RSS

WISATA TANA TORAJA YANG PENUH KESAN MAGIS




Entah mengapa, kesan magis langsung terasa ketika kita menginjakkan kaki di Tana Toraja. Bisa jadi lantaran wilayah yang berada di Sulawesi Selatan ini memang banyak menyimpan kisah adat budaya yang sangat menghargai arwah, leluhur, dan keseimbangan alam. Sebuah potret kekayaan budaya negeri yang bisa menjadi potensi wisata. Agustus dan Desember adalah bulan terbaik untuk berwisata ke Tana Toraja. Di bulan ini ada banyak upacara adat digelar. Bukan tanpa alasan. Bulan-bulan tersebut adalah masa libur panjang anak sekolah, sehingga mempermudah keluarga untuk mengumpulkan sanak saudara, kerabat, handai taulan. Kita tahu, sebagian besar masyarakat Tana Toraja adalah pengembara ke berbagai kota, terutama kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Makassar itu sendiri. Bahkan, kini pemerintah telah rutin menggelar Toraja International Festival di bulan Agustus dan Lovely December. Dua event ini sengaja dibuat dalam rangka mengembalikan kembali gairah wisatawan untuk berkunjung ke Tana Toraja.

Beberapa yang tak boleh dilewatkan bila berkunjung ke sana adalah upacara Rambu Solo, daerah pemakaman di tebing dan gua, kain tenun, tarian, dan tentu saja mencicipi makanan khas di sana.

RAMBU SOLO


Rambu Solo adalah upacara kematian atau prosesi mengantar jenazah ke tempat peristirahatan abadi. Di Tana Toraja, jenazah ini tidak dimakamkan di dalam tanah, melainkan disimpan di tebing-tebing atau gua. Hal ini karena tanah-tanah di Toraja merupakan dataran tinggi yang berbatu-batu dan kurang produktif. Hingga bila kemudian sisa tanah ini digunakan untuk pemakaman akan makin mengurangi tanah produktif yang ada. Bisa tidak ada lagi tanah yang bisa digarap untuk memberi kehidupan warga. Umumnya, orang yang meninggal memang tidak langsung dimakamkan di tebing-tebing. Namun, ‘menginap’ sementara di rumah adat Tongkonan. Sembari keluarga menyiapkan upacara Rambu Solo, jenazah ini diperlakukan seperti layaknya manusia yang sedang sakit, karena ia tetap diberi makanan (sesajian sesuai kesukaannya semasa hidup). Rata-rata, jenazah baru diantarkan ke tempat peristirahatan di tebing setelah 6 bulan atau bahkan lebih tergantung hasil kesepakatan keluarga besar.

Penundaan ini, selain untuk mengumpulkan seluruh keluarga besar, juga untuk memberi kesempatan mengumpulkan biaya yang tak sedikit. Dalam sebuah prosesi upacara Rambu Solo, yang biasanya berlangsung lebih dari seminggu akan menyembelih puluhan kerbau, ratusan babi, dan tentu saja berbagai rangkaian prosesi doa dan adat yang digelar saban hari sampai menjelang hari ‘keberangkatan’ jenazah. Upacara Rambu Solo diawali dengan membawa jenazah yang semula bersemayam di Tongkonan ke Lakien. Lakien adalah semacam rumah yang dibuat tinggi dengan undakan-undakan tangga. Lakien ini diletakkan persis di tengah-tengah area upacara Rambu Solo dengan dikelilingi oleh ratusan Tongkonan, tempat keluarga besarnya berkumpul selama upacara berlangsung. Sebelum sampai Lakien, jenazah ini dibalut kain yang cukup besar dan tebal, sebelum kemudian dibungkus oleh kain bermanik-manik, yang biasanya dibuat sendiri oleh empunya semasa ia hidup atau telah disiapkan keluarga terdekat.


Setiap hari, prosesi adu kerbau berlangsung. Puluhan kerbau ini satu persatu diadu sebagai rangkaian penerimaan dan hiburan bagi ribuan tetamu yang memadati area upacara. Tetamu yang hadir tentu saja dari berbagai kalangan tergantung siapa yang meninggal. Pejabat tinggi sampai masyarakat biasa berdatangan turut menghormati jenazah dan keluarga besarnya. Biasanya,  kerbau sumbangan dari anak-cucu menjadi yang paling terakhir diadu. Kerbau yang disumbangkan pun bukan sembarang kerbau. Tedong todi merupakan salah satu kerbau yang dianggap sakral. Harganya lebih tinggi ketimbang kerbau hitam biasa, namun lebih murah ketimbang tedong bonga dan tedong saleko yang merupakan kerbau dengan belang di sekujur tubuhnya.

RUMAH TONGKONAN

Kete’Kesu adalah salah satu cagar budaya atau juga desa wisata yang cukup besar di Toraja. Terletak 4 km dari Rantepao, ibukota Toraja Utara. Wilayah desa wisata ini terdiri dari 6 rumah adat tongkonan dan 12 lumbung padi, sebuah simbol yang mengisyaratkan bahwa Tana Toraja adalah wilayah agraris. Di dalam rumah Tongkonan ini beberapa dijadikan museum jejak peninggalan leluhur, dari alat-alat masak, pakaian, alat-alat pertanian, senjata, sampai kisah-kisah yang diceritakan turun temurun kepada anak cucu. Di Kete’Kesu pun bisa ditemukan kerajinan tangan dari bambu atau kayu, juga aneka kain tenun yang memang menjadi ciri khas Toraja. Di salah satu rumah sering juga dibuat semacam pelatihan untuk meneruskan keterampilan kepada generasi muda.


Di area yang sama dengan rumah-rumah tongkonan terdapat menhir-menhir yang digunakan untuk upacara kematian. Di bagian atas wilayah Kete’Kesu adalah tebing-tebing menjulang tinggi di mana kuburan-kuburan megah tampak terlihat menggantung di tebing atau gua. Umumnya makin tinggi jenazah digantung di tebing menunjukkan status sosial yang juga tinggi semasa hidupnya. Di kaki tebing terdapat beberapa bangunan beratap genting yang ruas dalamnya digunakan untuk pemakaman (patane). Beberapa lokasi pemakaman Kete’Kesu dikelilingi oleh pagar besi. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi dari pencurian harta yang biasanya ikut dikubur bersama jenazah. Untuk diketahui, Kete’Kesu ini menyimpan benda-benda purbakala yang berumur 300 sampai 500 tahun lampau. Erau atau peti-peti jenazah pun beragam bentuknya. Ada yang berbentuk perahu, kerbau, babi yang dihiasi pahatan-pahatan dan ukiran motif tertentu. Begitu juga dengan tau-tau atau patung jenazah yang dipahat menyerupai almarhum.

PESONA TENUN


Bicara Tana Toraja berarti bicara soal tenunnya yang khas. Menenun memang membutuhkan ketekunan juga kesabaran. Proses pewarnaannya dilakukan secara alami dengan menggunakan bahan baku seperti jahe, kunyit, cabe, juga abu hasil pembakaran daun dan lain sebagainya. Warna-warna yang dihasilkan menjadi unik dan membuat kain menjadi tahan lama. Sayangnya saat ini tradisi menenun dengan cara tradisional sudah mulai jarang. Kini hampir rata-rata dilakukan dengan cara modern sehingga kualitas kainnya pun berbeda.

Lantas, bagaimana kita membedakan tenun yang proses alami dengan yang menggunakan mesin ? Ternyata mudah saja. Kain tradisional biasanya ukurannya tidak lebih dari 4 meter dan lebar hanya 70 cm. Sedangkan pemintalan kain yang dikerjakan oleh mesin umumnya bergulung-gulung alias bermeter-meter dan lebar antara 120 cm-2 meter. Kendati begitu, harga pun tentu saja menjadi berbeda. Yang diolah tradisional menjadi sedikit lebih mahal karena memang prosesnya pun memakan waktu paling sedikit 6 bulan. Berawal dari memintal benang, mewarnai, memberi motif, sampai proses pengeringan.

PEREMPUAN DAN TARIAN


Bila di wilayah Indonesia lain, penari rata-rata masih muda belia. Di Tana Toraja berbeda sama sekali. Ada tarian yang memang dimainkan oleh nenek usia lanjut. Semisal, tarian Madandan. Kita bisa menemui para penari sepuh ini di Lembang Madong, Kecamatan Dende Piongan Napo atau lebih sering disebut Denpina, yang berjarak sekitar 26 kilometer dari arah Rantepao, ibukota Toraja Utara. Sayangnya, jalanan cukup terjal dan meliuk-liuk mengakibatkan jarak 26 km harus ditempuh selama 2 jam untuk sampai di daerah pedalaman ini.

Tarian Madandan biasanya dilakukan untuk upacara Rambu Tuka, semacam syukuran kepada Yang Maha Agung atas rejeki berlimpah, kesehatan, mendirikan rumah Tongkonan, dan sebagainya. Biasanya saat syukuran rumah tongkonan tarian ini dipentaskan bersama tarian Ma’nimbong yang dimainkan oleh para lelaki. Tarian Madandan sendiri dimainkan oleh 30 penari. Dalam pementasan resmi, para penari akan berbusana warna kuning yang berpadu dengan sarung tenun tradisional dengan warna senada. Nenek yang ibarat syaman mengenakan sokko, ikat kepala dengan hiasan rotting atau bunga-bunga dari bulu ayam, dan menggenggam tongkat berukir, tekken. Ada 12 gerakan tarian yang dimainkan berbarengan sembari melafalkan mantra atau senandung pujian.

Para penari yang berusia lanjut ini tak mematok tarif bila ada yang mengundang untuk menari. Mereka melakukannya dengan sukarela karena memang berniat untuk melakukan ritual tarian yang sudah semestinya menjadi bagian dari sebuah upacara. Selain menari, sehari-hari pekerjaan mereka menganyam alle atau tikar khas Toraja. Tikar Toraja dibuat dari daun tuyu, sejenis tanaman air yang banyak tumbuh di sawah. Kemudian dianyam kurang lebih seminggu dengan harga jual Rp 60 ribu. Sayangnya, mereka belum terlalu serius menggarap tikar. Mengerjakannya hanya di saat waktu luang, disela mengurus dapur, anak, dan suami. Ditambah lagi di Lembang Paku maupun Lembang Madong belum semua rumah teraliri listrik. Sehingga kalau malam, cukup gulita. Jadi, mereka hanya bisa menganyam di siang hari saja.

Untunglah dalam waktu dekat, listrik akan masuk ke wilayah ini. Setidaknya harapan itu akan segera terwujud dengan adanya Pembangkit Listrik Tenaga Microhydro (PLTM) yang dibangun oleh PT Nagata Dinamika. Cahaya benderang pun tak akan lama lagi bisa mereka nikmati.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar