RSS

WISATA SEJARAH : MENYUSURI JEJAK GERILYA JENDRAL SOEDIRMAN.



“Anak-anakku, Tentara Indonesia, kamu bukanlah serdadu sewaan, tetapi prajurit yang berideologi, yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran Tanah Airmu. Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan suatu negara yang didirikan di atas timbunan runtuhan ribuan jiwa harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia siapa pun juga.” Cuplikan amat tersebut diucapkan oleh Jendral Soedirman untuk membakar semangat tentara-tentara Indonesia. Soedirman adalah seorang pahlawan Indonesia yang memiliki andil besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Pada masa remaja, Soedirman aktif berorganisasi dan rajin membaca buku. Soedirman bahkan lebih dulu mengawali karier menjadi seorang guru sebelum akhirnya menjadi tentara. Karier militer Soedirman dimulai ketika Jepang memasukkannya dalam Pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Kiprahnya terus menanjak dan mendapat perhatian dari para tokoh elite nasional. Ketika menjadi Kepala Divisi V di Banyumas, Soedirman mendapat apresiasi besar setelah mampu mengusir pasukan sekutu dari Ambarawa pada perang pasca kemerdekaan. Di usia yang relatif muda yakni 31 tahun, ia sudah dinobatkan menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan menyandang pangkat Jenderal.


Ketika menjadi Panglima, Soedirman memimpin militer Indonesia menghadapi dua agresi militer Belanda. Pada agresi militer kedua, Soedirman harus melaksanakan tugasnya meski dalam keadaan yang sangat lemah. Ini karena Soedirman mengalami sakit paru-paru dan harus dioperasi. Dengan semangat dan kecintaan akan Tanah Air, Soedirman memilih untuk tetap berjuang memimpin perang dari atas tandu dan hanya satu paru-paru. Soedirman lantas meninggalkan Yogyakarta bersama para pasukannya untuk menjalani perang gerilya melawan Belanda. Gerilya tersebut menjadi puncak kegemilangan Soedirman. Strategi itu berhasil mempersulit Belanda dan kemudian dicontoh Vietnam dalam perang melawan Amerika Serikat.

MENENGOK RUMAH SANG JENDERAL BESAR.


Museum Jenderal Besar Soedirman terdapat di Jalan Bintaran Wetan Nomor 3, Yogyakarta. Museum yang dulu sempat menjadi rumah dinas Soedirman ini sempat beberapa kali beralih fungsi. Bangunan museum pertama kali didirikan pada masa pemerintahan kolonial Belanda atau sekitar 1890. Bangunan itu awalnya digunakan sebagai rumah dinas Wijnchenk, seorang pejabat keuangan Pura Paku Alaman.

Pada masa pendudukan Jepang, rumah itu dikosongkan dan disita perabotnya. Pasca kemerdekaan Indonesia, bangunan itu digunakan Letkol Suharto sebagai markas Kompi Tukul. Pada 18 Desember 1945, bangunan itu menjadi kediaman resmi Soedirman setelah menjadi Panglima Besar TKR. Soedirman dan keluarga menempati rumah itu selama tiga tahun. Ia harus meninggalkan rumah itu untuk menghindari Belanda dan memimpin perang gerilya. Sementara istri dan anak-anaknya diungsikan ke keraton. Pada masa agresi militer kedua Belanda, gedung itu digunakan sebagai markas militer Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949, bangunan itu kembali digunakan militer Indonesia sebagai markas Komando Militer Yogyakarta. Baru pada 17 Juni 1968, bangunan itu dialih fungsikan menjadi museum.


Di museum ini terdapat koleksi benda-benda bersejarah terkait Jenderal Soedirman. Arsitektur bangunan seluas 1.255 meter persegi itu terlihat antik. Pintu-pintu besar dengan kayu jati membuat kesan megah rumah tersebut. Pengunjung bisa lebih dekat dengan sosok Soedirman dengan mengetahui langsung suasana kamar tidur, ruangan kerja, dan perabot-perabot yang melengkapi. Koleksi senjata yang pernah digunakan Soedirman juga dipajang di museum tersebut, salah satunya senjata mesin ringan yang ia gunakan dalam pertempuran Ambarawa. Di bagian belakang museum terdapat tambahan ruangan yang menggambarkan suasana ketika Soedirman dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, sepulang dari gerilya. Tak lama berselang, Soedirman wafat pada 29 Januari 1950 dalam usia 34 tahun. Ia kemudian dimakamkam di Taman Makam Pahlawan (TMP) Semaki atau kini disebut TMP Kusuma Negara, Yogyakarta.

MONUMEN JENDERAL BESAR SOEDIRMAN DI SOBO


Pada 18 Desember 1948, Belanda menyatakan tidak lagi terikat dengan perjanjian Renville dan melancarkan agresi militer kedua. Belanda kemudian menyerang Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota sementara RI. Akibat agresi tersebut, Yogyakarta pun jatuh ke tangan Belanda. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan beberapa pejabat negara ditawan dan diasingkan Belanda. Dalam situasi tersebut, seluruh kekuatan militer Indonesia yang ada di Yogyakarta diperintahkan keluar kota untuk bergerilya. Jenderal Soedirman memimpin gerilya itu meski dalam keadaan sakit. Soedirman bergerilya dari Yogyakarta menuju ke selatan lalu terus ke arah timur hingga Kediri. Setelah sekitar tujuh bulan bergerilya, Soedirman kembali memutuskan ke arah barat. Ia kemudian terhenti di Pacitan karena ada pasukan Belanda menghadang. Pasukan gerilya Soedirman lantas bermarkas di daerah Sobo, Pacitan, sejak 1 April hingga 7 Juli 1949. Itu merupakan waktu terlama pasukan gerilya Soedirman bermukim di satu tempat.

Soedirman kemudian tinggal di rumah Karsosemito yang sekaligus menjadi markas komando gerilya. Pada saat itu, Sobo adalah kampung kecil yang terletak di puncak kawasan perbukitan Pacitan. Letaknya yang berada di ketinggian serta hutan yang masih lebat membuat Belanda sulit mendeteksi kehadiran Soedirman. Keberadaan Soedirman di Sobo pun dirahasiakan dari penduduk. Waktu itu mereka hanya tahu ada pejuang gerilya yang membutuhkan tumpangan.


Tak jauh dari markas gerilya Soedirman di Sobo, terdapat Monumen Jenderal Besar Soedirman. Di kompleks monumen yang memiliki luas sekitar tiga hektare itu terdapat patung Soedirman setinggi delapan meter. Di sekeliling lapangan monumen juga terdapat relief-relief yang mengisahkan perjalanan hidup Soedirman sejak kecil hingga wafat.

PERISTIRAHATAN TERAKHIR SANG JENDERAL BESAR


Selama memimpin perang gerilya, kondisi kesehatan Soedirman terus memburuk. Setelah ada kesepakatan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda, Soedirman akhirnya kembali ke Yogyakarta pada 10 Juli 1949. Tokoh gerilya itu disambut dengan meriah. Bung Karno pun turut menyambut Soedirman dengan pelukan. Perjuangan Soedirman mempertahankan kemerdekaan pun berbuah hasil pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949. Akan tetapi, Soedirman tak banyak waktu menikmati hal itu. Berselang sebulan, ia wafat dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Negara, Yogyakarta.


Makam Soedirman di TMP Kusuma Negara bersebelahan dengan makam istrinya yakni Siti Alfiyah. Makam Soedirman pun mendapat keistimewaan dengan dibangun lebih luas dibanding makam lainnya. Terdapat sekitar 1900-an pahlawan yang dimakamkam di TMP Kusuma Negara. Di antaranya terdapat lima pahlawan nasional, seperti Jenderal Soedirman, Urip Sumoharjo, Supeno, Katamso, dan Sugiyono.

SIAPA SEBENARNYA ORANG TUA SOEDIRMAN ?



Soedirman lahir pada 24 Januari 1916 di Dusun Bodas Karangjati, Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah. Soedirman adalah anak dari Raden Tjokro Soenarjo, seorang asisten wedana di Rembang. Akan tetapi, sejumlah buku sejarah sempat menyebut kalau Soedirman hanya anak angkat dari Raden Tjokro Soenarjo. Hingga akhirnya pihak keluarga menemukan kesalahan tersebut sekitar 1975, dan meminta pemerintah untuk mengoreksi catatan tersebut. Orang tua Soedirman adalah kalangan berada. Namun, Soedirman tidak terlena dengan kenyamanan dan memilih hidup sederhana. Soedirman ketika kecil senang bermain dengan anak-anak desa. Dan ketika remaja pun ia tidak segan-segan mengambil rumput untuk mencari uang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar