Selain batik Trusmi, Cirebon ternyata memiliki batik lain yang tak kalah memikat, yakni batik Ciwaringin. Pamornya yang mulai naik membuatnya jadi pilihan mata pencaharian penduduk setempat. Inilah yang bisa dilihat di Blok Kebon Gedang. Di sana nampak dengan mudah ditemui para wanita yang sedang duduk menorehkan canting berisi malam ke selembar kain membentuk beberapa motif batik. Mereka bahkan sudah hafal teknik membuat lekuk dan garis tanpa membuat pola terlebih dulu.
Membatik
memang sudah menjadi warisan turun temurun kaum ibu yang ada di blok ini.
Bahkan kini generasi mudanya pun turut membatik. Maka tak heran bila blok ini
akhirnya semakin dikenal sebagai sentra batik. Untuk semakin mengukuhkannya, di
pintu masuk blok dibuat gapura bertuliskan Kampung Batik Tulis Ciwaringin.
Penduduk di blok ini sekitar 500 kepala keluarga. Sebagian besar hidup sebagai
petani sekaligus pengrajin batik. Saat musim tanam dan panen tiba, mereka menghabiskan
waktunya di sawah, sementara membatik dilakukan pada waktu luang. Keadaan
berubah manakala pesanan batik banyak yang datang. Para ibu, yang juga petani,
akan berjibaku menyelesaikannya.
Berlokasi
sekitar 30 km dari kota Cirebon, Kampung Batik Ciwaringin mudah disambangi.
Dari arah Cirebon sekitar 45 menit. Dibandingkan batik Trusmi, batik Ciwaringin
memiliki keistimewaan. Kebanyakan batik Ciwaringin merupakan batik tulis,
motifnya pun tidak umum serta memiliki warna batik yang lembut karena dihasilkan
dari pewarna alami. Sekilas orang awam menilai batik Ciwaringin pudar atau
usang. Tetapi sebetulnya itulah kekhasan batik Ciwaringin. Pewarnaan batik
Ciwaringin dihasilkan dari beragam tanaman yang diolah terlebih dahulu. Di
antaranya batik mangga, indigo, kulit rambutan, serta kulit jengkol. Prosesnya,
batang pohon mangga atau kulit rambutan direbus hingga lebih dari 7 jam sampai
warna kulit tersebut muncul, kemudian disaring lalu dimasukkan ke wadah. Usai
itu, barulah pencelupan batik dilakukan secara berulang.
Masing-masing
tanaman tersebut menghasilkan warna berbeda. Kulit jengkol misalnya, akan
menghasilkan warna cokelat. Batang mahoni juga bisa menghasilkan warna coklat,
sementara mangga menghasilkan warna hijau. Meski batik Ciwaringin sudah dikenal,
namun pembeli masih sangat terbatas. Mereka kebanyakan berasal dari luar negeri
atau konsumen lokal kelas atas. Hal ini karena harga batik Ciwaringin relatif
mahal, bahkan bisa mencapai jutaan rupiah per lembarnya. Akan tetapi,
dibandingkan dengan proses pembuatannya yang lama, harga yang ditawarkan
rasanya pantas.
Proses yang
lama karena kain batik harus dicelup dengan pewarna alami secara berulang untuk
menghasilkan warna yang pas. Bahkan, untuk menyelesaikan satu lembar kain batik
tulis membutuhkan waktu seminggu. Itupun jika warna yang digunakan tidak banyak
dengan motif yang sederhana. Jadi, batik Ciwaringin istimewa bukan hanya karena
prosesnya butuh waktu lama, tetapi juga motifnya yang unik. Motif batik
Ciwaringin mengandung makna yang menjadi pedoman masyarakat blok Kebon Gedang.
Motif yang banyak dibuat pengrajin antara lain motif pringsedapur, tebu
sekaret, sapi jagat, dan lain-lain.
Motif batik
sapu jagat mengandung makna kebersamaan, motif pecutan bergambar daun panjang
berarti pemberi semangat. Motif batik tersebut diharapkan dapat menjadi
pegangan bagi penduduk desa dan masyarakat secara umum. Untuk mengenalkan motif
batik Ciwaringin kepada generasi muda, kini para pengrajin membuka kelas
membatik. Terutama untuk remaja yang secara rutin dilatih membatik dengan
pewarna alami, karena mereka merupakan generasi pengrajin batik masa mendatang.
Konon, batik
Ciwaringin sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Para pengrajinnya juga
sudah menggunakan pewarna alami dengan memanfaatkan batang pohon yang ada di
sekitar tempat tinggal. Batang pohon itu dikeringkan lalu diramu sehingga
menghasilkan warna-warna tertentu. Namun sejak pewarna kimia diperkenalkan
kepada pengrajin, kebiasaan membatik dengan pewarna alami ditinggalkan. Dengan
alasan penggunaan pewarna kimia lebih praktis, cepat, sedangkan pewarna alami
membutuhkan waktu yang lama untuk memprosesnya. Tetapi sejak 2009, saat UNESCO
menetapkan batik sebagai mahakarya warisan budaya milik Indonesia, terjadilah
perubahan dalam pengerjaan batik. Pengakuan internasional ini membuat batik
semakin dikenal masyarakat dunia. Hal ini membawa dampak besar bagi pelaku
usaha batik. Kebutuhan pasar dunia akan batik pun meningkat. Namun mereka
menginginkan batik yang menarik dengan proses alami di antaranya dengan
penggunaan pewarna yang bersumber dari alam. Mereka beranggapan bahwa batik
dengan pewarna kimiawi bukan saja membahayakan tubuh tetapi juga lingkungan.
Untuk itulah,
di tahun 2009 sekitar 40 orang pengrajin diikut sertakan dalam pelatihan yang
didukung oleh Kamar Dagang Indonesia dan Jerman. Salah satunya mereka diajarkan
memanfaatkan kulit jengkol menjadi pewarna. Karena memang banyak bahan alami
yang jika diolah dengan baik bisa menghasilkan warna menarik. dIlihat dari sisi
ekonomis, pewarna batik alami juga lebih murah, tinggal memanfaatkan tanaman
yang ada di sekitar rumah penduduk. Penggunaannya pun bisa berulang. Artinya
jika pewarna kimia hanya satu kali pakai, pewarna alami dapat dipakai
berkali-kali tanpa merusak warna yang dihasilkan sebelumnya.
Dari pelatihan
dan penyuluhan tersebut pengrajin disadarkan pula tentang bahaya limbah batik
bahan kimia bagi tubuh. Dulu, para pengrajin batik sering tidak menggunakan
sarung tangan ketika melakukan proses pewarnaan, sementara warna yang mereka
gunakan dari kimia. Jika itu terus menerus dilakukan kemungkinan terburuk akan
terkena kanker kulit. Belum lagi limbah pewarna kimia mengakibatkan kerusakan
ekosistem. Limbah batik yang dibuang secara sembarangan akan menyerap ke sumur-sumur
penduduk dan mengancam kehidupan mereka nantinya.
Sudah
sepatutnya batik Ciwaringin kembali ke asalnya. Pelestarian batik Ciwaringin
bukan hanya pada motifnya tetapi juga pada proses pewarnaannya. Maka batik
Ciwaringin diharapkan bisa kembali berjaya seperti masa silam. Untuk itu
dibutuhkan kerja sama semua pihak, baik pengrajin, pemerintah daerah, dan
masyarakat agar batik tulis Ciwaringin semakin populer. Tidak hanya itu,
diharapkan batik Ciwaringin bisa menjadi roda penggerak kehidupan masyarakat blok
Kebon Gedang. Jadi, kaum ibu yang ada di sana tidak perlu lagi menjadi TKI ke
luar negeri. Karena menjadi pengrajin batik tulis Ciwaringin pun sudah dapat
dijadikan mata pencaharian yang layak. Tren menjadi TKI di luar negeri kini
bukan lagi menjadi pilihan mencari uang bagi sebagian penduduk. Sejak
mengetahui batik tulis Ciwaringin punya nilai jual, mereka akhirnya memilih
tinggal di kampung melanjutkan tradisi leluhur.
1 komentar:
mantab... semoga bisnis batik nya semakin lancar...
Kampung Batik Giriloyo
Posting Komentar