RSS

KISAH PENGRAJIN REOG PONOROGO



Reog merupakan salah satu seni yang menjadi ciri khas Jawa Timur, khususnya kota Ponorogo. Keindahan seni reog Ponorogo tidak sebatas kemampuan pelaku seninya, tetapi bentuk dan aksesori reog itu sendiri juga sangat menarik. Perpaduan kipas raksasa yang disebut dadag merak dengan ribuan bulu merak berwarna khas mengkilap indah, serta bagian kepala atau caplokan berupa topeng yang dilapisi kulit kepala harimau yang gagah adalah salah satu ciri khas reog Ponorogo. Hanya orang-orang dengan keterampilan khusus yang mampu membuat aksesori seharga puluhan juta rupiah tersebut.

Salah satu yang memiliki keahlian dalam membuat aksesori reog adalah Sarju. Sebagai seorang perajin reog, nama Sarju sudah cukup dikenal di Ponorogo, terutama oleh para seniman reog. Meski rumahnya yang terletak di Desa Sriti, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, berjarak sekitar 30 kilometer dari jantung kota Ponorogo, dan lima kilometer menjelang lokasi harus naik ke pegunungan, namun semua orang nyaris tahu. Tak hanya mencari nafkah dari reog, Sarju dan keluarganya  memang juga pecinta kesenian ini. Selain sebagai pengrajin, bapak seorang anak ini memang juga seorang seniman reog. Tiap kali pentas, dia bertindak sebagai pengrawit atau penabuh gendang. Maka tak heran bila reog begitu menyatu dalam nafas kehidupannya.

Sarju menjelaskan, untuk membuat reog dibutuhkan keterampilan tinggi. Karena itulah jarang sekali orang menekuni profesi sebagai pembuat reog. Ia sendiri sudah menekuni keterampilan membuat reog sejak kecil. Kemampuan itu ditularkan oleh sang ayah, Senun. Sang ayah mengajarinya mulai dari mengolah bahan baku sampai benar-benar jadi reog. Oleh ayahnya, Sarju memang sengaja dikader untuk menjadi pengrajin reog. Karena jumlah pengrajin reog dari dulu sampai sekarang masih bisa dihitung dengan jari. Bahkan dulu, kata Sarju, beberapa pengrajin reog banyak yang mengambil bahan dari ayahnya. 


Setelah ia beranjak dewasa, tepatnya di tahun 1999, ketika sudah merasa cakap dan fisik sang ayah tidak memungkinkan lagi membuat reog, Sarju mulai menggantikan perannya menjadi pengrajin dan menerima pesanan. Dan kini, pria tamatan SMP ini pun mulai turut melibatkan anak semata wayangnya, Dimas Wahyu Pratama, dalam mengerjakan pesanan reog sebagai upaya kaderisasi selanjutnya, Sarju menambahkan, sebenarnya ia tidak hanya menerima pesanan membuat reog baru. Tetapi juga menerima jasa perbaikan reog yang rusak atau mempercantik yang sudah kusam setelah sekian tahun digunakan.

Banyak bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan reog. Bahan dasarnya mulai dari bambu apus yang dibuat sebagai kipas raksasa, bulu merak, benang, rotan, paku, kayu dadap, mancung kelapa (tempatnya bunga kelapa), rambut ekor sapi, manik-manik sebagai hiasan. Proses pembuatannya pun tak gampang. Bambu apus yang sudah dibelah kemudian diserut menjadi batang lidi memanjang. Demikian pula dengan rotan. Bambu apus sengaja digunakan karena sifat bambu ini yang lentur namun kuat dan tidak mudah patah. Lidi berukuran panjang dan rotan tersebut kemudian dirangkai dengan membentuk seperti kipas setengah lingkaran oval dengan tinggi 2,2 meter dan lebar 1,5 meter. Kipas raksasa tersebut diayam rapi dengan benang sebagai pengikat. Mengerjakannya memang butuh ketelatenan. Kalau tidak hasilnya akan terlihat kasar dan kurang rapi.

Setelah terbentuk menjadi kipas raksasa utuh, pekerjaan berikutnya adalah menempelkan helai demi helai bulu merak dengan cara mengikat bagian batang bulu merak sampai bulu merak menutupi bagian kipas tersebut. Pekerjaan merajut ini juga harus terampil dan dianyam kuat-kuat supaya saat dipakai atraksi tidak rontok atau lepas. Sarju tidak mengerjakan semuanya sendirian. Sang istri, Rusmini pun turut membantu, setelah selesai mengerjakan tugas utama sebagai ibu rumah tangga. Sementara anaknya membantu sepulang sekolah, atau bila memang tidak ada tugas sekolah.

Salah satu komponen reog yang biayanya cukup tinggi adalah dadag merak. Dalam satu dadag merak dibutuhkan 1.500 helai bulu merak, yang satu helainya sekarang seharga Rp 8.700. Jadi, kalau satu dadag merak butuh 1.500 helai berarti biayanya mencapai Rp 13 jutaan. Untuk kebutuhan bulu merak ini, Sarju sudah memiliki pemasok. Para pemasok bulu merak tersebut biasanya mendapat bulu merak dari para pencari di hutan-hutan. Biasanya pada bulan April hingga Mei, burung merak rontok bulunya, dan sebagian orang memungutnya. Bulu merak juga diperoleh dari India yang memang diternakkan untuk diambil bulunya.


Selesai membuat dadag merak, langkah berikutnya adalah membuat caplokan atau topeng berbahan kayu dadap yang kuat tapi ringan. Bagian luarnya dilapisi kulit yang diambil dari bagian kepala kulit harimau. Kepala harimau memberi aura yang luar biasa. Selain gagah, juga garang dan berwibawa. Berat total reog yang sudah jadi bisa mencapai 40 kilogram. Namun, bukan pekerjaan mudah mendapatkan kulit harimau asli mengingat hewan tersebut saat ini termasuk yang dilindungi. Sebagai gantinya, Sarju mengganti kulit kepala harimau dengan kulit sapi yang dilukis mirip kepala harimau. Memang hasilnya tidak sebagus kulit kepala harimau asli, tetapi kalau tidak ada, mau tidak mau memang harus kreatif mencari penggantinya. Perbedaan harga reog dari kepala harimau asli dengan kulit sapi bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Melukis wajah harimau di atas lembaran kulit sapi juga bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan keterampilan tinggi. Jika tidak bagus, maka aura dari reog itu sendiri tak bakal tampak. Untuk melukis wajah harimau, digunakan semir sepatu, sedang mata harimau diganti dengan kelereng. Agar menambah kesan sangar, di bagian sekitar kepala harimau juga diberi rambut keperak-perakan yang diambil dari ekor sapi. Untuk membuat satu reog, Sarju membutuhkan waktu sekitar 15 hari. Sedang harga satu set reog sekitar Rp 30 juta, sudah termasuk gamelan yang terdiri dari kendang, gong, kenong, angklung, kempul, serta pakaian bagi para pemain dan pengrawit. Untuk gamelan dan pakian, Sarju memang tidak membuatnya sendiri, tetapi sudah ada langganan yang menjadi pemasok.

Sarju mengakui, belakangan ini jumlah pemesan reog makin banyak. Karena itulah dia tidak pernah berhenti memproduksi. Para pemesan reog datang dari berbagai kawasan di Indonesia. Bahkan dengan nada bangga, Sarju mengatakan pernah ada yang memesan dari kelompok reog asal Papua. Biasanya para pemesan adalah masyarakat Ponorogo yang ada di perantauan. Selain sebagai wadah untuk saling berkumpul sekaligus menunjukkan identitas kedaerahan, mereka biasanya membuat grup reog. Yang unik, menurut Sarju, ketika seni reog dihujat bahkan dibakar di kedutaan Davao, tahun 2015, atau diklaim oleh Malaysia, justru fanatisme masyarakat makin tinggi. Secara tidak langsung malah makin banyak orang yang memesan reog.

SUVENIR REOG



Reog sebagai identitas kota Ponorogo tidak hanya hadir dalam bentuk yang sesungguhnya, tetapi juga dalam bentuk suvenir. Belakangan ini cenderamata bernuansa kota warok tersebut juga laris di pasaran. Saat seni reog diklaim Malaysia sebagai seni budaya negara jiran tersebut, fanatisme masyarakat terhadap segala sesuatu yang bernuansa kota Ponorogo justru makin terpicu. Menurut Putut Hartanto, salah seorang pengrajin suvenir, permintaan pasokan dari toko suvenir makin meningkat, dan berimbas pada jumlah perajin suvenir khas Ponorogo yang juga naik dua kali lipat.

Putut yang membuka usaha sejak tahun 2008 menceritakan, bahwa semula usaha suvenir tersebut berjalan biasa-biasa saja. Sehari-hari dia memasok berbagai macam suvenir, mulai dari kuda lumping, miniatur kepala reog, miniatur reog, topeng bujang ganong, untuk keperluan suvenir dan pentas. Tapi setelah adanya klaim dari Malaysia, banyak toko suvenir di berbagai kota yang minta dikirimkan, termasuk beberapa pengusaha online shop.


Bapak seorang anak lulusan ekonomi manajemen ini memaparkan, bahwa pertama kali mendirikan usaha, setiap item barang ia buat sendiri. Kebetulan, Putut memang hobi membuat beragam kerajinan. Tetapi, dalam perjalanan waktu, Putut tak mampu lagi membuat sendiri. Ia harus melibatkan karyawan. Kendati demikian, ia harus tetap mengajari para karyawan dari nol sampai bisa. Dulu, Putut memang sempat memiliki workshop di rumah ibunya, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Para karyawan ia minta mengerjakannya di rumah masing-masing.Begitu jadi, baru disetorkan kepadanya.

Untuk membuat suvenir khas Ponorogo, juga dibutuhkan ketelatenan. Apalagi kerajinan seperti reog mini yang bentuk maupun bahan dasarnya sama persis dengan reog asli, termasuk menggunakan bulu merak. Salah satu tingkat kesulitannya adalah bagaimana menggambar kepala harimau di atas kulit sapi. Kalau tidak presisi, hasilnya akan tidak karuan. Putut mengaku, sering kewalahan dalam menerima pesanan. Tak heran bila harga miniatur reog cukup mahal, mencapai Rp 300.000.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar