RSS

BANDA NAIRA, SURGA DARI TIMUR



Banda Naira merupakan pulau utama dalam gugusan Kepulauan Banda di Provinsi Maluku, di tenggara Pulau Ambon. Banda Naira penuh dengan sejarah. Sejumlah peninggalan sejarah, baik sejak zaman kolonial maupun pra kemerdekaan ada di pulau ini. Peninggalan sejarah masa kolonial terlihat dengan adanya beberapa benteng. Benteng pertama yang masih terawat adalah Benteng Belgica.

Terletak di atas sebuah bukit di sebelah barat daya Pulau Banda Naira, tinggi Benteng Belgica mencapai 30 meter dpl. Oleh karena itu, sebelum mencapai gerbang utama benteng kita harus melewati 52 anak tangga. Benteng ini dibangun pada 1611 saat kepemimpinan Gubernur Jenderal Pieter Both (19 Desember 1610-6 November 1614). Tujuan didirikannya agar memudahkan VOC mengawasi kapal-kapal yang keluar masuk Banda.

Dari dalam, bangunan benteng ini bebentuk segi lima. Tapi, jika dilihat dari semua penjuru, seolah hanya akan terlihat empat sisi. Konstruksi benteng terdiri atas dua lapis bangunan. Di bagian tengah benteng terdapat sebuah ruang terbuka luas untuk para tahanan. Di tengah ruang terbuka, pengunjung bisa melihat dua buah sumur rahasia yang menghubungkan benteng dengan pelabuhan dan Benteng Nassau yang berada di tepi pantai.
 


Menurut sejarah, Benteng Belgica ini sebenarnya merupakan salah satu benteng peninggalan Portugis. Awalnya, berfungsi sebagai pusat pertahanan. Tapi, pada masa penjajahan Belanda, Benteng Belgica beralih fungsi untuk memantau lalu lintas dagang. Saat jabatan guebrnur jenderal dipegang Johan Paul van Limburg Stirum (1916-1921), benteng ini dipugar dan dijadikan markas mliter Belanda.

Benteng Belgica menjadi objek yang menarik untuk berfoto-foto di Pulau Banda Naira. Maklum, posisinya strategis. Ia terlihat jelas dari arah laut dan begitu berada di puncak benteng, kita bisa menikmati panorama Banda Naira dari berbagai sudut. Lebih dari itu, benteng ini pun memang masih tampak terawat. Pada 1991, sewaktu menjabat sebagai menteri Pertahanan dan Keamanan (menhankam), Jenderal LB Moerdani sempat memberi bantuan untuk memugar dan mempercantik kembali benteng yang sudah berusia lebih dari 400 tahun ini.

Selain Benteng Belgica, di Banda Naira ada juga Benteng Nassau. Tapi, tak seperti Belgica, Benteng Nassau kondisinya sudah tidak utuh. Yang tersisa hanya dua gerbang, bekas penjara, dan tembok benteng yang sudah terputus. Halaman dalam benteng sudah dijadikan tempat bermain bola anak-anak setempat.

Ketika berjalan kaki menuju Benteng Belgica, kita akan melewati Parigi Rante. Yakni, sebuah monumen tempat 40 putra terbaik Banda Naira pada 8 Mei 1621 menjalani hukuman mati atas perintah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (30 April 1618-30 September 1627). Mereka berjuang mempertahankan tanah Banda Naira yang hendak direbut penjajah.  Nama-nama mereka yang disebut sebagai  ‘orang kaya’ ini tertulis di prasasti. Delapan pahlawan ini dihukum potong menjadi empat bagian dan 32 orang dihukum penggal kepala. Selain 40 pahlawan tersebut, selama masa kolonial sudah ada sekitar 6000 orang Banda yang dibunuh.

 
Peninggalan sejarah lain adalah Istana Mini. Istana yang dibangun pada 1622 saat Jan Pieterszoon Coen menjadi gubernur jenderal ini digunakan sebagai pusat administrasi VOC. Menurut kabar, istana mini ini dibangun VOC sebelum pembangunan Istana Negara di Batavia (Jakarta). Istana ini masih terawat. Bangunan berarsitektur khas Eropa ini memiliki empat tiang kolom. Jumlah tiang tersebut punya makna, yakni 40 orang kaya yang dijatuhi hukuman mati di zaman kolonial. Ada enam ruangan besar yang masing-masing ada tiga di sisi kiri dan tiga di sisi kanan yang masing-masing terhubung pintu. Sementara, di halaman belakang terdapat teras, dapur, juga sumur.

Selain aristekturnya, yang menarik dari istana ini adalah cerita tentang seorang chef yang tinggal di istana ini pada masa kolonial bernama Charles Rumpley. Karena rindu ingin pulang ke kampung halamannya di Prancis, tetapi tidak diizinkan, Rumpley mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Sebelum mengakhiri hidupnya Rumpley sempat membuat inskripsi di sebuah kaca jendela di bekas kamarnya. Inskripsi yang merupakan ungkapan perasaan ini ditorehkan dengan menggunakan batu intan pada 1 September 1831.
 


Selain ‘orang kaya’ yang namanya diabadikan di Prasasti Parigi Rante, di masa menjelang kemerdekaan Republik Indonesia banyak tokoh-tokoh politik Indonesia yang dibuang di kota yang berpenduduk sekitar 7000 orang ini. Setidaknya, ada empat tokoh politik pada periode 1928-1942 yang dibuang di Banda Naira, yakni Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Iwa Kusuma Sumantri, dan dokter Tjipto Mangunkusumo.

Hatta dan Sjahrir ditangkap dan dibuang ke Banda Naira karena berjuang membangkitkan kesadaran rakyat agar membebaskan diri dari kolonialisme. Mereka yang pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini pada 3 Februari 1936 semat melakukan kaderisasi melalui organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru). Sementara, Iwa K Sumantri mendirikan Perhimpunan Indonesia di Belanda pada 1920-an. Dokter Tjipto mendirikan Indische Partij. Tapi, begitu di Naira mereka tak boleh melakukan aktivitas politik.

Meski dilarang melakukan kegiatan politik, Iwa dan Sjahrir sempat memberikan bantuan hukum bagi penduduk, terutama berkaitan dengan hak atas tanah. Sementara, Hatta menggerakkan anak-anak muda lokal untuk membentuk koperasi Persatuan Banda Naira. Terakhir, Tjipto dengan kemampuannya selalu bersedia mengobati penduduk setempat yang sakit tanpa dipungut biaya.
 

Rumah bekas keempat tokoh nasional saat ini masih berdiri. Kini, dijadikan museum dan sebagian dikelola bersama oleh Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira yang didirikan Des Alwi dam keluarga Hatta. Sebelumnya, Hatta sempat ditawarkan ingin dibuatkan patung. Tapi, tokoh proklamator Republik Indonesia ini lebih memilih dibuatkan masjid. Tepat di seberang pintu Pelabuhan Banda Naira, berdiri sebuah masjid yang didedikasikan bagi Hatta. Masjid ini diresmikan S Wahyunah Sjahrir, Meutia dan Halida Hatta pada 12 April 1979.

KEPULAUAN BANDA NAN EKSOTIK
Banda Naira adalah satu dari 10 pulau yang ada di Kepulauan Banda. Kepulauan tersebut dipisahkan oleh laguna biru yang dalam dengan Pulau Gunung Api.  Selain Pulau Banda Naira, ada pula Pulau Banda Besar, Pulau Hatta (sebelumnya bernama Pulau Rosengain), Pulau Ai, Pulau Rhun, Pulau Sjahrir (Pulau Pisang), Pulau Nailaka, Pulau Manukang (Pulau Suanggi), dan Pulau Karaka.
Pulau Rhun adalah pulau yang diberikan Inggris pada Belanda. Pada 1648 dan 1662, pulau ini sempat heboh di Eropa. Berawal dari kasus Pulau Rhun sehubungan dengan ‘pembantaian Ambon’. Perselisihan antara Inggris dan Belanda semakin meruncing. Sebagai suatu penyelesaian, pada Juni 1665 Belanda mengembalikan Pulau Rhun kepada Inggris.

Namun, Belanda kembali merampas Pulau Rhun dari Inggris. Pada 1667, melalui ‘Perjanjian Breda’, yang berhasil menyelesaikan berbagai perselisihan Belanda-Inggris yang sudah berlangsung berlarut-larut, maka piha Inggris menyerahkan Pulau Rhun kepada Belanda. Melalui perjanjian ini, Inggris memperoleh hak atas New Amsterdam, termasuk Pulau Manhattan sebagai kompensasi atas Pulau Rhun yang telah mereka lepaskan kepada Belanda.

Tak jauh dari Pulau Rhun, ada Pulau Nailaka yang tak berpenghuni. Boleh jadi, karena pulau ini terlalu kecil untuk dihuni. Meski tak berpenghuni, ada dua makam di pulau ini. Tak jelas siapa yang menghuni di dalam kedua makam itu karena tak ada batu nisan atau prasasti.
 


Kemungkinan salah satu makam adalah makam Kapiten Lelekai. Menurut cerita, Kapiten Lelekai adalah ‘Tuan Tanah’ Pulau Ai. Ia sempat berperang dengan Sairun, salah seorang Hulubalang, untuk memperebutkan Pulau Ai. Di akhir perang, Lelelai mengatakan, “ Ambil beta punya parang dan potong jadi empat”. Sairun kemudian memotong Lelekai menjadi empat. Keempat potongan tubuh dikubur di beberapa pulau. Salah satu potongan tubuhnya dikuburkan di Pulau Nailaka.

Selain Pulau Manukang, Nailaka, dan Pulau Karaka, semua pulau di kepulauan Banda berpenghuni. Meski gunung api di Kepulauan Banda masih aktif sampai sekarang, di Pulau Gunung Api terdapat penduduk yang berdiam di kaki-kaki gunung. Gunung ini pernah meletus pada 1614, 1720, 1810, dan 1891. Letusan terakhir terjadi pada 8 Mei 1988. Letusan terjadi dalam rentang waktu antara 80-100 tahun. Ada cerita bahwa gunung ini selalu meletus setiap kali tentara penjajah mendarat di Kepulauan Banda. Namun tentu saja pada 1988, letusan terjadi bukan karena kedatangan penjajah.
 




Saat meletus pada 1988, Pulau Rhun sempat terkena terpaan debu panas. Angin yang membawa debu panas tersebut hingga menutup hampir seluruh pulau. Sementara, lava yang keluar dari mulut gunung atau yang disebut lava flow, sempat merusak terumbu-terumbu karang yang cantik.

Namun, setelah letusan 1988, pertumbuhan karangnya begitu cepat hampir 90 persen, terutama di lava flow. Fenomena alam ini tercatat di dunia sebagai sebuah keajaiban. Di lava flow ini pula menjadi titik para pecinta snorkeling dan diving melakukan aktivitasnya.

Gunung Api memiliki ketinggian 670 meter di atas permukaan laut (dpl). Meski tidak terlalu tinggi, tetapi untuk mencapai puncaknya butuh fisik dan kesabaran ekstra. Pasalnya, jalur pendakian satu-satunya banyak menanjak dan penuh dengan batu-batu koral atau pecahan-pecahan batu dari Gunung Api. Di puncak gunung yang terdapat habitas 40 satwa asli dan migran ini, kita dapat melihat dengan jelas keseluruhan Pulau Banda Naira dan Pulau Pisang. Sementara Pulau Banda Besar hanya bisa terlihat sebagian saja.



KAMPUNG ADAT ULISIWA DAN ULILIMA

Ketujuh pulau berpenghuni saat ini memiliki 10 desa, tujuh desa di antaranya memiliki kampung adat. Tiap-tiap kampung adat memiliki kora-kora (perahu adat) dan tentara keamanannya, yaitu cakalele. Pada saat masa kolonial Belanda pada 1880, ada tiga kampung adat yang sempat dihapuskan, yakni Kampung Adat Pulau Hatta, Pulau Rhun, dan Kampung Adat Kumber.

Seluruh kampung adat mempunyai satu ketua kepala adat yang dipanggil Orang Lima Besar. Enam di antara tujuh kampung adat itu terdiri atas kumpulan atau kelompok (klan) Orang Lima (Orlima) atau Ulilima atau Patilima. Hanya Kampung Adat Lontor, yang berada di Pulau Banda Besar, yang mengikuti kelompok Orsiang atau Ulisiwa (Orang Sembilan) atau Patasiwa.

Nama Ulisiwa dan Ulilima berasal dari akar kata ‘Uli’ yang berarti saudara. Siwa berarti sembilan. Sedangkan Lima berarti lima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ulisiwa dan Ulilima adalah kelompok persaudaraan sembilan dan lima. Masyarakat di Banda sudah terbagi atas kelompok siwa dan kelompok lima sejak kedatangan Portugis.

Di Kampung Adat Ulilima, terdapat tentara keamanan (cakalele) sebanyak lima orang. Hanya Kampung Adat Lontor yang mempunyai sembilan anggota cakalele, karena mereka adalah penganut Ulisiwa. Di tengah cakalele ada hulubalang, yang mewakili orang kaya dari Kampung Adat. Orang yang dimaksud di sini adalah mereka yang berani memberontak terhadap pemerintahan kolonial Belanda.  Saat Vereingde Oostindische Compagnie (VOC) berkuasa, orang kaya ini dibunuh atau dibuang.




PERKEBUNAN PALA
 




Kepulauan Banda kaya akan pohon pala. Pohon inilah yang menjadi daya tarik berbagai bangsa, termasuk Portugis, Belanda, Spanyol, dan Inggris untuk menguasai kepulauan Banda. Negara-negara tersebut mengarungi lautan beribu-ribu kilometer menuju Banda, hanya untuk menguasai pohon-pohon pala dan perdagangan rempah-rempah di dunia. Saat ini pun harga pala di dunia, terutama di pasar Eropa, sangat tinggi.

Dalam catatan Gubernur Jenderal Reiner de Klerk (1777-1780), pendapatan VOC dari penjualan rempah-rempah, terutama pala mencapai 1,8 juta gulden pada 1756. Lalu, seabad berikutnya Dr Pieter Bleeker, seorang opsir kesehatan tentara, mencatat penerimaan dari rempah-rempah mencapai 959,610 gulden.

Sampai saat ini, pala merupakan tumbuhan utama beberapa tempat di Kepulauan Banda. Di Kecamatan Lontor, Banda Besar, misalnya. Salah satu kepulauan di Banda ini merupakan tempat perkebunan pala terbesar. Di sini rumah-rumah menjemur pala menjadi pemandangan yang biasa.

Ketika Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen masih berkuasa (1617-1627), untuk tetap menguasai perkebunan pala di Banda, ia menerima lamaran dari para pensiunan VOC dam militer. Mereka dikontrak untuk mengelola kebun-kebun pala yang sebenarnya milik warga tersebut. Oleh Coen, lahan-lahan pala produktif dibagi atas 68 persil atau disebut ‘perken’ (perkebunan) berukuran kira-kira 625 roeden persegi atau dari 12 sampai 30 hektare perk.

Saat itu, ada sekitar 68 perk, yang terdiri dari 34 perk di Lontor (Banda Besar), 31 perk di Pulai Ai, dan 3 perk di Pulau Neira. Perk-perk itu diberikan hak kelola kepada 34 sampai 68 orang perkenier atau petani pala yang diberikan izin mengelola lebih dari satu perk.
 
Saat ini di Kepulauan Banda masih ada sekitar 85 persen areal perkebunan pala atau 150 ribu pohon yang masih aktif. Harga pala pun masih cukup tinggi. Pala ukuran super besar dan mulus bisa dihargai senilai Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu per kilo. Menariknya, panen pala terjadi tiga kali, yakni sekitar bulan Maret, April, maupun Juli. Namun, panen besarnya hanya terjadi dua kali dalam setahun.



BENTENG HOLLANDIA DAN KUBURAN SATU JENGKAL
 




Di Lontor atau Pulau Banda Besar, kita juga akan menemui sejumlah peninggalan sejarah, seperti Benteng Hollandia. Benteng ini terletak di sebelah selatan desa Lontor. Jarak dari laut ke benteng sekitar 100 meter. Sementara, ketinggiannya sekitar 30 meter di atas permukaan laut.

Tak seperti Benteng Belgica di Pulau Banda Naira, Benteng Hollandia ini sudah tidak berbentuk lagi. Yang ada hanya sisa-sisa tembok, gerbang utama benteng yang menghadap ke timur, dan bekas penjara. Menurut data, besar bangunan benteng ini 529 eter persegi, dibangun di atas tanah seluas 2500 meter persegi.

Sebelum masuk ke Benteng Hollandia yang didirikan pada 1624 di masa Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen ini, kita akan melewati dua buah sumur air yang usianya sudah ratusan tahun. Satu sumur air untuk minum dan sumur air lainnya untuk mencuci. Setiap hari warga di pulau ini masih menggunakan air ini. Dan tiap sepuluh tahun, sumur ini dicuci dengan menggunakan upacara adat.

Menjelang tahun ke-10, orang-orang kelahiran Banda yang tinggal di berbagai kota atau pulau dikabari bahwa akan ada upacara adat pembersihan sumur. Tujuannya, selain mengumpulkan warga asli, juga untuk meminta sumbangan. Maklum saja, upacara adat yang digelar membutuhkan biaya yang tak sedikit. Tak heran, pemberitahuan ke orang-orang Banda yang merantau bukan cuma lisan, tetapi ada undangan formal.

Di Banda Besar juga ada peninggalan leluhur yang dikeramatkan, yakni kuburan satu jengkal. Bentuk kuburannya berbeda dengan kuburan umumnya. Ada sejumlah batu yang melingkari sebuah batu. Disebut satu jengkal karena jika menjengkalkan jari anda, dari batu yang ada di tengah dan batu yang ada di lingkaran, ukurannya satu jengkal.
 




Sepertinya kuburan ini ada sejak agama Islam belum masuk. Warga Lontor masih melakukan praktik animisme-dinamisme. Namun, meski Islam sudah menjadi mayoritas warga di Lontor ini, budaya animisme-dinamisme tampaknya masih mempengaruhi mereka. Setiap kali warga Lontor ingin membuat hajatan, selalu meminta izin pada kuburan satu jengkal ini. Kalau tidak, bisa-bisa ada korban atau seluruh kampung akan kena musibah.
 

TRANSPORTASI DAN AKOMODASI DI PULAU BANDA

Untuk mencapai Kepulauan Banda Naira hanya ada dua pilihan, yakni menggunakan transportasi laut dan udara. Jika menggunakan transportasi laut, kita harus menggunakan kapal Pelni. Sementara, jika menggunakan pesawat, Merpati Nusantara Airlines siap membawa anda dari Bandara Pattimura, Ambon, menuju Banda Naira selama lebih kurang satu jam.  Terdapat sebuah airport mini khusus pesawat perintis di Pulau Banda Naira. Pesawat pun terbang pada pagi hari, yakni sebelum pukul 10.00 pagi mengingat cuaca dan angin di Banda Naira sulit diprediksi. Bila menggunakan kapal Pelni yang bernama Kapal Tidar, berangkat dari Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon. Lama perjalanan hingga sampai ke pelabuhan Banda Naira memakan waktu sekitar 9 sampai 10 jam.
 




Di Banda Naira terdapat beberapa penginapan atau guest house. Beberapa tahun lalu, baru satu guest house di pulau ini, yakni guest house milik Des Alwi yang bersebelahan dengan pelabuhan Banda Naira. Setelah itu, tumbuh beberapa guest house lain, seperti Delfika Guest House yang beroperasi pada 1981. Selain Delfika, yang berada di depan rumah pembuangan Sultan Syahrir ini ada guest house lain yang bernama Likes.
 



Jika ingin mengunjungi pulau-pulau lain di Kepulauan Banda, anda harus menggunakan perahu kayu yang dikenal dengan nama katinting. Per orang dikenakan tarif Rp 50 ribu. Itu pun bergantung jarak. Harga tersebut sudah termasuk honor seorang guide yang bisa mengantarkan anda keliling ke lokasi bersejarah, termasuk keluar masuk kampung dan hutan kebun pala.


SURGA PENCINTA LAUT

Bagi para wisatawan mancanegara maupun lokal, Kepulauan Banda menjadi rekomendasi wajib buat dikunjungi. Betapa tidak, pulau-pulau di Timur Indonesia ini begitu indah, terutama bagi mereka para pecinta laut. Sejak pemerintah membuat program ‘Sail Banda’ yang berlangsung pada 12 Juli – 17 Agustus 2010, pariwisata di Kepulauan Banda semakin ramai didatangi turis, terutama dari Eropa.
 



Selain melihat keindahan sisa-sisa peninggalan zaman kolonial, seperti Benteng Holland, biasanya mereka adalah penikmat snorkling maupun diving. Panorama bawah laut Kepulauan Banda memang begitu mempesona. Bahkan boleh dibilang, Kepulauan Banda diangap sebagai lokasi terbaik di dunia bagi penggemar snorkling maupun diving.

Ada beberapa titik penyelam yag menjadi langganan untuk pencinta snorkling dan diving, yakni sekitar 22 lokasi. Selain di Pulau Ai, biasanya kita bisa menikmati di Pulau Hatta maupun Pulau Naira. Di beberapa pulau ini anda bisa menikmati beraneka ragam biota laut dan variasi jenis karang yang mempesona. Ada sekitar 350 jenis biota laut, termasuk ikan, kerang purba, rumput laut, moluska, gurita, udang, kepiting, penyu, dan aneka terumbu karang yang cantik.

Selain di Pulau Ai dan Pulau Hatta, anda juga bisa menyelam di Tanjung Barat Pulau Pisang, Selamo Village (Pulau Banda Besar), Tanjung Burang (Pulau Banda Besar), Batu Kapal, Mandarin City (Jetty Reef), dan Pasir Putih (Lighthouse Pulau Naira). Waktu terbaik untuk menyelam adalah sepanjang April hingga November.
 

KULINER KHAS BANDA NAIRA

Dunia kuliner Banda Naira cukup kaya. Ada banyak makanan khas yang tentu saja semua berasal dari laut dan hasil hutan. Ikan garam cakalang, misalnya. Ikan asin yang merupakan olahan dari ikan cakalang segar ini sangat masyhur. Lalu ada pula ikan asap. Ikan ini diolah dengan cara diasapkan dan dijual dalam bentuk fillet, ikan utuh, serta telur ikan.

Produk kuliner lain yang tak kalah sedap adalah manisan pala basah dan kering. Halua kenari juga menjadi buruan para penggila makanan. Makanan yang terbuat dari kacang kenari dan gula aren ini rasanya manis gurih. Halua sendiri dalam bahasa Banda, berarti manis.

Saat makan siang atau malam, akan terasa kurang pas jika menikmati aneka ikan bakar tanpa ada teron kenari. Apa itu ? Terong yang telah digoreng, lalu di atasnya disiram dengan saus kenari.



NIKMATI LEZATNYA BOLU KUSKUS KETAN ITEM, OLEH-OLEH KHAS JAKARTA DENGAN CITA RASA ASLI YANG MENGGUGAH SELERA. PEMESANAN BISA DI  SINI
 



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Unknown mengatakan...

infonya menarik dan luar biasa

Posting Komentar