Diam-diam,
Sumatera Selatan menyimpan banyak potensi wisata yang sayang untuk dilewatkan.
Mulai dari wisata air, religi, sampai alamnya yang mempesona. Berikut kami
tampilkan beberapa di antaranya :
JEMBATAN
AMPERA
Belum ke
Palembang kalau belum ke Jembatan Ampera. Sebab, inilah ikon kota yang menjadi
kebanggaan masyarakat Palembang. Jembatan Ampera dibangun di atas sungai Musi
dan menghubungkan Ulu dan Ilir. Dengan tinggi 63 meter, jembatan ini memiliki
panjang total 224 meter dan lebar 22 meter. Jembatan ini mulai dibangun pada
tahun 1962 ketika Soekarno masih menjadi presiden dan menelan biaya sekitar 4,5
juta dolar. Tiga tahun kemudian, jembatan ini diresmikan dan Soekarno dijadikan
sebagai nama jembatan. Namun, nama jembatan ini berubah menjadi Jembatan Ampera
ketika gerakan anti Soekarno menguat di kalangan rakyat pada 1966. Mulanya,
bagian tengah jembatan ini bisa diangkat ke atas agar kapal besar bisa melewati
bagian bawah jembatan, termasuk kapal dengan tinggi maksimun 44,5 meter.
Sementara, dalam keadaan tidak terangkat, bagian bawah jembatan itu hanya bisa
dilewati kapal setinggi 9 meter. Karena alasan mengganggu lalu lintas di
atasnya itulah, akhirnya pengangkatan bagian tengah jembatan tak dilakukan lagi
sejak 1970 dan kedua bandul pemberat diturunkan.
Kini, Jembatan Ampera menjadi salah satu tujuan wisata para turis maupun warga lokal Palembang. Pada malam hari, banyak warga yang menghabiskan waktu di bagian bawah jembatan untuk berjalan-jalan, tepatnya di seberang Benteng Kuto Besak. Selain bisa memotret keindahan jembatan yang menaranya diterpa lampu sorot berwarna ungu dari kejauhan, pada malam hari mereka bisa juga menikmati kuliner di bawah jembatan. Termasuk di antaranya, sensasi makan atau minum kopi di warung apung yang ada di sana. Sambil menikmati goyangan ombak sungai Musi dan memandang Jembatan Ampera, anda juga bisa menikmati pempek, tekwan, dan kuliner khas Palembang lainnya di atas perahu yang ditambatkan di pinggir sungai. Dua warung apung sudah beberapa tahun berjualan di sana. Bahkan, warung apung Tjek Merry mendapat bantuan perahu dari pemerintah yang digunakan untuk berjualan hingga sekarang, untuk meningkatkan pariwisata di sana.
Pagi harinya, bagian bawah jembatan diramaikan hilir mudik perahu yang mengangkut orang-orang dan hasil belanjaan mereka di pasar 16 Ilir maupun pasar yang ada di seberangnya. Pada hari libur, suasana di bawah jembatan lebih ramai. Tak sedikit kapal yang mengangkut hasil bumi dari pasar untuk dibawa ke daerah yang lebih kecil atau terpencil. Para pedagang besar dari sana akan berbelanja hasil bumi untuk dijual lagi di daerahnya, terkadang seminggu sekali. Tak heran, perahu sewaannya penuh akan sayuran seperti cabe, kol, timun, labu siam, bahkan tahu. Meski jalan darat bisa ditempuh, tak sedikit yang masih menggunakan transportasi air di sungai Musi ini. Mengamati kegiatan pagi di bawah jembatan yang ada di tengah kota ini bisa membuat lupa waktu. Jangan lupa siapkan kamera anda untuk mengabadikan momen unik ini.
RUMAH LIMAS
Cobalah tengok uang kertas Rp 10.000 yang anda miliki. Salah satu sisinya memperlihatkan gambar rumah limas, rumah tradisional Sumatera Selatan. Rumah limas pada lembaran uang kertas tersebut merupakan rumah limas yang terletak di Museum Balaputra Dewa di Jalan Srijaya I no 288 Km 5,5, Palembang. Rumah yang telah berusia 185 tahun ini pada mulanya dimiliki seorang bangsawan Palembang bernama Pangeran Syarif Adurrahman Al-Habsi. Setelah itu, diketahui rumah limas ini dibeli oleh Pangeran Batun dan dipindah ke Sirah Pulau Padang. Dari tangan Batun, rumah ini lalu dibeli Pangeran Punto dari Pemulutan dan dipindahkan ke Pemulutan, tapi Punto lalu memindahkannya ke Talang Pangeran. Setelah itu, rumah limas ini dikuasai pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1932, rumah ini dipindahkan ke Palembang dan diletakkan di belakang Gedung Menara Air yang sekarang menjadi kantor walikota Palembang.
Itu sebabnya, jalan di sana diberi nama Jalan Rumah Bari. Bari dalam bahasa Indonesia berarti lama. Pada 22 April 1933, rumah limas ini dijadikan Museum Rumah Bari. Lalu 52 tahun kemudian, tepatnya 1985, rumah ini dipindahkan ke halaman belakang Museum Balaputra Dewa dan hingga kini menjadi koleksi terbesar museum ini. Seperti yang terlihat pada uang Rp 10.000, rumah limas di museum ini merupakan bagian depan dari dua rumah limas yang berbeda. Masing-masing memiliki area yang terbilang luas untuk sebuah ruang depan rumah. Rumah limas sebelah kanan berusia lebih lama dan belum mengenal kamar. Bagian depan rumah lama biasanya menjadi area menenun anak-anak gadis dalam keluarga tersebut. Bila si anak gadis akan dijodohkan dengan seorang pemuda, perempuan tua yang bertugas menjadi mak comblang akan datang ke rumah itu dan menilai kepribadian sang gadis dari songket hasil tenunannya.
Bila hasil tenunannya halus, rapih, dan indah, biasanya gadis itu berkepribadian bagus dan sabar. Hasil penilaian itu akan dilaporkan mak comblang kepada keluarga pemuda. Bagian depan rumah lama juga ada yang berupa semacam pagar yang berfungsi seperti kaca gelap, sehingga anak gadis yang di dalam rumah bisa melihat pemuda di luar rumah yang akan dijodohkan dengannya dengan leluasa. Sementara, rumah sebelah kiri berusia lebih muda dan sudah mengenal kamar. Di bagian depan rumah itu terdapat enam kamar, di antaranya kamar pengantin, di mana di atas tempat tidurnya akan dipajang banyak bantal. Semakin banyak bantal yang dipajang menunjukkan semakin tingginya status sosial ekonomi sang pengantin, karena setiap ujung kiri dan kanannya bantal dihiasi lempengan emas.
Rumah sebelah kiri dan kanan dihubungkan oleh jembatan kecil dari kayu. Disebut rumah limas karena bagian atas rumah berbentuk limas. Dindingnya terbuat dari kayu tembesu serumpun, sedangkan tiangnya dari kayu unglen atau kayu besi yang tahan lapuk. Dulu, yang memiliki rumah limas biasanya bangsawan. Di bagian atas rumah biasanya terdapat tanduk rusa, untuk memasak kopiah haji dan surban.
AL QURAN RAKSASA
Al-Quran yang dipasang di halaman rumah Sofatillah ini memang bukan Al Quran biasa. Huruf-huruf hijayyah yang tertera di atasnya bukanlah ditulis atau dicetak, melainkan diukir. Lempengan kayu yang disambung-sambung menjadi sebuah halaman yang indah diukur satu per satu. Setiap lembarnya berukuran super besar, yaitu 177 x 140 x 2,5 cm dengan berat sekitar 45-55 kg dan menghabiskan waktu pengerjaan 3-4 minggu. Total, kayu yang digunakan mencapai 40 m3. Untuk mengerjakan Al Quran raksasa ini, dibutuhkan 35 orang, termasuk Sofatillah yang menjadi penulisnya dan 5-7 orang yang bertugas mengukir. Pria yang akrab disapa dengan sebutan Ustaz Ofat ini pula yang memiliki gagasan untuk membuat Al Quran raksasa tersebut. Dibutuhkan waktu tujuh tahun untuk merampungkannya. Setelah ditulis di atas kertas karton, ayat-ayat suci ini lalu dijiplak di atas kertas minyak. Setelah dikoreksi, barulah ditempelkan di kayu yang akan diukir.
Pada 30 Januari 2012, Al Quran raksasa ini diresmikan Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjadi Presiden. Tak hanya itu, Al Quran ini juga mendapatkan penghargaan rekor MURI dan pengakuan dari kepala parlemen seluruh negara Islam sedunia yang kala itu diadakan di Palembang yang menyatakan Al Quran ini sebagai yang terbesar di dunia dalam kategori ukiran di atas kayu. Seluruh juz yang berjumlah 30 menghabiskan 315 lembar kayu tembesu. Ukiran bunga dengan warna khas Palembang menghiasi setiap halaman. Separuhnya yaitu 15 juz dipajang di dinding dan dalam ruangan lima lantai yang terletak di belakang panggung. Seluruh lembaran kayu itu dipasang sedemikian rupa sehingga bisa dibuka tutup seperti jendela. Sedangkan 15 juz sisanya masih disimpan dan rencananya akan dipasang di dinding di seberangnya.
PULAU KEMARO
Inilah salah satu tempat wisata yang wajib dikunjungi ketika anda datang ke Sumatera Selatan. Di pulau ini, berdiri pagoda sembilan lantai yang terlihat menjulang dari kejauhan menjelang anda sampai di dermaga pulau. Ada pula klenteng Hok Ceng Bio. Klenteng yang dikelola Yayasan Toa Pekong ini berdiri sejak 22 Agustus 1962 dan renovasi terakhir dilakukan pada 1 Juni 2010 lalu. Di dalamnya terdapat makam Siti Fatimah, putri Palembang dan suaminya, Tan Bun An. Legenda Pulau Kemaro berasal dari cerita Siti Fatimah yang dipersunting saudagar keturunan Tionghoa itu pada zaman kerajaan, Tan Bun An. Legenda Siti Fatimah dan Tan Bun An menjadi cerita cinta abadi. Berkunjung ke tempat ini anda tidak hanya akan mendapatkan cerita tentang legenda ini, karena tempat ini juga menjadi ajang mencari jodoh. Di sana, ada sebuah pohon yang dinamakan Pohon Cinta.
Konon, bila seseorang menuliskan namanya dan kekasihnya di pohon itu, mereka akan berjodoh dan hubungannya akan kekal. Tak hanya itu, saat perayaan Cap Go Meh, Pulau Kemaro juga menjadi tujuan para muda-mudi khususnya keturunan Tionghoa untuk mencari jodoh. Tak heran, puluhan ribu keturunan Tionghoa dari berbagai kota bahkan negara tetangga ikut memeriahkan Cap Go Meh setiap tahunnya di sana. Konon, pulau ini tetap kering meski sungai Musi tengah meluap. Untuk menuju ke Pulau Kemaro, anda bisa menyewa perahu motor dari seberang Benteng Kuto Besak dengan biaya sekitar Rp 200.000 pulang pergi. Perjalanan menuju Pulau Kemaro memakan waktu sekitar satu jam. Bila ingin mendapatkan biaya yang lebih murah, anda bisa menyewa perahu motor dari daerah 1 Ilir.
Sebaiknya, datanglah ke pulau ini menjelang sore, agar bisa menikmati indahnya pemandangan matahari terbenam. Awan putih bergulung-gulung diselingi semburat merah di ujung horison bisa menjadi bonus pemandangan yang tak terlupakan, yang akan terlihat menakjubkan ketika diabadikan dalam gambar.
GUNUNG DEMPO
Pemandangan orang-orang bercaping bambu tengah memetik pucuk daun teh di hamparan kebun teh bisa anda temukan di Gunung Dempo, daerah tertinggi di Sumatera Selatan. Gunung yang terletak di kota Pagaralam, Sumatera Selatan ini bisa ditempuh dalam 7-8 jam perjalanan dari Palembang dengan jalur darat. Dari kota, Gunung Dempo bisa ditempuh dalam waktu sekitar 15-20 menit. Di gunung setinggi 3.159 meter ini anda bisa melepas lelah dan berekreasi bersama keluarga. Jangan khawatir, banyak hotel dan vila berdinding kayu atau bambu, bahkan yang terletak di tengah hamparan kebun teh, yang bisa anda sewa dengan harga terjangkau. Sekedar berjalan-jalan sambil melihat para buruh seolah berbaris memetik daun teh akan memberikan pengalaman tak terlupakan di gunung yang dijadikan arena kejuaraan paralayang PON XVI ini. Atau, anda bisa mendaki kedua puncak dari gunung yang masih aktif ini.
Dari puncak utama yang memiliki kawah terjal, anda bisa memandangi provinsi Bengkulu dan Lautan Hindia. Gunung ini memang terletak di perbatasan Sumatera Selatan dan provinsi Bengkulu. Sementara, di puncak yang lebih rendah anda bisa berkemah untuk beristirahat. Pada malam hari, kelap-kelip lampu di kota Pagaralam jadi suguhan pemandangan tersendiri dari puncak gunung. Indahnya pemandangan di Gunung Dempo menjadikan satu-satunya wisata gunung di Sumatera Selatan ini salah satu tempat favorit untuk menyambut Tahun Baru.
Puas menikmati suasana pegunungan yang sejuk, anda bisa melihat peninggalan purbakala di beberapa desa di kaki gunung. Menjelang meninggalkan Pagaralam, jangan lupa berbelanja oleh-oleh khas kota yang berjarak sekitar 300 km dari Palembang ini, yaitu kopi robusta, teh, kudu yang merupakan senjata tradisional, benalu teh, serta avokad. Dan jangan lupa, durian matang pohon asli Pagaralam yang lemak nian alias sangat enak juga sayang untuk dilewatkan.
WISATA AIR
Bila anda menyukai wisata air, air terjun yang banyak terdapat di Sumatera Selatan bisa jadi pilihan berekreasi. Salah satu yang terkenal adalah air terjun Temam yang terletak di Kelurahan Rahma, Lubuklinggau. Konon, banyak yang menyebut air terjun ini sebagai versi mini air terjun Niagara di Amerika Serikat. Memiliki tinggi 12 meter dan lebar 25 meter, air terjun yang berasal dari sungai Temam ini sangat cantik karena air yang turun dari ketinggian itu berbentuk mirip tirai air. Tak hanya itu, di bagian bawah air terjun terdapat batu yang berbentuk celah dan melengkung, sehingga pengunjung bisa duduk-duduk di atasnya sambil menikmati pemandangan air terjun di depan mereka. Untuk menuju ke air terjun yang bersih dan jernih ini, anda harus menuruni anak tangga terlebih dulu. Jangan khawatir, anak tangganya bersih dan tetata rapih. Air terjun ini bisa dicapai setelah menempuh perjalanan 11 km atau 30 menit berkendara dari pusat kota Lubuk Linggau.
Lubuklinggau sendiri bisa dicapai dalam waktu sekitar 7 jam perjalanan dari Palembang. Selain Temam, air terjun lain yang bisa ditemukan di Sumatera Selatan antara lain air terjun Bidadari di Lahat, air terjun Bedegung di Muara Enim, air terjun Kerinjing di Lahat, air terjun Lematang di Pagaralam, dan sebagainya. Selain itu, ada pula Danau Ranau di Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS) yang konon terbesar kedua di Sumatera setelah Danau Toba, dan Danau Rakihan yang juga terdapat di OKUS.
0 komentar:
Posting Komentar