RSS

MENAPAKI JEJAK CHAIRIL ANWAR DI JAKARTA.


Chairil Anwar adalah sosok sastrawan pelopor Angkatan 45 yang membawa era puisi modern ke Indonesia. Lelaki kelahiran Medan pada 26 Juli 1922 ini mulai menginjakkan kaki di Jakarta pada 1942 saat ia sudah mulai aktif menulis sajak. Selama tujuh tahun tinggal di Jakarta, ia meninggalkan jejak-jejak di sejumlah tempat yang banyak berkaitan dengan sajak yang ia buat. Salah satu tempat yang tidak asing dengan keberadaan Chairil ada di lokasi Tugu Proklamasi kini. Bersama ibunya, Chairil sempat menumpang di rumah pamannya, Sutan Syahrir, di Jalan Pegangsaan Timur No 56. Rumah ini sempat ditempati Ir Sukarno dan istri ketiganya, Fatmawati, setelah dipulangkan dari tempat pengasingan di Bengkulu oleh Jepang.


Oleh Bung Karno dan Bung Hatta, rumah ini lalu dijadikan tempat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 silam. Di sini juga Bung Karno sempat menulis naskah pidato perumusan Pancasila yang kemudian ia bacakan dalam sidang BPU-PK. Dan rumah inilah tempat Chairil membuat sebuah sajak bertema patriotisme kemerdekaan, berjudul 'Krawang-Bekasi'. Dalam sajaknya itu, ia mengabadikan nama tiga bapak bangsa yang sangat ia kagumi, Sukarno, Hatta, dan Syahrir. Di tahun 1949, Chairil kembali membuat sajak 'Persetujuan Dengan Bung Karno' setelah menyaksikan pidato Sukarno di Lapangan Ikada pada 9 September 1945. Meski sarat akan sejarah, rumah di jalan Pegangsaan Timur No 56 itu tidak terawat dengan baik. Pada peristiwa G30S/PKI, rumah tersebut bahkan dirobohkan dan diratakan dengan tanah. Baru pada 1980, Presiden Soeharto meresmikan Tugu Proklamasi yang dibangun tepat di Jalan Pegangsaan Timur No 56, yang saat ini berubah menjadi Jalan Proklamasi. Dalam Tugu Proklamasi terdapat patung Bung Karno dan Bung Hatta yang membacakan naskah proklamasi.


Setelah tak lagi dibiayai oleh ayahnya dari Medan, Chairil mulai keluar dari rumah Syahrir dan mencari pekerjaan. Berbagai pekerjaan serabutan ia lakukan untuk menyambung hidup, termasuk menjual barang-barang bekas hasil jarahan rumah orang-orang Belanda. Namun ia tetap memantapkan diri sebagai senimah. Hobi membaca buku dan menonton film membuat wawasannya terbuka dan kosakata bahasanya luas di usianya yang cukup muda. Kesenangannya menonton film bahkan dituangkan dalam sajak berjudul Aku Berkisar Antara Mereka.

Salah satu gedung bioskop bersejarah di Jakarta yang sering ia kunjungi adalah bioskop Metropole di Menteng, Jakarta Pusat. Gedung bioskop ini berdiri setelah Indonesia merdeka dan diresmikan langsung oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Saat ini Metropole masih menjadi gedung bioskop dengan nama Metropole XXI (dulu Megaria 21). Bangunan gedung bioskop ini masih terlihat asli dengan gaya bangunan khas Belanda, yang telah ditetapkan sebagai gedung Cagar Budaya Nasional.


Semasa hidupnya, Chairil pernah satu kali menikah dengan seorang wanita asal Karawang bernama Hapsah Wiradiredja. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan bernama Evawani Alissa. Namun pernikahan tersebut hanya bertahan selama tiga tahun. Hapsah menceraikan Chairil karena penyair itu tidak memiliki pekerjaan tetap. Setelah bercerai, Chairil banyak menumpang tinggal di rumah sahabat-sahabat dekatnya. Hidupnya semakin tidak terurus, suka begadang, kuat merokok, dan juga sering ke rumah bordil. Hingga akhirnya ia terjangkit sejumlah penyakit, seperti infeksi paru-paru, infeksi usus, tifus, dan sifilis.

Pada 22 April 1949 ia dibawa rekan-rekannya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Setelah berjuang melawan penyakit selama tujuh hari, ia menghembuskan nafas terakhir di usia 27 tahun. RSCM yang dulunya bernama Rumah Sakit Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ) menjadi saksi bisu pertemuan Hapsah dengan jenazah Chairil setelah sebelumnya mereka hilang kontak pasca perceraian. Kepada Hapsah, Chairil hanya mewariskan sepotong baju dan celana, sebuah dompet, dan setumpuk kertas berisi sajak-sajak yang ia tulis.


Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak menjadi tempat peristirahatan terakhir sang pelopor angkatan 45. Chairil sebelumnya telah meramalkan kematiannya dalam sajak yang berjudul 'Yang Terampas dan Yang Putus', yang ia tulis tiga bulan sebelum pergi. Dalam sajak tersebut ia menyebutkan lokasi Karet, sebagai tempat ia kembali. Di era Gubernur Wiyogo Atmodarminto, makam Chairil Anwar dipugar, dan dibuatkan tugu menyerupai pena.


Semasa hidup, Chairil hanya menulis 70 buah sajak. Sajak-sajak tersebut baru didokumentasikan dan dibukukan oleh HB Jassin, setelah Chairil meninggal dunia. Sajak yang dibuat dari tulisan tangan Chairil masih disimpan rapih dalam Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. PDS HB Jassin yang didirikan pada 28 Juni 1976 ini berlokasi di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. HB Jassin adalah sahabat dekat Chairil meski usianya lebih tua. Mereka pernah bertengkar karena tuduhan plagiarisme Jassin kepada Chairil. Namun Jassin yang berjasa mengenalkan sajak Chairil setelah meninggal. Jassin yang juga senang menulis sajak seperti Chairil, pada awalnya ingin mendokumentasikan karya-karya sastra agar tidak hilang. Jasanya yang besar pada kesusastraan Indonesia meluluhkan hati Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, yang kemudian memberikannya tempat di TIM. PDS HB Jassin dibuka untuk umum. Pengunjung bisa melihat ribuan karya sastra dalam bentuk buku fiksi, nonfiksi, naskah, makalah, audio, dan video.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar