RSS

PAHINGAN, Wujud Harmoni Dan Kerukunan Antar Umat Beragama Di Magelang,


Suasana Minggu pagi di alun-alun Kota Magelang menjadi ramai dengan lapak-lapak pedagang dan lalu lalang orang menuju Masjid Agung. Peristiwa itu tidak terjadi setiap pekan, tapi berulang setiap 35 hari sekali atau tepatnya setiap Minggu pahing dalam penanggalan Jawa. Pahingan, begitu orang Magelang menyebutnya, adalah tradisi yang mulai dilakukan sejak 1958. Asal mulanya, pemuka agama Islam seperti Kiai Khudori dari Pesantren Tegalrejo dan beberapa pemimpin pesantren dari daerah Muntilan, Sumbing, dan Merapi berkumpul dan menggagas pengajian rutin di Masjid Agung Magelang. Ulama-ulama karismatik tersebut lantas menyedot antusias jamaah. Masyarakat terutama dari wilayah bekas Karesidenan Kedu, seperti Temanggung, Kebumen, Purworejo, serta Magelang berbondong-bondong menghadiri pengajian tersebut.

Masjid Agung Magelang terletak di sebelah barat alun-alun bertetangga dengan Gereja Santo Ignatius dan Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) di Magelang. Ketika Pahingan digelar, umat Islam saling berpapasan dengan umat Katolik dan Protestan. Selain itu, di sekitar alun-alun juga terdapat klenteng Liong Hok Bio. Momen Pahingan ini berserta desain alun-alun mengesankan harmoni dan kerukunan antar umat beragama di Magelang. Rentetan pengajian Pahingan dimulai pada pukul 08.00 WIB dengan melakukan tadarus Al-Quran. Pukul 09.30 WIB, digelar pembacaan doa untuk orang tua dan para leluhur. Berselang satu jam, acara diakhiri dengan ceramah agama hingga menjelang shalat dzuhur. Saat ini pengajian Ahad (Minggu) Pahing dilestarikan oleh generasi penerus KH Ahmad Abdul Haq dari Pesantren Watucongol, Muntilan.

Pengajian yang semakin ramai, lantas dibarengi dengan kegiatan jual beli yang disebut dengan Pasar Tiban, Awalnya, Pasar Tiban digelar di sekitar halaman masjid. Karena keterbatasan tempat, Pasar Tiban pun menyebar hingga ke trotoar alun-alun. Pasar dadakan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam tradisi Pahingan. Para pedagang Pasar Tiban sama seperti jamaah Pahingan berasal dari Magelang dan sekitarnya. Mereka umumnya berjualan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan jamaah mengikuti pengajian, Pada masa awal Pahingan, kebannyakan pedagang menjajakan kuliner tradisional. Namun, seiring berjalan waktu ada pula yang berjualan baju, buku, hingga mainan anak,

Pasar Tiban dan Pahingan menunjukkan jalinan sisi religius dan ekonomi masyarakat pedesaan. Pedagang Pasar Tiban tak sekedar mengejar keuntungan dalam berjualan. Kebanyakan pedagang, memiliki alasan spiritual untuk selalu menghadiri Pahingan, Istilahnya ngalap berkah, Bahkan, tak jarang ada pedagang yang mengobral atau justru membagikan gratis barang dagangannya di penghujung Pahingan. Ini semua karena motivasi mereka untuk meramaikan tradisi Pahingan.

Masyarakat kota yang mengunjungi Pahingan akan dibawa bernostalgia dengan hal-hal jadul di Pasar Tiban. Misalnya, pegunjung akan menemukan jajanan tradisional seperti kacang rebus, singkong, gethuk, dam kue jajan pasar lainnya. Komoditi daerah masing-masing pun sering kali dibawa oleh para pedagang. Misalnya, pedagang dari Temanggung menjajakan tembakau. Pedagang Pasar Tiban kebanyakan sudah berusia lanjut. Mereka sudah rutin mengikuti tradisi ini selama berpuluh-puluh tahun. Sembari lesehan di trotoar, para pedagang menjajakan barang dagangannya dengan mengenakan baju kebaya. Kesannya sangat antik terutama untuk orang kota zaman sekarang,

Pahingan sudah menjadi agenda yang turut melambungkan nama Magelang. Orang-orang sudah banyak yang tahu, bila ada keramaian di waktu Minggu pagi Pahing, itu hanya ada di Magelang. Meski begitu, terkait dengan isu ketertiban umum, Pemeritah Kota Magelang belakangan ini mengeluarkan larangan menggelar Pasar Tiban. Namun, para pegiat kebudayaan Magelang tetap berharap Pemkot justru bisa membimbing dan menata tradisi itu menjadi lebih baik, dengan mengatur kebersihannya. Tradisi Pahingan mulai dari kegiatan pengajian hingga jual beli di Pasar Tiban bisa digolongkan menjadi warisan budaya tak bendawi. Oleh karena itu, diharapkan tradisi ini bisa dilestarikan, dan bisa menjadi agenda wisata, juga menjadi sumber pemasukan bagi daerah melalui penarikan retribusi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar