pedagang ronde. Wedang ronde yang khas dan lahir dari inovasi masyarakat Salatiga, salah satunya wedang ronde Cap Jago yang berada di sudut gang Ruko Sudirman Pasar Raya II. Berbeda dengan ronde kebanyakan, wedang ronde Cap Jago khas Salatiga ini dipadukan dengan manisan pepaya, kulit jeruk, dan rumput laut.

DARI SEBONGKAH BATU MENJADI SELEMBAR BATIK

Prasasti Plumpungan adalah prasasti yang tertulis di sebuah batu andesit, batu tua yang kini menjadi dasar hari jadi Kota Salatiga, sejak ditemukan pada 1994. Prasasti ditemukan di Dusun Plumpungan, Sidorejo. Dari inskripsi Jawa Kuno yang tertulis di batu itu, tertuang informasi bahwa Salatiga telah menjadi wilayah otonom sejak 24 Juli 750 M di bawah Kerajaan Mataram Kuno.

Namun di tangan seorang Bambang Pamulardi, batu itu kemudian tak hanya menjadi dasar hari jadi kota. Melalui batu berdiameter lima meter itu pula, inspirasi datang untuk dituangkan pada selembar kain dalam bentuk desain batik. Atas keberadaan batu itu pula, motif batik Salatiga mulai mengibarkan namanya sejak 2004. Masyarakat kemudian menyebut batik Salatiga dengan sebutan lain : batik Plumpungan.



Bambang Pamulardi, seorang pegawai pemerintah kota Salatiga, mengembangkan batik Plumpungan dengan motif khas yang diambil dari prasasti berupa batu besar dan kecil, terinspirasi bentuk prasasti Plumpungan. Motif yang pertama diciptakannya dikenal dengan nama batik Selo Plumpungan. Batik diorbitkan pertama kali dalam pameran batik nasional pada 2004. Saat pertama kali naik panggung, motif plumpungan bentuknya masih amat sederhana, hanya berupa dua batu berbaris, kecil, dan besar.

Dari mulai satu motif dasar tersebut, inovasi pun terus dilakukan. Hingga saat ini, Bambang yang membuka sentra batinya di kediamannya di Perumahan Puri Satya Permai Blok IV-5, Kemiri, Salatiga ini, telah mengkreasikan beragam motif baru dan modifikasi hingga 50 motif. Motif lain yang lahir dari kreasinya tertuang pada corak baru, seperti Watu Rumpuk, Selo Sidorejo, Selo Sidomukti, Selo Tingkir, Kenyo Kasmaran, Semut Giring, Manggu Jajar, dan Dian Nugroho. Semua corak itu diambil dari semua prasasti yang pernah ditemukan di Salatiga.



Ciri khas batik Plumpungan adalah motifnya yang selalu memiliki bentuk dasar seperti bentuk prasasti Plumpungan yang terdiri atas satu batu besar kecil. Dari motif dasar itu, kemudian dikembangkan dalam berbagai varian bentuk semisal kupu-kupu, ikan, kura-kura, dan bunga. Untuk soal warna identik, tidak ada pakem yang terlalu prinsip. Hanya saja, batik Plumpungan lebih terinspirasi dengan kekayaan warna yang dimiliki batik Pekalongan, yakni tiga sampai lima warna cerah.

Batik Salatiga kini terus bergiat melakukan inovasi lebih jauh. Di tengah maraknya persaingan di berbagai daerah penghasil batik lainnya, batik Salatiga hingga saat ini masih dipadukan dengan beragam corak dari batik lainnya. Tak hanya itu, perluasan pasar belum mampu dilakukan secara mandiri. Dalam skala besar, kadang batik Plumpungan justru banyak ditemukan di Pekalongan. Sebab, Pekalongan masih menjadi pusat terkuat industri dan distribusi batik.

Batik Salatiga dijual dengan beragam jenis bahan. Mulai bahan sutra, dobi, katun, serat nanas, dan batik tulis. Variasi harga pun sesuai dengan jenis bahan dan kerumitan corak. Batik produksi Bambang Pamulardi ini dibanderol mulai harga Rp 60 ribu hingga Rp 500 ribu. Namun jika bahannya mengugunakan sutra tulis, harganya bisa mencapai jutaan.



 _________________

advetorial :

NIKMATI LEZATNYA BOLU KUSKUS KETAN ITEM, OLEH-OLEH KHAS JAKARTA DENGAN CITA RASA ASLI YANG MENGGUGAH SELERA. PEMESANAN KLIK DI SINI








 
























  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

TUMPENG NUSANTARA MENUJU DUNIA




Tumpeng merupakan salah satu dari 30 ikon kuliner tradisional Indonesia yang telah ditetapkan oleh pemerintah pada pengujung 2012. Tumpeng bahkan dinobatkan sebagai pengikat dari seluruh ikon kuliner tradisional yang akan dikenalkan lebih luas ke khalayak dunia. Dari 30 ikon kuliner Indonesia yang ditetapkan oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, memang harus ada satu makanan yang menjadi unggulan dan sekaligus penanda mengikat keberagaman itu, seperti semboyan Bhineka Tunggal Ika. Karena bisa dijumpai di berbagai daerah, pilihan unggulan jatuh pada tumpeng.

Tumpeng sebenarnya memang tak hanya ditemui di daerah Jawa, tapi ada pula dari daerah lain. Hanya, isinya yang berbeda. Ada tumpeng yang terbuat dari nasi putih, nasi kuning, nasi merah, bahkan ada yang terbuat dari ubi dan singkong. Namun, tumpeng yang banyak dikenal orang adalah sajian yang terdiri atas nasi kuning yang gurih didampingi dengan lauk pauk yang lengkap. Berupa sayur, ayam, daging, ikan, tempe, telur, kentang, dan lauk lainnya. Bentuk nasi yang seperti kerucut dan lauk yang ramai inilah yang menjadi ciri khas tumpeng.





Beranjak dari tumpeng yang populer di masyarakat, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama sejumlah pakar kuliner Tanah Air menetapkan Tumpeng Nusantara. Tumpeng ini bisa berupa nasi gurih dan dilengkapi lauk pauk dari berbagai provinsi. Salah satu contohnya adalah, tumpeng dengan lauk dari tujuh provinsi. Contohnya, ikan kandasaraya, rendang padang dari Sumatera, perkedel nilu, ayam bumbu rujak di Yogyakarta atau dari Lumajang, sayur bisa berupa urap atau anyam, yaitu jantung pisang yang direncah dengan ikan, satai maranggi, dan lainnya.

Nomenklatur tumpeng nusantara ini sengaja dihadirkan untuk membedakannya dari tumpeng yang digunakan sebagai bagian dari rangkaian upacara dalam tradisi dan mitologi Jawa. Jadi, Tumpeng Nusantara adalah bentuk modern dari tumpeng purba dan sakral. Tumpeng dipilih sebagai ikon karena mudah dibentuk. Nasi yang cukup dicetak dengan daun pisang bentuk kerucut sudah menghasilkan tumpeng. Tumpeng juga menawan mata karena pilihan lauknya yang banyak.





Guna memajukan kuliner Indonesia dan menginternasionalkan tumpeng, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif membuat terobosan baru. Yaitu, dengan memikirkan konsep plating tumpeng atau menatanya secara cantik di piring. Tumpeng yang biasanya disajikan dalam satu tampah besar dengan beragam lauk pauknya, kini akan disajikan per porsi dalam satu piring. Bentuk tumpengnya sama, ukurannya saja yang berbeda, disesuaikan untuk porsi satu orang. Berbeda dengan tumpeng biasanya yang bisa dimakan oleh banyak orang. Menata tumpeng porsi individual ini dilakukan untuk menarik minat orang menyantap tumpeng. Sekaligus, menggaet pasar di luar negeri.

NILAI HISTORIS TUMPENG

Tak hanya berfungsi untuk memuaskan lapar, tumpeng juga sarat dengan nilai sejarah yang tinggi. Dalam mitologi Jawa misalnya, tumpeng selalu hadir dalam banyak fase kehidupan. Orang Jawa menyuguhkan tumpeng mulai dari syukuran kehamilan, lahiran, ulang tahun, ruwatan, panen yang berlimpah, permohonan untuk perlindungan, keselamatan dan berkah, bahkan untuk upacara kematian tumpeng bisa saja tersaji. Tumpeng diartikan sebagai salah satu bentuk puji syukur atau rezeki yang dilimpahkan oleh Allah SWT. Dalam setiap acara yang dianggap sakral tersebut, tumpeng yang disajikan berbeda.

Budaya tumpeng tak hanya dikenal orang Jawa. Suku Dayak di Kalimantan turut mengenal tumpeng, yang mereka sebut sebagai penginan simpan. Lauk pauk sebagai pelengkap tumpeng biasanya disesuaikan dengan tujuan pengadaan tumpeng. Umumnya untuk memohon berkah, tumpeng dilengkapi dengan tujuh macam lauk, sesuai dengan kata pitulungan dalam bahasa Jawa yang bermakna memohon pertolongan Allah.

Bentuknya yang mengerucut identik dengan bentuk gunung dalam wayang kulit yang merupakan simbolisasi alam semesta dengan Allah SWT di puncak kerucut. Meski ada pula yang memaknainya sebagai topografi alam Indonesia yang bergunung-gunung. Setiap lauk pauk yang mendampingi nasi tumpeng pun mengandung makna. Misalnya, ayam yang bisa diartikan berlebihan rezeki. Lauk ikan berarti manusia tidak boleh sombong. Atau, urap yang terdiri atas beragam sayur sebagai arti kehidupan yang berupa-rupa. Semua mewakili sifat ketangguhan manusia.  Harus bisa hidup dalam kondisi apa pun. Kehidupan yang adem ayem tenteram, kreativitas tinggi, dan kebijaksanaan yang ditandai dengan berpikir panjang sebelum memutuskan sesuatu.

RAGAM TUMPENG NUSANTARA :
1.       Tunpeng nasi kuning : ayam bumbu rujak (Jawa Timur), plecing kangkung (Lombok), ikan bakar rica-rica (Minahasa), kanaik (tumis perut ikan) dari Dayak.
2.      Tumpeng nasi gurih atau uduk : bebek nyatnyat (Karangasem, Bali), trancam (Jawa Tengah), perkedel nike (Minahasa), kalio daging sapi (Minang).
3.      Tumpeng nasi merah : ikan pesmol (Sunda), ayam langkueh (Sumatra Barat), beberuk terong (Lombok), satai lilit (Bali), daing se’I (Timor).
4.     Tumpeng nasi merah dan putih : brengkes tempoyak patin (Sumatera Selatan), lawar pakis (Bali), satai maranggi sapi (Sunda), ayam masak habang (Banjarmasin).
5.      Tumpeng nasi pandan : kembung betelok (Bangka), ayam lodho (Jawa Timur), urap (Jawa), dendeng batokok (Minang).

TIPS MEMBUAT TUMPENG :
1.       Gunakan daun pisang batu untuk membentuk tumpeng.
2.      Gunakan beras yang dicampur dengan ketan. Komposisinya dua per tiga beras dan satu per tiga ketan agar tidak cepat kering dan bisa bertahan lama.
3.      Kelapa yang digunakan sebaiknya dikupas.
4.     Beri garnish atau hiasan agar tampilan tumpeng menjadi cantik dan menarik.



 _________________

advetorial :

NIKMATI LEZATNYA BOLU KUSKUS KETAN ITEM, OLEH-OLEH KHAS JAKARTA DENGAN CITA RASA ASLI YANG MENGGUGAH SELERA. PEMESANAN KLIK DI SINI


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS