RSS

MENGENAL PARIWISATA BANGKA TENGAH - PROVINSI BANGKA BELITUNG.

PULAU KETAWAI


Pulau Ketawai yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung memiliki keindahan yang luar biasa, bahkan banyak yang menyebut seperti pulau di dalam surga. Di pulau ini, kita akan disuguhi pantai dengan pasir putih sehalus tepung dengan air laut yang berwarna biru muda. Kita pun juga bisa melakukan olahraga air seperti snorkeling, menyelam, dan memancing. Belum lagi suasana teduh dari dalam pulau karena dipayungi ribuan pohon kelapa dan pepohonan lainnya. Pulau ini juga bisa dikelilingi dengan berjalan kaki selama kurang lebih satu jam. Di tepi pulau, semuanya dikelilingi oleh pasir putih yang halus.

Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah memang sedang gencar mempromosikan Pulau Ketawai sebagai salah satu tujuan wisata. Berbagai cara dilakukan untuk memperkenalkan pulau ini kepada masyarakat dan wisatawan lokal maupun asing. Salah satu caranya adalah dengan mengikutkan Pulau Ketawai sebagai salah satu tujuan Sail Indonesia yang diselenggarakan setiap tahun. Dalam kegiatan ini, Pulau Ketawai menjadi daerah tujuan pelayaran yang diikuti belasan kapal yacht dari berbagai negara. Pulau Ketawai memang memiliki keunggulan sebagai daerah tujuan Sail Indonesia. Yakni, titik labuh kapal dengan pulau dekat, aman, air bersih, dan wilayah perairannya menjadi perlintasan perhubungan jalur laut.


Dengan seringnya Pulau Ketawai diikutkan dalam Sail Indonesia, maka kepopuleran pulau ini pun semakin meningkat di mata masyarakat dan wisatawan lokal maupun asing. Diharapkan, orang yang sudah pernah datang ke pulau ini, akan menceritakan kepada teman-temannya dari mulut ke mulut sehingga memancing minat mereka untuk berwisata ke pulau ini. Namun, sebagai tempat daerah wisata, Pulau Ketawai masih memiliki kekurangan, yakni belum adanya tempat penginapan seperti cottage. Karena itu, rencana ke depan Pemkab Bangka Tengah akan mengupayakan membangun tempat penginapan di pulau ini, dengan konsep yang tetap menjaga kelestarian alam. Meski belum memiliki penginapan permanen, namun hal tersebut tidak mengurangi minat pelancong untuk datang ke Pulau Ketawai. Setiap akhir pekan, banyak pelancong yang datang dan menginap. Mereka membuat tenda-tenda sebagai tempat istirahat. Sementara toilet, kamar bilas, kamar mandi, air bersih, dan mushala sudah tersedia. 

Untuk menuju Pulau Ketawai, perjalanan bisa dimulai dari Bandara Pangkal Pinang. Setelah jalan kaki keluar dari bandara, kita bisa menunggu bus atau angkot ke Desa Kurau di halte yang terdapat di seberang bandara. Ongkos naik transportasi umum ini Rp 20 ribu per orang. Atau kita juga bisa naik taksi rental (mobil seperti Avanza) dengan ongkos Rp 150 ribu, atau bisa pula naik taksi blue bird dengan sistem argo.  Dari Desa Kurau, kita lanjutkan perjalanan dengan naik perahu motor/kapal nelayan yang bermuatan maksimal 15 orang, dengan ongkos Rp 800 ribu seharian pulang-pergi (pp).

MENYUSURI HUTAN PELAWAN.


Salah satu wisata alam di Kabupaten Bangka Tengah adalah Hutan Pelawan di Desa Namang yang letaknya di daratan Pulau Bangka. Hutan dengan luas 300 hektare itu berstatus hutan keanekaragaman hayati dengan komposisi 47 hektare dijadikan taman wisata dan sisanya hutan adat. Untuk taman wisata, pemerintah daerah setempat sudah membangun jogging track dan jembatan yang terbuat dari kayu. Dengan cat warna merah, jembatan ini terlihat kontras dengan hutan dan pepohonan yang berwarna hijau. Di beberapa titiknya ada rumah panggung kecil yang juga terbuat dari kayu. 

Hutan ini memiliki flora dan fauna endemik lokal. Untuk flora, terdapat pohon pelawan yang dijadikan nama hutan ini. Pohon pelawan adalah pohon dengan batang yang tidak terlalu besar dan memiliki warna merah. Pohon ini biasa digunakan untuk bahan-bahan bangunan. Selain itu, ada pohon rempudung, nyatoh, dan juga jamur pelawan. Jamur pelawan dibudidayakan oleh masyarakat setempat dan panen setahun sekali. Karena itulah harganya juga menjadi mahal, bisa mencapai Rp 2,5 juta untuk satu kilogramnya. Jamur ini mahal juga karena rasanya enak. Bahkan, sejumlah warga menyebut rasanya seperti tetelan atau lemak sapi.


Di hutan ini juga ada budidaya madu dan lebah. Madu yang dihasilkan adalah madu pahit dan paling rendah kadar airnya. Untuk fauna, di hutan ini terdapat ratusan jenis burung. Yang terkenal adalah burung rajaudang. Selain itu ada hewan tarsius bangkanus atau tarsius bangka, yakni hewan primata kecil seukuran telapak tangan yang termasuk hewan langka di dunia. Tarsius yang ada di pulau Bangka ini adalah salah satu dari tiga jenis tarsius yang ada di dunia, yakni Tarsius tersier di Sulawesi, dan satu jenis lagi di Filipina.

Tarsius adalah hewan nokturnal yang bergerak di malam hari. Pada siang hari tarsius tidur dengan bersembunyi di balik dedaunan. Maka menemukan primata ini memang bukan sesuatu yang mudah. Ada beberapa hal yang membuat sulitnya menemukan tarsius. Pertama, satu ekor tarsius membutuhkan daerah teritorial seluas 2-3 hektare. Jika musim kawin, satu daerah bisa memiliki satu pasang tarsius. Tetapi, setelah musim kawin berlalu yang jantan akan pergi lagi mencari daerah baru. Penyebab sulit lainnya adalah karena pengaruh habitat. Tarsius tidak mau hidup di hutan yang pohonnya besar-besar. Mereka cenderung memilih hutan yang memiliki pohon-pohon kecil sebagai tempat tidur mereka seperti di hutan Pelawan ini.


Karena itu, jika hutan Pelawan saat ini memiliki luas 300 hektare, diperkirakan ada 150 ekor tarsius yang berada di hutan ini. Namun, jumlah itu juga belum pasti karena belum ada penelitian mengenai jumlah tarsius di hutan Pelawan. Hal tersebut karena penelitian tarsius memiliki banyak kendala, yakni sulitnya menemukan tarsius dan eksplorasi hutan yang biayanya tidak sedikit. Banyak pemburu foto yang ingin mengabadikan primata terkecil di dunia dan sangat langka ini di hutan Pelawan. Hutan Pelawan memang bisa juga menjadi destinasi wisata bagi para fotografer yang mencintai tema alam. Namun, karena sulitnya mengambil gambar tarsius, perlu ada berbagai persiapan yang dilakukan. Di antaranya adalah perlu menggunakan senter, karena untuk menemukan tarsius bisanya di malam hari. Selain itu perlu juga melibatkan warga lokal sebagai pemandu. Karena warga lokal banyak yang berprofesi sebagai pemburu benapun, atau hewan sejenis kelinci di hutan Pelawan. Sehingga, tak jarang mereka kerap bertemu pula dengan tarsius dan mengetahui jejak-jejaknya di hutan.

LEMPAH KUNING NANAS KEPALA MAYONG.


Kabupaten Bangka Tengah memiliki masakan khas bernama lempah kuning nanas kepala mayong. Makanan ini seperti gulai tetapi tanpa memakai santan. Rasanya asam, manis, dan juga pedas. Makanan ini menjadi segar karena terdapat potongan nanas kecil-kecil. Harganya paling rendah Rp 60 ribu per porsi dengan tambahan nasi dan lalap-lalapan.

Lempah kuning nanas kepala mayong ini bisa didapatkan di beberapa rumah makan di Bangka Tengah. Salah satunya Warung Yuli di Jalan Raya Desa Dul. Pemilik Warung Yuli, Arian Danil menjelaskan, bahan dasar masakan ini adalah ikan mayong segar. Sedangkan untuk bumbu kuahnya adalah air, kunyit, bawang merah, bawang putih, kemiri, laos, lengkuas, nanas, dan cabai kecil. Namun, semuanya itu tidak asal dicampur. Yang masak harus tahu takaran per bumbunya. Kalau tidak, nanti rasanya akan amis. Restoran ini kerap dikunjungi oleh pejabat-pejabat, baik tingkat provinsi maupun pusat yang sedang berkunjung ke Bangka Tengah. Selain itu, artis-artis dari Jakarta juga kerap menyambangi restoran ini.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SANG GIRI : Menginap Di Dalam Tenda Dengan Fasilitas Bintang Lima. Berbaur Dengan Alam.


Lebih dari 180 anak tangga menjadi pijakan kaki saat berkunjung ke Sang Giri, sebuah penginapan di jantung Bali yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan khas perkotaan. Sang Giri Mountain Tent Resort terdiri dari delapan tenda eksklusif, seperti berada di bumi perkemahan. Uniknya, pengunjung tetap bisa menikmati semua fasilitas yang mereka butuhkan layaknya presidential suite, dipasang lengkap di dalam sebuah tenda. Ini adalah satu-satunya penginapan dengan konsep resor tenda (tent resort) pertama di Bali. Menurut pemiliknya, Yunzar Lumakeki, misi tent resort ini memang ingin mengkreasikan orang-orang untuk lebih mencintai alam.

Nama tempat yang diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti Sang Gunung ini terletak di Desa Jatiluwih Kangin, Penebel, Kabupaten Tabanan. Letaknya dikelilingi hutan, sungai, air terjun, dan sawah bertingkat. Sang Giri berdampingan langsung dengan Subak Jatiluwih, salah satu warisan dunia yang dilindungi lembaga PBB, UNESCO. Pengunjung cukup berkendara lima menit untuk mengakses hamparan sawah terluas di Indonesia itu.


Pulau Dewata memang identik dengan pantai, tapi di Sang Giri pengunjung menemukan nuansa khas ekosistem tropis hutan hujan pegunungan. Itu sebabnya banyak wisatawan mancanegara tertarik berlibur ke sini, khususnya mereka yang berasal dari Jerman, Belgia, dan negara-negara Eropa lainnya. Kamar-kamar tenda di Sang Giri dibungkus dinding polyester kuat yang benar-benar tahan air. Ada bagian tenda yang bisa disingkap untuk melihat pemandangan sekitar jika cuaca dingin membuat pengunjung enggan keluar. Suhu di malam hari bisa mencapai 18 derajat Celcius.

Tenda-tendanya luas, teduh, nyaman, dengan sebuah kursi kayu untuk bersantai. Di samping kursi ada sebuah gazebo dilengkapi kasur kecil nan empuk dan selembar kantong tidur (sleeping bag) yang siap membungkus tubuh. Pengunjung bisa menikmati pemandangan hutan lebat dengan pepohonan tinggi menjulang dari teras pribadi mereka yang berlantaikan kayu. Di pagi hari, sebelum pukul 05.30 WITA, pengunjung dapat menyaksikan indahnya matahari terbit dari balik Gunung Batukaru. Pagi hari juga waktu paling tepat untuk pengamatan burung (bird watching).


Sang Giri menyediakan perpustakaan kecil di sebelah restoran. Pengunjung bisa menemukan buku identifikasi burung Jawa dan Bali dan bisa meminjamnya kapan saja. Banyak jenis burung bisa dijumpai di hutan ini, seperti perenjak jawa (prinia familiaris), cinenen jawa (orthotomus sepium), elang jawa (spizaetus bartelsi), kehicap ranting (hypothymis azurea), dan kedasih hitam (surniculus lugubris). Setiap tahunnya dari sisi selatan Gunung Batukaru, pengunjung bisa menyaksikan migrasi burung elang yang menuju ke Timur sekitar Oktober hingga November, atau kembalinya mereka ke Barat sekitar Maret hingga April.

Sang Giri didirikan pada 2010 di atas lahan seluas 1.100 meter persegi. Awalnya hanya terdiri dari tiga unit tenda, kemudian berkembang menjadi delapan unit. Menurut Kurtati, istri Yunzar, yang turut membantu mengelola Sang Giri, dalam pengembangannya ke depan, Sang Giri hanya akan sampai menyediakan 12 tent resort. Ia dan suaminya memang tidak mau menjadikan Sang Giri terlalu besar, karena menurut mereka tanggung jawab menjaga alam lebih penting. Awalnya, sebanyak 80 persen pasarnya adalah wisatawan Jerman dan Belgia. Namun, sekarang pengunjungnya sudah bervariasi, mulai dari wisatawan Cina, Korea, hingga Arab Saudi. Jumlah karyawan Sang Giri berkisar 15 hingga 20 orang, sisanya adalah karyawan lepas. Tarif menginap di sini mulai dari Rp 1,3 juta per malam


Menurut Yunzar, tent resort paling tepat diaplikasikan untuk taman nasional di Indonesia. Sebab konsepnya adalah ekowisata. Ia menambahkan, banyak taman nasional sesungguhnya bisa memberi manfaat ekonomi lebih bagi masyarakat sekitar, sekaligus pemasukan untuk pemerintah dengan membangun tent resort. Pariwisata di Indonesia kini semakin dikenal dunia, tapi taman nasional di banyak daerah masih berhadapan dengan ancaman pemburu, pencuri kayu, serta konflik masyarakat lokal. Maka, Yunzar meyakini bahwa tent resort akan memberi efek luar biasa bagi masyarakat dan pemerintah. Masyarakat di sekitar taman nasional bisa diarahkan untuk membidik sumber pendapatan baru dengan cara yang legal, yaitu ekowisata. Dan tak ada bentuk akomodasi yang cocok untuk taman nasional di Indonesia selain tenda.

Yunzar menilai, kue pembangunan di Indonesia hendaknya bisa dinikmati seluruh masyarakat. Itulah salah satu alasan Yunzar membangun tent resort ini. Sang Giri amat mempraktikkan konsep wisata berbasis masyarakat atau community based tourism dengan desa sekitar, misalnya mengembangkan atraksi wisata berlibur bersama keluarga Bali. Pengelola juga membangun gazebo di beberapa rumah penduduk. Gazebo itu berfungsi untuk tempat berkumpul atau menginap wisatawan yang ingin berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.


Penghasilan dari kegiatan wisata ini 50 persennya untuk pengelola dan 50 persen lainnya untuk desa. Jika uang yang diinvestasikan pengelola untuk membangun gazebo itu telah kembali, gazebo sepenuhnya menjadi hak masyarakat. Mereka tetap bisa menerima kunjungan menginap tamu-tamu Sang Giri dan biaya yang dibayarkan tamu seluruhnya menjadi hak keluarga bersangkutan. Pemasukan konstan untuk desa dari sektor pariwisata, menurut Yunzar, bisa menjaga masyarakat untuk tidak menjual tanah dan sawahnya. Urbanisasi pun bisa dibendung. Masyarakat yang hidup di sekitar hutan membutuhkan solusi, bukan sekedar mengikat mereka dengan aturan.

Berlibur, menikmati waktu luang, terpisah dari dunia digital adalah hal paling restoratif yang bisa dilakukan untuk diri sendiri. Daniel Sieberg, penulis buku The Digital Diet, merekomendasikan seseorang untuk memutus semua koneksi digitalnya saat tengah berlibur. Resor tenda ini memang ditujukan untuk pengunjung yang istirahat sejenak tanpa mengganggu rutinitas kerja. Sang Giri hanya menyediakan koneksi wifi di Restoran Pakis, restoran tradisional yang terbuat dari bangunan bambu. Sebuah tungku perapian siap menghangatkan pengunjung yang terpaksa membuka laptop atau gadget-nya untuk terkoneksi.


Banyak aktivitas bisa dilakukan di penginapan ini tanpa harus terhubung dengan sinyal wifi, ponsel, dan radio. Anda bisa lebih akrab dengan pasangan, bersosialisasi dengan pengunjung lain, membuat pertemanan baru, tidur nyenyak, pijat relaksasi, berendam dengan air hangat di jacuzzi, atau sekedar menikmati yoga pagi di viewing deck. Sang Giri memang dibangun ke arah luxury. Resor ini terlalu mewah untuk ukuran pecinta alam, sebab memang ditujukan khusus untuk ibu-ibu Indonesia supaya mau mengajak keluarganya kembali ke alam.

Ada lebih dari 10 aktivitas wisata yang bisa dilakukan di Sang Giri. Kegiatannya, mulai dari bersepeda gunung melalui rute-rute perdesaan, trekking di hutan hujan. trekking ke sawah, menikmati matahari terbenam dan terbit, kunjungan ke pura untuk mendapatkan pengalaman spiritual, serta trekking ke air terjun, yang mana di sana ada lebih dari empat titik yang bisa dieksplorasi. Sekitar dua kilometer dari Sang Giri, terdapat Pura Luhur Batukaru, pura suci umat Hindu. Pura ini merupakan satu dari sembilan Kayangan Jagat, atau salah satu pura yang dipercaya masyarakat melindungi Bali dari pengaruh roh-roh jahat. Pura ini dibangun pada abad ke-11 dan didedikasikan untuk para leluhur raja di Tabanan. Umat Hindu yang ingin berziarah ke puncak Gunung Batukaru setahun sekali pasti akan berhenti pertama di pura ini. Banyak wisatawan berkesempatan menyaksikan dan mengenal bentuk-bentuk wisata spiritual di sini.






  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MENAPAKI JEJAK SEJARAH DI JATINEGARA


Tak banyak yang tahu jika Jatinegara, Jakarta Timur, yang sering dilewati masyarakat, termasuk kawasan yang memegang peranan penting di Indonesia, sejak era Kolonial Belanda. Berbagai kisah panjang membuat Jatinegara tak bisa dipandang hanya sebagai tempat para penumpang menunggu kereta api luar daerah atau tempat penjualan batu mulia. Jatinegara diartikan sebagai negara yang sejati. Kawasan ini makin berkembang setelah kedatangan pemuka agama Kristen dari Banda, Maluku, Cornelis Van Senen. Van Senen merupakan orang berketurunan Belanda. Dia mendapatkan gelar meester yang berarti guru karena mengajarkan agama Kristen.

Van Senen kemudian membuka lahan hutan menjadi sekolah, pemukiman, dan menjadi tuan tanah. Sebab, percakapan dari mulut ke mulut juga menyatakan, bahwa zaman dahulu, Jatinegara merupakan kawasan hutan jati. Wilayah tersebut akhirnya bernama Meester Cornelis dan berkembang pada 1930 karena Pemerintah Hindia Belanda memberikan status kota dan memasukkan kawasan tersebut ke dalam struktur wilayah Batavia. Meester Cornelis pada zamannya meliputi Jatinegara, Kemayoran, Matraman, sampai ke Jalan Raya Bekasi.


Meester Cornelis juga sebetulnya memiliki catatan yang sangat penting dalam sejarah kopi di dunia. Kopi pertama kali ditemukan pada abad ke-15 di Etiopia. Banyak keledai menjadi kuat setelah memakan biji kopi. Akhirnya tuan-tuan pemilik keledai tersebut ikut mencobanya. Kopi dikembangkan sekaligus dibudidayakan dan mulai masuk ke daerah Timur Tengah, India, dan Sri Lanka. Wilayah Sri Lanka saat itu merupakan bagian dari kekuasaan Pemerintah Belanda dan gubernur jenderal menginginkan kopi menjadi komoditas di Tanah Jawa.

Kopi yang pertama kali ditanam di Meester Cornelis masuk melalui pengiriman ekspedisi dan menyebar hingga wilayah Pondok Kopi. Setiap kali ada pelelangan di Inggris, kopi di Tanah Jawa termasuk yang paling mahal karena kualitasnya paling bagus, sampai akhirnya memicu hati Napoleon untuk mengambil kopi itu lalu ditanam di Luxembourg Green House di Paris. Ketika kopi ditanam di ibukota Prancis tersebut, ada salah satu orang yang mencuri kopi tersebut lalu diselundupkan ke Saint Martin, Karibia. Selanjutnya, kopi tersebut menyebar di Amerika Latin. Selain itu, Jatinegara pun disebut-sebut sebagai tempat pelarian Pangeran Jayakarta. Ia melarikan diri ketika Jan Pieterszoon Coen datang ke Jayakarta pada 1619. Coen kemudian mengubah Jayakarta menjadi Batavia. Pangeran Jayakarta dimakamkan di kawasan Jatinegara Kaum.


Pasar Batu Mulia Rawa Bening bermula dari pasar biasa yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dahulu, pedagang yang berjualan batu mulia hanya sekitar 20 orang. Lokasi berjualan berada di lantai paling atas. Kemudian, karena semakin ramainya pengunjung yang datang, dan penjual batu mulia di sana pun semakin banyak, dan menyebar di beberapa tempat, kondisi pasar pun jadi kumuh. Akhirnya, pemerintah berinisiatif untuk merenovasi besar-besaran pasar tersebut, dan semua pedagangnya dipindahkan sementara ke Pusat Grosir Jatinegara, yang saat ini sudah tutup. Pedagang baru dipindahkan kembali ke Pasar Rawa Bening di tahun 2010 dengan penataan yang lebih baik. Pada tahun itu pula, Pemprov DKI akhirnya memutuskan Pasar Rawa Bening dikhususkan untuk berjualan batu mulia. Pasar ini disebut-sebut sebagai pasar batu mulia terbesar di Asia Tenggara. Sebab, batu mulia Indonesia memiliki banyak variasi yang berjumlah hampir 30 ribu jenis. Batu mulia dapat menjadi cenderamata yang bagus dan bernuansa sangat Indonesia.

Di depan Pasar Batu Mulia Rawa Bening, terdapat salah satu stasiun penting di Jakarta. Stasiun Jatinegara, masih tampak kokoh berdiri sejak 1911 dengan arsitektur gaya Eropa. Stasiun ini berwarna putih dengan jam dinding besar berbentuk bulat di atas pintu masuk. Tak ketinggalan, tulisan "Setasiun Jatinegara" juga ada di bagian depan sebagai identitas stasiun. Pada awalnya, kereta yang digunakan ditarik dengan tenaga hewan kuda. Namun, cara itu berlangsung hanya selama 10 tahun. Sebab, lebih 567 kuda mati kelelahan, sehingga tenaganya tidak dipakai lagi untuk menarik kereta. Pada sekitar awal 1900, Pemerintah Hindia Belanda menggunakan trem, seperti di Eropa untuk menghubungkan Jatinegara dengan daerah Kota Intan.

Stasiun Jatinegara merupakan salah satu stasiun terbesar di Batavia pada masanya. Maka, tak heran bila nama Stasiun Jatinegara selalu disebut-sebut di lagu-lagu lawas, seperti "Sepasang Mata Bola". Karena dulu, semua orang yang akan menuju kota Batavia selalu turun di Stasiun Jatinegara, bukan di Stasiun Gambir. Stasiun Gambir dulunya masih stasiun biasa seperti Stasiun Cikini atau Gondangdia. Jalan raya di depan Stasiun Jatinegara pun menyimpan cerita. Jalan ini merupakan bagian dari Jalan Raya Pos. Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels membutuhkan jalan raya besar untuk menghubungkan Pulau Jawa bagian barat dan bagian timur yang sering disebut Jalan Raya Anyer-Panarukan. Jalan raya ini sudah diakui menjadi situs warisan sejarah sejak 1992.


Di kawasan Jatinegara, berdiri dua wihara, satu masjid, kompleks gereja, dan sekolah Kristen Katolik. Wihara Dharma Kumala Bio Shia Djin Kong, terletak di Jalan Bekasi Timur IX Nomor 22, Jatinegara, didirikan oleh seorang laki-laki sejak 1946. Saat ini, anak cucu dari pemilik wihara tersebut telah beragama Islam. Namun, mereka masih terus mempertahankan Wihara Dharma Kumala. Keluarga pemilik itu kerap kali datang ke wihara untuk menjelaskan bagaimana caranya berdoa. Karena di dalam wihara tersebut terdapat patung dewa-dewa yang diberi nomor. Nomor satu adalah dewa yang paling tinggi dan tidak ada perwujudannya. Seperti kebanyakan wihara lainnya, Wihara Dharma Kumala ini kental dengan arsitektur Cina dan berwarna merah. Di dalamnya tercium wangi dupa yang dibakar.


Wihara lainnya adalah Wihara Amurvabhumi, Di bagian depan dalam wihara ini terdapat banyak gelas berisi lilin-lilin dan kertas berwarna merah. Kertas-kertas tersebut kebanyakan bertuliskan aksara Cina dan digunakan sebagai sarana untuk mengirim doa. Di tembok bagian wihara ini juga terdapat kaca-kaca berbentuk bulat yang dihiasi kertas berwarna merah dan kuning. Hal tersebut, berfungsi untuk memantulkan doa-doa.


Sementara itu, di Jalan Masjid I, Rawa Bunga, Jatinegara, terdapat Masjid Jami' al-Anwar. Masjid ini terkesan seperti masjid pada umumnya. Masjid ini sudah dibangun sejak 1876. Saat ini, memang masjid ini sudah banyak mengalami renovasi. Namun, interior masjid dan pilar di dalam masjid masih asli. Yang paling istimewa, pada zaman dahulu, salah satu ulama yang berada di masjid ini adalah ulama yang menyebarkan Islam di wilayah Thailand Selatan.


Bergeser ke arah Jalan Raya Jatinegara Barat 122, terdapat komplek Sekolah Katolik Santa Maria Fatima. Komplek ini dibuka oleh pendeta saat masa Pemerintahan Hindia-Belanda dan diurus oleh biarawati Belanda. Awalnya mereka membuka kantor di daerah Molenvliet atau daerah dekat Glodok dan memulai pelayanan. Para biarawati ini juga membuka panti asuhan. Nama Fatima diambil dari sebuah nama kota di Portugal. Di kota tersebut tiga anak kecil laki-laki bertemu dengan Bunda Maria.


Terus berjalan lagi, langkah kita akan sampai di Gereja Koinonia, Jatinegara. Gereja ini merupakan gereja Kristen Protestan dan bagian dari Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). Gereja Koinonia dibangun oleh seorang kepala perusahaan impor di tanahnya yang terletak di timur Batavia. Koinonia diambil dari Bahasa Hebrew yang berarti Komunitas. Interior gereja ini dipengaruhi oleh sentuhan Belanda dan lokal. 


Tepat di depan gereja Koinonia, berdiri Patung Perjoangan Jatinegara. Mantan gubernur Ali Sadikin memiliki ide membuat patung ini untuk mengenang semangat dan perjuangan anak muda yang bertempur di daerah Jatinegara. Patung Perjoangan Jatinegara terbuat dari bahan logam dan memakan waktu pembuatan selama 2,5 tahun. Patung ini diresmikan oleh mantan gubernur Tjokropranolo pada 7 Juni 1982.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS