RSS

RUMAH GADANG DI PADANG PANJANG : Pusat Data dan Informasi Kebudayaan Minangkabau




Bila anda berkendara dari arah Padang, maka kecantikan Rumah Gadang ini langsung menyita perhatian. Lokasinya tepat berada di sisi kanan jalan raya Padang-Bukittinggi, tak lama setelah melewati air terjun Lembah Anai. Rumput hijau nan luas yang terhampar di sekelilingnya makin membuat dominasi corak dan warna rumah berdinding kayu ini terlihat memikat. Berdiri di atas lahan seluas dua hektar, Rumah Gadang yang terletak di Padang Sarai, Silaing Bawah,  Kabupaten Padang Panjang ini merupakan Pusat Data dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM). Padang Panjang sendiri merupakan sebuah kota kecil yang berjarak 72 kilometer dari kota Padang. Kota kecil ini terletak di daerah pegunungan. Tidak mengherankan jika hawa kota paling kecil di Sumatera Barat ini terasa sejuk.

Peletakan batu pertama rumah adat yang lebih berfungsi sebagai perpustakaan ini dilakukan pada 8 Agustus 1988 dan diresmikan 17 Desember 1990. Adalah mantan menteri koperasi almarhum Bustanil Arifin yang mendirikan PDIKM sebagai wujud sumbangsih untuk tanah kelahirannya, Padang Panjang. PDIKM didirikan karena selama ini untuk mempelajari adat dan budaya Minang, literaturnya justru banyak terdapat di Jakarta dan Belanda. Itu sebabnya, Pak Bustanil lalu mengumpulkan literatur itu dan menyatukannya dalam wadah PDIKM. Lebih dari 40 persen literatur tentang kebudayaan Minangkabau yang disimpan dalam PDIKM berbahasa Belanda. Sebab, selain lama dijajah Belanda, budaya masyarakat Minang saat itu lebih banyak diceritakan secara turun temurun lewat tambo atau lisan.

Di dalam areal PDIKM terdapat dua Rumah Gadang, yaitu Rumah Gadang dari suku Koto dan Piliang serta Rumah Gadang dari suku Bodi dan Chaniago. Rumah Gadang yang disebut pertama inilah yang kecantikannya terlihat dari kejauhan dan digunakan sebagai PDIKM, sedangkan Rumah Gadang yang kedua dijadikan sebagai kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Padang Panjang. Perbedaan budaya di kedua Rumah Gadang ini di masa lalu ternyata sangat menarik. Dulu, di Rumah Gadang suku Koto dan Piliang berlaku sistem pemerintahan otokrasi. Di dalamnya terdapat anjungan di bagian ujung kanan dan kiri, dengan beberapa anak tangga di setiap anjungan. Dalam pemberian gelar, bila seorang datuk atau pimpinan suku meninggal, maka kepemimpinannya diteruskan oleh keponakan laki-laki yang sekandung.

Sementara di Rumah Gadang Bodi dan Chaniago bersistem pemerintahan demokrasi. Selain itu, tak ada anjungan di kedua sisinya, semua lantai rata. Sehingga, bila ada musyawarah di sana, datuk dan keponakan duduk di lantai yang sejajar. Bila pimpinan suku meninggal, seluruh kemenakan laki-laki dikumpulkan, baru dipilih siapa yang pantas menjadi datuk. Menariknya, ternyata alur kehidupan di rumah gadang cukup kompleks. Rumah Gadang suku Koto dan Piliang di masa lalu selalu memiliki jumlah ruang yang ganjil, misalnya, 3, 5, 7, atau 9. Ini untuk keseimbangan ruangan. Jumlah ruang yang dibuat melambangkan status sosial sebuah kaum. Makin banyak, makin kaya kaum tersebut. Rumah Gadang yang menjadi PDIKM, misalnya, memiliki 9 ruang kecil yang berjajar di antara anjungan, semuanya menghadap ke arah luar rumah.

Ini berarti, jumlah kamar tidur ada 8, sedangkan 1 ruang yang terletak di tengah-tengah berfungsi sebagai dapur. Setiap kamar, dihuni oleh satu keluarga. Namun, wilayah kekuasaan masing-masing keluarga hanya sebatas di depan kamar sampai ke serambi dan dibatasi oleh tiang di kanan-kiri. Jadi, bila ada tamu datang, keluarga yang kedatangan tamu hanya boleh menjamu tamu di depan kamarnya, tidak boleh di depan kamar keluarga lain karena itu bukan wilayahnya. Yang boleh tidur di dalam kamar adalah kedua orangtua dan anaknya yang masih kecil. Anak laki-laki yang berusia 10 tahun tidurnya tidak lagi di Rumah Gadang, melainkan di surau. Di sana dia akan belajar agama, adat, dan pencak silat.

Anak laki-laki hanya datang ke Rumah Gadang untuk makan dan beganti pakaian. Siang hari, ia harus membantu orangtua di sawah dan malamnya tidur di surau. Anak laki-laki belajar di surau agar tak bodoh, karena dulu yang mendapat pendidikan hanya anak orang kaya. Sekolah tak ada di kampung. Letak surau tidak jauh dari Rumah Gadang. Surau ini disebut surau kaum atau surau suku. Jadi, pengawasan anak laki-laki tetap dari Rumah Gadang.

Anjungan di sayap kanan rumah digunakan sebagai kamar tidur semua anak gadis yang tinggal di Rumah Gadang dan ditutup tirai. Aktivitas anak gadis seperti menyulam atau merenda juga dilakukan di anjungannya. Sementara, anjungan di sayap kiri digunakan untuk tempat duduk para datuk. Sebagai penghormatan, para datuk duduk di anjungan sebelah atas, sedangkan anak dan keponakan duduk di anjungan yang lebih rendah. Kamar pertama di ujung kiri berfungsi sebagai kamar pengantin. Perempuan yang baru menikah akan tinggal di kamar ini. Bila ada yang menikah lagi, penghuni kamar ujung bergeser ke kamar sebelahnya. Begitu seterusnya. Bila menempati kamar paling ujung kanan, maka keluarga itu harus bersiap meninggalkan Rumah Gadang. Ketika menikah, anak laki-laki akan keluar dari Rumah Gadang ini dan tinggal di rumah istri.

Biasanya yang tinggal di Rumah Gadang adalah mereka yang ekonominya kurang mampu. Kalau keluarga itu kaya, maka belum sampai ujung biasanya dia akan keluar dan mendirikan rumah sendiri. Bukan Rumah Gadang, melainkan rumah biasa karena Rumah Gadang adalah rumah bagi suku. Setiap kamar yang sengaja dibuat berukuran kecil menjadi isyarat bagi suami untuk bekerja keras mencari uang agar bisa membuatkan rumah bagi anak-istri.

Tamu yang datang ke Rumah Gadang biasanya, duduk menghadap keluar rumah, sedangkan tuan rumah berhadapan dengannya. Ini dimaksudkan agar tamu tak melihat kekurangan yang ada di dalam rumah yang bisa menimbulkan pergunjingan atau fitnah. Tamu cukup melihat pemandangan yang indah saja di luar. Keuntungan bagi tuan rumah dengan menghadap ke arah dalam adalah bila menu dalam jamuan habis, misalnya, dia tak perlu berteriak untuk minta tambahan pada orang dapur, melainkan cukup memberi isyarat. Dapur yang ada di Rumah Gadang hanya ada satu, tapi di dalamnya terdapat tungku dari setiap keluarga yang tinggal di dalamnya. Masing-masing memasak dengan tungkunya sendiri.

Dari sisi konstruksi, tiang Rumah Gadang tidak lurus melainkan mengembang ke atas. Jendelanya pun sengaja dibuat mengikuti konstruksi tiang. Rumah ini juga dibangun tidak dengan dipaku, melainkan dengan sistem pasak. Konstruksi ini lebih tahan terhadap gempa bumi.  Ketika terjadi gempa besar tahun 2007 dan 2009, bangunan ini tidak rusak sama sekali. Bagian luar Rumah Gadang penuh ukiran indah yang melambangkan bahwa dalam pembuatannya orang Minang berguru pada alam. Kayu-kayu besar dijadikan tiang, sedangkan yang kecil dibuat ukiran. Jadi, tak ada yang terbuang.

Ukiran Sikambang Manih atau bunga yang indah melambangkan keramahan orang Minang dalam menyambut tamu. Sementara, ukiran Itiak Pulang Patang atau itik pulang sore melambangkan kedisiplinan. Mengacu pada karakter itik yang kalau berjalan selalu rapi berbaris meski tidak ada yang mengatur. Ada lagi Pucuak Rabuang atau pucuk rebung, artinya sejak kecil sampai tua kita berguna untuk orang lain. Empat rankiang atau lumbung padi yang berjejer rapi di depan kanan dan kiri Rumah Gadang juga memiliki arti. Bentuk keempatnya sama, hanya saja jumlah tiang penyangganya berbeda. Dua di sebelah kiri masing-masing bertiang empat, sedangkan di sebelah kanan masing-masing bertiang enam dan sembilan. Padi di lumbung paling kiri digunakan untuk upacara adat, misalnya pernikahan. Padi di lumbung sebelahnya digunakan untuk membantu fakir miskin dan persediaan musim paceklik.

Sementara, lumbung bertiang enam menyimpan padi untuk makanan sehari-hari penghuni Rumah Gadang. Sedangkan padi di lumbung bertiang sembilan bisa dijual dan hasilnya untuk menyumbang pembangunan di kampung. Letak rankiang yang jauh dari Rumah Gadang juga memiliki arti bila terjadi kebakaran di rumah, padi masih tetap aman dan penghuni tidak kelaparan. Padi diambil dengan menggunakan tangga dan setelahnya tangga disimpan di bawah Rumah Gadang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar