RSS

WISATA KAMPUNG TUA BANJARMASIN.


Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, kini tengah gencar menawarkan destinasi wisata baru, yakni Sungai Jingah. Sungai Jingah yang terletak di Kecamatan Banjarmasin Utara dikenal sebagai lokasi kampung tua. Di tempat itu terdapat sekitar 20 rumah tua yang masih utuh dan terpelihara dengan baik. Mereka yakin, jika lokasi ini dikembangkan pasti akan memperoleh respons dari kunjungan wisatawan, apalagi lokasi ini dipadukan dengan paket wisata susur sungai, yang kini juga tengah dijual oleh Pemkot Banjarmasin.

Di lokasi tersebut hampir semua bentuk rumah tua bernuansa budaya Banjar. Rumah Banjar dikenal antara lain sebagai bentuk gajah manyusu, gajah baliku, bubungan tinggi, pelimbangan, pelimasan, balai laki, dan balai bini. Begitu juga ornamen atau ukiran di beberapa sudut rumah dan pagar rumah yang mengandung banyak makna, menarik bagi pecinta sejarah dan seni. Kalangan masyarakat Banjar mengenal ornamen itu dengan sebutan, seperti sasirangan, air guci, penginangan, dan ranggaman.


Berdasarkan catatan, ornamen dalam arsitektur tradisional Banjar dikenal dengan istilah 'tatah' dalam bentuk tatah surut (ukiran berupa relief), tatah babuku (ukiran dalam bentuk tiga dimensi), dan tatah baluang (ukiran 'bakurawang'). Ornamen pada rumah Banjar dapat ditemui, antara lain pada beberapa tipe bangunan, seperti rumah bubungan tinggi (rumah baanjung), gajah baliku, gajah manyusu, palimasan, palimbangan, balai laki, balai bini, tadah alas, dan cacak burung/anjung surung.

Ornamen sebagai karya seni pahat dalam arsitektur Banjar memiliki kekhususan pada setiap tipe rumah Banjar. Karena itu, ragam hias yang terdapat pada tipe rumah bubungan tinggi tidak selalu sama ragam hiasnya dengan yang terdapat pada tipe rumah palimbangan. Begitu pula ornamen pada tipe rumah gajah baliku, juga memiliki perbedaan dengan ornamen yang ada pada rumah tipe cacak burung atau anjung surung. Ada pula ragam hias seni pahat itu yang bersifat netral. Artinya terdapat penempatan ornamen ragam hias tersebut yang bersamaan pada hampir semua tipe rumah tradisional Banjar. Terdapat 11 bagian bangunan yang biasa diberikan ukiran.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MENAPAKI JEJAK CHAIRIL ANWAR DI JAKARTA.


Chairil Anwar adalah sosok sastrawan pelopor Angkatan 45 yang membawa era puisi modern ke Indonesia. Lelaki kelahiran Medan pada 26 Juli 1922 ini mulai menginjakkan kaki di Jakarta pada 1942 saat ia sudah mulai aktif menulis sajak. Selama tujuh tahun tinggal di Jakarta, ia meninggalkan jejak-jejak di sejumlah tempat yang banyak berkaitan dengan sajak yang ia buat. Salah satu tempat yang tidak asing dengan keberadaan Chairil ada di lokasi Tugu Proklamasi kini. Bersama ibunya, Chairil sempat menumpang di rumah pamannya, Sutan Syahrir, di Jalan Pegangsaan Timur No 56. Rumah ini sempat ditempati Ir Sukarno dan istri ketiganya, Fatmawati, setelah dipulangkan dari tempat pengasingan di Bengkulu oleh Jepang.


Oleh Bung Karno dan Bung Hatta, rumah ini lalu dijadikan tempat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 silam. Di sini juga Bung Karno sempat menulis naskah pidato perumusan Pancasila yang kemudian ia bacakan dalam sidang BPU-PK. Dan rumah inilah tempat Chairil membuat sebuah sajak bertema patriotisme kemerdekaan, berjudul 'Krawang-Bekasi'. Dalam sajaknya itu, ia mengabadikan nama tiga bapak bangsa yang sangat ia kagumi, Sukarno, Hatta, dan Syahrir. Di tahun 1949, Chairil kembali membuat sajak 'Persetujuan Dengan Bung Karno' setelah menyaksikan pidato Sukarno di Lapangan Ikada pada 9 September 1945. Meski sarat akan sejarah, rumah di jalan Pegangsaan Timur No 56 itu tidak terawat dengan baik. Pada peristiwa G30S/PKI, rumah tersebut bahkan dirobohkan dan diratakan dengan tanah. Baru pada 1980, Presiden Soeharto meresmikan Tugu Proklamasi yang dibangun tepat di Jalan Pegangsaan Timur No 56, yang saat ini berubah menjadi Jalan Proklamasi. Dalam Tugu Proklamasi terdapat patung Bung Karno dan Bung Hatta yang membacakan naskah proklamasi.


Setelah tak lagi dibiayai oleh ayahnya dari Medan, Chairil mulai keluar dari rumah Syahrir dan mencari pekerjaan. Berbagai pekerjaan serabutan ia lakukan untuk menyambung hidup, termasuk menjual barang-barang bekas hasil jarahan rumah orang-orang Belanda. Namun ia tetap memantapkan diri sebagai senimah. Hobi membaca buku dan menonton film membuat wawasannya terbuka dan kosakata bahasanya luas di usianya yang cukup muda. Kesenangannya menonton film bahkan dituangkan dalam sajak berjudul Aku Berkisar Antara Mereka.

Salah satu gedung bioskop bersejarah di Jakarta yang sering ia kunjungi adalah bioskop Metropole di Menteng, Jakarta Pusat. Gedung bioskop ini berdiri setelah Indonesia merdeka dan diresmikan langsung oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Saat ini Metropole masih menjadi gedung bioskop dengan nama Metropole XXI (dulu Megaria 21). Bangunan gedung bioskop ini masih terlihat asli dengan gaya bangunan khas Belanda, yang telah ditetapkan sebagai gedung Cagar Budaya Nasional.


Semasa hidupnya, Chairil pernah satu kali menikah dengan seorang wanita asal Karawang bernama Hapsah Wiradiredja. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan bernama Evawani Alissa. Namun pernikahan tersebut hanya bertahan selama tiga tahun. Hapsah menceraikan Chairil karena penyair itu tidak memiliki pekerjaan tetap. Setelah bercerai, Chairil banyak menumpang tinggal di rumah sahabat-sahabat dekatnya. Hidupnya semakin tidak terurus, suka begadang, kuat merokok, dan juga sering ke rumah bordil. Hingga akhirnya ia terjangkit sejumlah penyakit, seperti infeksi paru-paru, infeksi usus, tifus, dan sifilis.

Pada 22 April 1949 ia dibawa rekan-rekannya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Setelah berjuang melawan penyakit selama tujuh hari, ia menghembuskan nafas terakhir di usia 27 tahun. RSCM yang dulunya bernama Rumah Sakit Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ) menjadi saksi bisu pertemuan Hapsah dengan jenazah Chairil setelah sebelumnya mereka hilang kontak pasca perceraian. Kepada Hapsah, Chairil hanya mewariskan sepotong baju dan celana, sebuah dompet, dan setumpuk kertas berisi sajak-sajak yang ia tulis.


Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak menjadi tempat peristirahatan terakhir sang pelopor angkatan 45. Chairil sebelumnya telah meramalkan kematiannya dalam sajak yang berjudul 'Yang Terampas dan Yang Putus', yang ia tulis tiga bulan sebelum pergi. Dalam sajak tersebut ia menyebutkan lokasi Karet, sebagai tempat ia kembali. Di era Gubernur Wiyogo Atmodarminto, makam Chairil Anwar dipugar, dan dibuatkan tugu menyerupai pena.


Semasa hidup, Chairil hanya menulis 70 buah sajak. Sajak-sajak tersebut baru didokumentasikan dan dibukukan oleh HB Jassin, setelah Chairil meninggal dunia. Sajak yang dibuat dari tulisan tangan Chairil masih disimpan rapih dalam Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. PDS HB Jassin yang didirikan pada 28 Juni 1976 ini berlokasi di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. HB Jassin adalah sahabat dekat Chairil meski usianya lebih tua. Mereka pernah bertengkar karena tuduhan plagiarisme Jassin kepada Chairil. Namun Jassin yang berjasa mengenalkan sajak Chairil setelah meninggal. Jassin yang juga senang menulis sajak seperti Chairil, pada awalnya ingin mendokumentasikan karya-karya sastra agar tidak hilang. Jasanya yang besar pada kesusastraan Indonesia meluluhkan hati Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, yang kemudian memberikannya tempat di TIM. PDS HB Jassin dibuka untuk umum. Pengunjung bisa melihat ribuan karya sastra dalam bentuk buku fiksi, nonfiksi, naskah, makalah, audio, dan video.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KISAH PENGRAJIN REOG PONOROGO



Reog merupakan salah satu seni yang menjadi ciri khas Jawa Timur, khususnya kota Ponorogo. Keindahan seni reog Ponorogo tidak sebatas kemampuan pelaku seninya, tetapi bentuk dan aksesori reog itu sendiri juga sangat menarik. Perpaduan kipas raksasa yang disebut dadag merak dengan ribuan bulu merak berwarna khas mengkilap indah, serta bagian kepala atau caplokan berupa topeng yang dilapisi kulit kepala harimau yang gagah adalah salah satu ciri khas reog Ponorogo. Hanya orang-orang dengan keterampilan khusus yang mampu membuat aksesori seharga puluhan juta rupiah tersebut.

Salah satu yang memiliki keahlian dalam membuat aksesori reog adalah Sarju. Sebagai seorang perajin reog, nama Sarju sudah cukup dikenal di Ponorogo, terutama oleh para seniman reog. Meski rumahnya yang terletak di Desa Sriti, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, berjarak sekitar 30 kilometer dari jantung kota Ponorogo, dan lima kilometer menjelang lokasi harus naik ke pegunungan, namun semua orang nyaris tahu. Tak hanya mencari nafkah dari reog, Sarju dan keluarganya  memang juga pecinta kesenian ini. Selain sebagai pengrajin, bapak seorang anak ini memang juga seorang seniman reog. Tiap kali pentas, dia bertindak sebagai pengrawit atau penabuh gendang. Maka tak heran bila reog begitu menyatu dalam nafas kehidupannya.

Sarju menjelaskan, untuk membuat reog dibutuhkan keterampilan tinggi. Karena itulah jarang sekali orang menekuni profesi sebagai pembuat reog. Ia sendiri sudah menekuni keterampilan membuat reog sejak kecil. Kemampuan itu ditularkan oleh sang ayah, Senun. Sang ayah mengajarinya mulai dari mengolah bahan baku sampai benar-benar jadi reog. Oleh ayahnya, Sarju memang sengaja dikader untuk menjadi pengrajin reog. Karena jumlah pengrajin reog dari dulu sampai sekarang masih bisa dihitung dengan jari. Bahkan dulu, kata Sarju, beberapa pengrajin reog banyak yang mengambil bahan dari ayahnya. 


Setelah ia beranjak dewasa, tepatnya di tahun 1999, ketika sudah merasa cakap dan fisik sang ayah tidak memungkinkan lagi membuat reog, Sarju mulai menggantikan perannya menjadi pengrajin dan menerima pesanan. Dan kini, pria tamatan SMP ini pun mulai turut melibatkan anak semata wayangnya, Dimas Wahyu Pratama, dalam mengerjakan pesanan reog sebagai upaya kaderisasi selanjutnya, Sarju menambahkan, sebenarnya ia tidak hanya menerima pesanan membuat reog baru. Tetapi juga menerima jasa perbaikan reog yang rusak atau mempercantik yang sudah kusam setelah sekian tahun digunakan.

Banyak bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan reog. Bahan dasarnya mulai dari bambu apus yang dibuat sebagai kipas raksasa, bulu merak, benang, rotan, paku, kayu dadap, mancung kelapa (tempatnya bunga kelapa), rambut ekor sapi, manik-manik sebagai hiasan. Proses pembuatannya pun tak gampang. Bambu apus yang sudah dibelah kemudian diserut menjadi batang lidi memanjang. Demikian pula dengan rotan. Bambu apus sengaja digunakan karena sifat bambu ini yang lentur namun kuat dan tidak mudah patah. Lidi berukuran panjang dan rotan tersebut kemudian dirangkai dengan membentuk seperti kipas setengah lingkaran oval dengan tinggi 2,2 meter dan lebar 1,5 meter. Kipas raksasa tersebut diayam rapi dengan benang sebagai pengikat. Mengerjakannya memang butuh ketelatenan. Kalau tidak hasilnya akan terlihat kasar dan kurang rapi.

Setelah terbentuk menjadi kipas raksasa utuh, pekerjaan berikutnya adalah menempelkan helai demi helai bulu merak dengan cara mengikat bagian batang bulu merak sampai bulu merak menutupi bagian kipas tersebut. Pekerjaan merajut ini juga harus terampil dan dianyam kuat-kuat supaya saat dipakai atraksi tidak rontok atau lepas. Sarju tidak mengerjakan semuanya sendirian. Sang istri, Rusmini pun turut membantu, setelah selesai mengerjakan tugas utama sebagai ibu rumah tangga. Sementara anaknya membantu sepulang sekolah, atau bila memang tidak ada tugas sekolah.

Salah satu komponen reog yang biayanya cukup tinggi adalah dadag merak. Dalam satu dadag merak dibutuhkan 1.500 helai bulu merak, yang satu helainya sekarang seharga Rp 8.700. Jadi, kalau satu dadag merak butuh 1.500 helai berarti biayanya mencapai Rp 13 jutaan. Untuk kebutuhan bulu merak ini, Sarju sudah memiliki pemasok. Para pemasok bulu merak tersebut biasanya mendapat bulu merak dari para pencari di hutan-hutan. Biasanya pada bulan April hingga Mei, burung merak rontok bulunya, dan sebagian orang memungutnya. Bulu merak juga diperoleh dari India yang memang diternakkan untuk diambil bulunya.


Selesai membuat dadag merak, langkah berikutnya adalah membuat caplokan atau topeng berbahan kayu dadap yang kuat tapi ringan. Bagian luarnya dilapisi kulit yang diambil dari bagian kepala kulit harimau. Kepala harimau memberi aura yang luar biasa. Selain gagah, juga garang dan berwibawa. Berat total reog yang sudah jadi bisa mencapai 40 kilogram. Namun, bukan pekerjaan mudah mendapatkan kulit harimau asli mengingat hewan tersebut saat ini termasuk yang dilindungi. Sebagai gantinya, Sarju mengganti kulit kepala harimau dengan kulit sapi yang dilukis mirip kepala harimau. Memang hasilnya tidak sebagus kulit kepala harimau asli, tetapi kalau tidak ada, mau tidak mau memang harus kreatif mencari penggantinya. Perbedaan harga reog dari kepala harimau asli dengan kulit sapi bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Melukis wajah harimau di atas lembaran kulit sapi juga bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan keterampilan tinggi. Jika tidak bagus, maka aura dari reog itu sendiri tak bakal tampak. Untuk melukis wajah harimau, digunakan semir sepatu, sedang mata harimau diganti dengan kelereng. Agar menambah kesan sangar, di bagian sekitar kepala harimau juga diberi rambut keperak-perakan yang diambil dari ekor sapi. Untuk membuat satu reog, Sarju membutuhkan waktu sekitar 15 hari. Sedang harga satu set reog sekitar Rp 30 juta, sudah termasuk gamelan yang terdiri dari kendang, gong, kenong, angklung, kempul, serta pakaian bagi para pemain dan pengrawit. Untuk gamelan dan pakian, Sarju memang tidak membuatnya sendiri, tetapi sudah ada langganan yang menjadi pemasok.

Sarju mengakui, belakangan ini jumlah pemesan reog makin banyak. Karena itulah dia tidak pernah berhenti memproduksi. Para pemesan reog datang dari berbagai kawasan di Indonesia. Bahkan dengan nada bangga, Sarju mengatakan pernah ada yang memesan dari kelompok reog asal Papua. Biasanya para pemesan adalah masyarakat Ponorogo yang ada di perantauan. Selain sebagai wadah untuk saling berkumpul sekaligus menunjukkan identitas kedaerahan, mereka biasanya membuat grup reog. Yang unik, menurut Sarju, ketika seni reog dihujat bahkan dibakar di kedutaan Davao, tahun 2015, atau diklaim oleh Malaysia, justru fanatisme masyarakat makin tinggi. Secara tidak langsung malah makin banyak orang yang memesan reog.

SUVENIR REOG



Reog sebagai identitas kota Ponorogo tidak hanya hadir dalam bentuk yang sesungguhnya, tetapi juga dalam bentuk suvenir. Belakangan ini cenderamata bernuansa kota warok tersebut juga laris di pasaran. Saat seni reog diklaim Malaysia sebagai seni budaya negara jiran tersebut, fanatisme masyarakat terhadap segala sesuatu yang bernuansa kota Ponorogo justru makin terpicu. Menurut Putut Hartanto, salah seorang pengrajin suvenir, permintaan pasokan dari toko suvenir makin meningkat, dan berimbas pada jumlah perajin suvenir khas Ponorogo yang juga naik dua kali lipat.

Putut yang membuka usaha sejak tahun 2008 menceritakan, bahwa semula usaha suvenir tersebut berjalan biasa-biasa saja. Sehari-hari dia memasok berbagai macam suvenir, mulai dari kuda lumping, miniatur kepala reog, miniatur reog, topeng bujang ganong, untuk keperluan suvenir dan pentas. Tapi setelah adanya klaim dari Malaysia, banyak toko suvenir di berbagai kota yang minta dikirimkan, termasuk beberapa pengusaha online shop.


Bapak seorang anak lulusan ekonomi manajemen ini memaparkan, bahwa pertama kali mendirikan usaha, setiap item barang ia buat sendiri. Kebetulan, Putut memang hobi membuat beragam kerajinan. Tetapi, dalam perjalanan waktu, Putut tak mampu lagi membuat sendiri. Ia harus melibatkan karyawan. Kendati demikian, ia harus tetap mengajari para karyawan dari nol sampai bisa. Dulu, Putut memang sempat memiliki workshop di rumah ibunya, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Para karyawan ia minta mengerjakannya di rumah masing-masing.Begitu jadi, baru disetorkan kepadanya.

Untuk membuat suvenir khas Ponorogo, juga dibutuhkan ketelatenan. Apalagi kerajinan seperti reog mini yang bentuk maupun bahan dasarnya sama persis dengan reog asli, termasuk menggunakan bulu merak. Salah satu tingkat kesulitannya adalah bagaimana menggambar kepala harimau di atas kulit sapi. Kalau tidak presisi, hasilnya akan tidak karuan. Putut mengaku, sering kewalahan dalam menerima pesanan. Tak heran bila harga miniatur reog cukup mahal, mencapai Rp 300.000.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BERBURU OLEH-OLEH DI KOTA SORONG, PAPUA BARAT.

Kota Sorong terletak di Provinsi Papua Barat dan memiliki penduduk kurang lebih 255.100 jiwa pada tahun 2014. Sorong yang letaknya sangat strategis, juga merupakan kota industri, perdagangan dan jasa, karena dikelilingi oleh kabupaten lain yang mempunyai sumber daya alam yang sangat potensial, sehingga membuka peluang bagi investor dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya. Bila anda sempat berkunjung ke kota Sorong, jangan lupa membeli buah tangan. Ada berbagai oleh-oleh khas Sorong yang bisa menjadi pilihan, mulai makanan seperti abon gulung, sagu, sampai kain tenun Papua dan kerajinan kayu.



KAIN TENUN PAPUA 



Di Sorong ada beberapa toko oleh-oleh yang menyediakan kain tenun Papua. Namun, bagi yang ingin mendapatkan langsung dari perajin sekaligus melihat cara pembuatannya, bisa berkunjung ke Sanggar Pelatihan Industri Tenun Papua dan Souvenir Papua milik Yakomina Isir, Sp.D yang berada tak jauh dari kawasan Puncak Arfak. Sanggar milik Jocke, panggilan akrab Yakomina, ini berada di bilangan Jalan Gunung Merapi, Distrik Sorong Barat, Sorong. Jocke bercerita, bagi masyarakat Papua, fungsi kain tenun tradisional sangat berperan penting dalam adat kehidupan mereka. Misalnya menjadi alat pembayaran dan mas kawin, serta alat pendamai untuk sengketa dan penyambung hubungan sosial. Maka tak heran bila sejak dini, kaum perempuan di wilayah ini diharuskan belajar menenun.

Jocke sendiri mengaku belajar menenun dari seseorang yang biasa ia panggil Suster Misy selama enam bulan. Ternyata, setiap habis diproduksi, kain tenunnya langsung terjual. Kini, selain masih aktif menenun, Jocke juga mengajarkan keterampilan menganyam bagi masyarakat lokal, membuat sanggul Papua, dan aksesori lain untuk upacara adat. Tak heran, jika di toko oleh-oleh yang ia kelola, tak hanya menyediakan tenun Papua saja, tetapi juga hasil kerajinan dan aksesori lainnya. Sebelum membuka pelatihan membuat kerajinan dan menenun kepada perempuan Papua, di tahun 2004, perempuan asal Maybart ini bergabung dengan Bapak Samsudin Ajam asal Ternate yang merupakan pimpinan Kopersada dan mengajukan program mempromosilan budaya Papua lewat tenun. Program yang diajukannya pun lantas disetujui hingga pelatihan yang ia selenggarakan itu dibiayai sepenuhnya.

Dalam menenun, Jocke tidak bisa sembarangan memilih motif. Ia harus meminta izin kepada kepala suku dan menyepakati hanya satu jenis kain saja yang boleh dijual secara bebas, yaitu Bohirim. Sebetulnya ada lima belas nama kain yag ada, tetapi memang hanya Bohirimlah yang dipilih agar tidak menghilangkan nilai budaya untuk kain yang lain. Tahun 2006 saat ditugaskan di Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, Jocke makin giat mempromosikan kerajinan tenun Papua dan kerajinan lainnya. Sampai akhirya ia mengurus badan hukumnya di tahun 2013 dan membuat lembaga pelatihan dengan nama Sanggar Pelatihan Industri Papua dan Suvenir Papua yang sekarang ia kelola.

Lewat sanggar miliknya, Jocke bisa menghasilkan tak kurang dari 500 hingga 600 kain dalam setahun untuk dijual. Kainnya ada yang berukuran 2,5 meter, bisa dibuat untuk baju, jas, atau rok. Ada juga kain seukuran taplak meja ataupun selendang. Harga kainnya bervariasi, mulai dari Rp 300.000 hingga jutaan rupiah. Para anggota pelatihan dari sanggar miliknya pun terus mempromosikan kain tenun asal Papua ini. Jocke memang memiliki banyak pengrajin. Ia menerapkan sistem, setiap produk yang dibawa pengrajinnya ada nilai perhitungannya. Misalnya apakah hanya tenaganya saja yang dibayar, karena bahannya Jocke yang menyediakan, atau memang tenaga dan bahan dari pengrajin sendiri, baru setelah diserahkan kepada Jocke, ditentuan nilai harganya. Tidak hanya untuk kain, tetapi berlaku juga utuk kerajinan lain seperti manik, anyaman, dan topi. Dan upah kerja yang diberikan Jocke sudah sesuai dengam standar negara.



ROTI ABON GULUNG



Selain kain tenun Papua, roti abon gulung merupakan penganan khas Tanah Papua. Ada berbagai merek dagang abon gulung yang bisa menjadi pilihan. Untuk menemukan roti abon gulung ini, wisatawan bisa mencarinya di beberapa lokasi, mulai dari ruas jalan besar seperti Jalan Ahmad Yani hingga Bandara Domine Eduard Osok. Roti abon gulung mempunyai cita rasa yang unik, ukurannya juga besar dan berdiameter tebal. Roti abon gulung yang tebal tadi diisi penuh oleh gulungan abon yang juga tak kalah banyak. Ada beberapa jenis roti abon gulung yang ditawarkan, mulai dari roti abon gulung original, roti abon gulung tuna, dan lain-lain. Beberapa merek bahkan menawarkan roti abon gulung dengan sosis dan tambahan bahan lainnya,

Untuk harga, roti abon gulung dihargai mulai dari Rp 125.000 hingga Rp 135.000 per kotak berisi 10 buah, Ada pula ukuran mini yang dijual dengan harga Rp 85.000 hingga Rp 95.000 per kotak berisi 10 buah. Para penggemar roti abon gulung tak akan melewatkan kesempatan untuk menikmati roti nan empuk dan gurih ini. Tak hanya para pendatang dan pelancong saja, tetapi masyarakat setempat juga menggemari penganan ini,

KERAJINAN KAYU KHAS PAPUA


Kerajinan khas Papua dikenal karena menggunakan bahan kayu ataupun serat kayu dan rumput-rumput kering. Sebut saja koteka, hiasan dinding, tas, hingga aksesori lain yang menarik untuk dijadikan oleh-oleh. Jika anda memilih ingin membeli kerajinan kayu sebagai oleh-oleh, sebuah toko kerajinan di kawasan Puncak Arfak menjadi pilihan tepat untuk disambangi. Toko kerajinan yang sudah berdiri sejak tahun 90-an ini, menjual berbagai kerajinan dari berbagai daerah di Papua, misalnya Wamena dan lain-lain. Walaupun toko ini tidak memiliki nama, toko ini dikenal memiliki pilihan yang beragam atau komplet. Sebut saja toko kerajinan di Puncak Arfak, semua orang pasti mengenalnya.

Tak heran, saat memasuki toko ini, banyak kerajinan khas yang unik dan menggoda mata untuk dijadikan oleh-oleh. Harga yang dipatok bervariasi, ada yang harganya Rp 20.000 seperti gelang, sampai yang harganya jutaan seperti hiasan dinding dari kerajinan kayu dan bulu Cendrawasih. Untuk koteka, dijual dengan harga Rp 100.000 hingga Rp 150.000. Beberapa wisatawan juga keram memburu tas noken atau tas anyaman dari kertas kayu. Harganya bervariasi dari Rp 150.000 sampai Rp 450.000. Salah satu jenis kerajinan kayu yang banyak dicari wisatawan adalah hiasan dinding terbuat dari kayu asal suku Dani. Hiasan dinding ini memang bisa menjadi oleh-oleh khas yang menarik, walaupun hiasan dinding yang terbuat dari busur panah yang dihiasi bulu-bulu Cendrawasih ini harganya cukup tinggi, karena selain ukurannya besar, pembuatannya pun cukup rumit. Begitu pula hiasan dinding dari kaki buaya yang dijual dengan harga mulai dari Rp 250.000. Ada pula pajangan kayu berupa ukiran-ukiran dengan harga mulai Rp 500.000. Biasanya, wisatawan mancanegara yang menyukai hiasan dinding atau patung ukiran ini.

SAGU DAN IKAN ASAP CAKALANG


Masih belum puas dan ingin membawakan oleh-oleh khas Sorong lainnya ?  Sebaiknya anda berkunjung ke Pasar Sentral. Pasar yang berada di pusat kota dan bisa dijangkau dengan mudah menggunakan transportasi umum ini menjadi salah satu pilihan untuk berburu oleh-oleh. Seperti pasar tradisional pada umumnya, banyak pedagang yang juga menjajakan bahan-bahan kebutuhan pokok. Tak heran, kondisi Pasar Sentral pun ramai dan penuh sesak. Pengunjung atau wisatawan akan menemukan buah tangan yang hanya bisa didapatkan di pasar ini, yaitu kue sagu dan ikan asap cakalang.

Di bagian belakang pasar, anda akan menemukan beberapa penjual camilan sagu yang terbuat dari berbagai bahan makanan seperti singkong dan ubi jalar. Harganya pun terhitung murah. Untuk satu bungkus camilan sagu, ditawarka mulai dari Rp 20.000. Biasanya pedagang akan menjelaskan keunikan masing-masing camilan ini. Sagu yang terbuat dari singkong memang lebih keras daripada sagu dari ubi jalar sehingga pedagang biasanya menyarankan mencelupkannya lebih lama dalam minuman hangat. Selain bisa menjadi camilan sehat, sagu yang terbuat dari ubi jalar juga bisa dijadikan bahan untuk membuat bubur yang lezat.







  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS