Tak banyak yang tahu jika Jatinegara, Jakarta Timur, yang sering dilewati masyarakat, termasuk kawasan yang memegang peranan penting di Indonesia, sejak era Kolonial Belanda. Berbagai kisah panjang membuat Jatinegara tak bisa dipandang hanya sebagai tempat para penumpang menunggu kereta api luar daerah atau tempat penjualan batu mulia. Jatinegara diartikan sebagai negara yang sejati. Kawasan ini makin berkembang setelah kedatangan pemuka agama Kristen dari Banda, Maluku, Cornelis Van Senen. Van Senen merupakan orang berketurunan Belanda. Dia mendapatkan gelar meester yang berarti guru karena mengajarkan agama Kristen.
Van Senen kemudian membuka lahan hutan menjadi sekolah, pemukiman, dan menjadi tuan tanah. Sebab, percakapan dari mulut ke mulut juga menyatakan, bahwa zaman dahulu, Jatinegara merupakan kawasan hutan jati. Wilayah tersebut akhirnya bernama Meester Cornelis dan berkembang pada 1930 karena Pemerintah Hindia Belanda memberikan status kota dan memasukkan kawasan tersebut ke dalam struktur wilayah Batavia. Meester Cornelis pada zamannya meliputi Jatinegara, Kemayoran, Matraman, sampai ke Jalan Raya Bekasi.
Meester Cornelis juga sebetulnya memiliki catatan yang sangat penting dalam sejarah kopi di dunia. Kopi pertama kali ditemukan pada abad ke-15 di Etiopia. Banyak keledai menjadi kuat setelah memakan biji kopi. Akhirnya tuan-tuan pemilik keledai tersebut ikut mencobanya. Kopi dikembangkan sekaligus dibudidayakan dan mulai masuk ke daerah Timur Tengah, India, dan Sri Lanka. Wilayah Sri Lanka saat itu merupakan bagian dari kekuasaan Pemerintah Belanda dan gubernur jenderal menginginkan kopi menjadi komoditas di Tanah Jawa.
Kopi yang pertama kali ditanam di Meester Cornelis masuk melalui pengiriman ekspedisi dan menyebar hingga wilayah Pondok Kopi. Setiap kali ada pelelangan di Inggris, kopi di Tanah Jawa termasuk yang paling mahal karena kualitasnya paling bagus, sampai akhirnya memicu hati Napoleon untuk mengambil kopi itu lalu ditanam di Luxembourg Green House di Paris. Ketika kopi ditanam di ibukota Prancis tersebut, ada salah satu orang yang mencuri kopi tersebut lalu diselundupkan ke Saint Martin, Karibia. Selanjutnya, kopi tersebut menyebar di Amerika Latin. Selain itu, Jatinegara pun disebut-sebut sebagai tempat pelarian Pangeran Jayakarta. Ia melarikan diri ketika Jan Pieterszoon Coen datang ke Jayakarta pada 1619. Coen kemudian mengubah Jayakarta menjadi Batavia. Pangeran Jayakarta dimakamkan di kawasan Jatinegara Kaum.
Pasar Batu Mulia Rawa Bening bermula dari pasar biasa yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dahulu, pedagang yang berjualan batu mulia hanya sekitar 20 orang. Lokasi berjualan berada di lantai paling atas. Kemudian, karena semakin ramainya pengunjung yang datang, dan penjual batu mulia di sana pun semakin banyak, dan menyebar di beberapa tempat, kondisi pasar pun jadi kumuh. Akhirnya, pemerintah berinisiatif untuk merenovasi besar-besaran pasar tersebut, dan semua pedagangnya dipindahkan sementara ke Pusat Grosir Jatinegara, yang saat ini sudah tutup. Pedagang baru dipindahkan kembali ke Pasar Rawa Bening di tahun 2010 dengan penataan yang lebih baik. Pada tahun itu pula, Pemprov DKI akhirnya memutuskan Pasar Rawa Bening dikhususkan untuk berjualan batu mulia. Pasar ini disebut-sebut sebagai pasar batu mulia terbesar di Asia Tenggara. Sebab, batu mulia Indonesia memiliki banyak variasi yang berjumlah hampir 30 ribu jenis. Batu mulia dapat menjadi cenderamata yang bagus dan bernuansa sangat Indonesia.
Di depan Pasar Batu Mulia Rawa Bening, terdapat salah satu stasiun penting di Jakarta. Stasiun Jatinegara, masih tampak kokoh berdiri sejak 1911 dengan arsitektur gaya Eropa. Stasiun ini berwarna putih dengan jam dinding besar berbentuk bulat di atas pintu masuk. Tak ketinggalan, tulisan "Setasiun Jatinegara" juga ada di bagian depan sebagai identitas stasiun. Pada awalnya, kereta yang digunakan ditarik dengan tenaga hewan kuda. Namun, cara itu berlangsung hanya selama 10 tahun. Sebab, lebih 567 kuda mati kelelahan, sehingga tenaganya tidak dipakai lagi untuk menarik kereta. Pada sekitar awal 1900, Pemerintah Hindia Belanda menggunakan trem, seperti di Eropa untuk menghubungkan Jatinegara dengan daerah Kota Intan.
Stasiun Jatinegara merupakan salah satu stasiun terbesar di Batavia pada masanya. Maka, tak heran bila nama Stasiun Jatinegara selalu disebut-sebut di lagu-lagu lawas, seperti "Sepasang Mata Bola". Karena dulu, semua orang yang akan menuju kota Batavia selalu turun di Stasiun Jatinegara, bukan di Stasiun Gambir. Stasiun Gambir dulunya masih stasiun biasa seperti Stasiun Cikini atau Gondangdia. Jalan raya di depan Stasiun Jatinegara pun menyimpan cerita. Jalan ini merupakan bagian dari Jalan Raya Pos. Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels membutuhkan jalan raya besar untuk menghubungkan Pulau Jawa bagian barat dan bagian timur yang sering disebut Jalan Raya Anyer-Panarukan. Jalan raya ini sudah diakui menjadi situs warisan sejarah sejak 1992.
Di kawasan Jatinegara, berdiri dua wihara, satu masjid, kompleks gereja, dan sekolah Kristen Katolik. Wihara Dharma Kumala Bio Shia Djin Kong, terletak di Jalan Bekasi Timur IX Nomor 22, Jatinegara, didirikan oleh seorang laki-laki sejak 1946. Saat ini, anak cucu dari pemilik wihara tersebut telah beragama Islam. Namun, mereka masih terus mempertahankan Wihara Dharma Kumala. Keluarga pemilik itu kerap kali datang ke wihara untuk menjelaskan bagaimana caranya berdoa. Karena di dalam wihara tersebut terdapat patung dewa-dewa yang diberi nomor. Nomor satu adalah dewa yang paling tinggi dan tidak ada perwujudannya. Seperti kebanyakan wihara lainnya, Wihara Dharma Kumala ini kental dengan arsitektur Cina dan berwarna merah. Di dalamnya tercium wangi dupa yang dibakar.
Wihara lainnya adalah Wihara Amurvabhumi, Di bagian depan dalam wihara ini terdapat banyak gelas berisi lilin-lilin dan kertas berwarna merah. Kertas-kertas tersebut kebanyakan bertuliskan aksara Cina dan digunakan sebagai sarana untuk mengirim doa. Di tembok bagian wihara ini juga terdapat kaca-kaca berbentuk bulat yang dihiasi kertas berwarna merah dan kuning. Hal tersebut, berfungsi untuk memantulkan doa-doa.
Sementara itu, di Jalan Masjid I, Rawa Bunga, Jatinegara, terdapat Masjid Jami' al-Anwar. Masjid ini terkesan seperti masjid pada umumnya. Masjid ini sudah dibangun sejak 1876. Saat ini, memang masjid ini sudah banyak mengalami renovasi. Namun, interior masjid dan pilar di dalam masjid masih asli. Yang paling istimewa, pada zaman dahulu, salah satu ulama yang berada di masjid ini adalah ulama yang menyebarkan Islam di wilayah Thailand Selatan.
Bergeser ke arah Jalan Raya Jatinegara Barat 122, terdapat komplek Sekolah Katolik Santa Maria Fatima. Komplek ini dibuka oleh pendeta saat masa Pemerintahan Hindia-Belanda dan diurus oleh biarawati Belanda. Awalnya mereka membuka kantor di daerah Molenvliet atau daerah dekat Glodok dan memulai pelayanan. Para biarawati ini juga membuka panti asuhan. Nama Fatima diambil dari sebuah nama kota di Portugal. Di kota tersebut tiga anak kecil laki-laki bertemu dengan Bunda Maria.
Terus berjalan lagi, langkah kita akan sampai di Gereja Koinonia, Jatinegara. Gereja ini merupakan gereja Kristen Protestan dan bagian dari Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). Gereja Koinonia dibangun oleh seorang kepala perusahaan impor di tanahnya yang terletak di timur Batavia. Koinonia diambil dari Bahasa Hebrew yang berarti Komunitas. Interior gereja ini dipengaruhi oleh sentuhan Belanda dan lokal.
Tepat di depan gereja Koinonia, berdiri Patung Perjoangan Jatinegara. Mantan gubernur Ali Sadikin memiliki ide membuat patung ini untuk mengenang semangat dan perjuangan anak muda yang bertempur di daerah Jatinegara. Patung Perjoangan Jatinegara terbuat dari bahan logam dan memakan waktu pembuatan selama 2,5 tahun. Patung ini diresmikan oleh mantan gubernur Tjokropranolo pada 7 Juni 1982.
0 komentar:
Posting Komentar