Bagai gadis yang beranjak remaja, Atambua, Nusa Tenggara Timur, mulai bersolek. Terlepas dari berbagai pembangunan fisik yang mulai menggeliat, Atambua menyimpan kekayaan wisata yang sayang untuk dilewatkan. Bukan hanya cuacanya yang hangat, sambutan masyarakat Atambua kepada pengunjung dan wisatawan pun juga tak kalah hangat. Senyum disertai sapaan, "Selamat pagi, siang, sore atau malam" mencerminkan keramahtamahan warga ibukota Kabupaten Belu, NTT ini, sekaligus menunjukkan hal kecil yang mungkin sudah mulai redup di kota-kota besar di Indonesia.
Nama kota ini dulu ramai diberitakan kala menjadi salah satu daerah penampungan warga asal Timor Timur yang kemudian menjadi Timor Leste di tahun 1999, saat Timor Leste memutuskan lepas dari wilayah Negara Kesatuan RI melalui jalan referendum. Buah sirih, pinang dan bubuk kapur selalu tersedia di rumah maupun dalam tas kebanyakan masyarakatnya. Sirih kerap ditawarkan sebagai tanda persahabatan. Atambua merupakan kota terbesar kedua di Pulau Timor. Tak heran jika kota cantik ini menjadi kota multi etnis. Belu yang dalam bahasa Tetun, bahasa yang sering digunakan warga setempat, berarti "sahabat" atau "teman" ini, seperti menjadi fondasi dari kebhinekaan dan persaudaraan antar warga. Beragam suku, agama, ras, dan golongan tinggal bersama dengan semangat persaudaraan yang tinggi.
Kota Atambua dilayani 2 pelabuhan laut, yaitu Pelabuhan Atapupu dan Pelabuhan Teluk Gurita (Tegur). Di antara pantai berpasir halus, dua pelabuhan ini ramai disambangi warga setiap akhir pekan. Beragam kegiatan dilakukan di lokasi ini. Walau masih minim fasilitas umum seperti toilet, pantai ini terbentang panjang mengundang siapa pun untuk mampir dan menghabiskan waktu. Entah sekedar duduk menikmati keindahan alam menanti matahari terbenam, bercengkrama dengan kekasih atau keluarga, juga melakukan aktifitas memancing dari dermaga di pelabuhan. Pelabuhan Atapupu merupakan pelabuhan kargo, sementara Pelabuhan Tegur adalah pelabuhan kapal penumpang atau ferry yang melayani transportasi dari dan ke sejumlah tempat seperti Kupang dan Alor. Selain itu, di tempat ini juga dapat ditemui sebuah lokasi wisata Kolam Susu yang menjadi inspirasi lagu dari band legendaris Indonesia, Koes Plus. Atambua tak hanya memiliki lokasi wisata alam bahari. Bukit dan pegunungan yang membentang di wilayah ini juga menyimpan pemandangan yang tak kalah indahnya.
Masyarakat asli yang masih memegang teguh budaya juga menjadi kekayaan budaya Atambua yang sayang dilewatkan. Bila beruntung, pengunjung dapat menyaksikan perhelatan upacara tradisional. Misalnya upacara Gali Tulang. Dipimpin Kepala Dusun, warga menggali makam salah satu warga untuk dipindahkan ke makam baru. Sebelum dimasukkan ke liang lahat, kerangka dibersihkan dan dimasukkan ke dalam peti baru beserta kain tenun, makanan, serta minuman sebagai bekal di alam baka. Diiringi doa, peti ditutup dan digotong beramai-ramai untuk dimasukkan ke liang lahat. Tak lupa, beberapa ekor babi dan ayam dipotong, dimasak sebagai sajian penghormatan untuk warga yang datang.
Terdapat pula beberapa obyek wisata alam dan sejarah yang tak kalah menarik untuk dikunjungi. Di antaranya benteng tujuh lapis peninggalan masa penjajahan Belanda dan Jepang. Gua Kalelawar dan air terjun Mauhalek yang tidak pernah kering sepanjang tahun. Terletak di Dusun Fatumuti, Desa Raiulun, Kecamatan Lasiolat, Kabupaten Belu, air terjun Mauhalek dapat dicapai dengan kendaraan bermotor melewati jalan beraspal. Kondisi jalan menuju wisata alam ini masih tidak terlalu ramai bahkan cenderung sepi. Permukaan jalan yang halus dan berpemandangan cantik di kanan dan kiri jalan membuat perjalanan tidak membosankan.
Berbatasan langsung dengan Timor Leste, Atambua menjadi salah satu pintu gerbang masuknya wisatawan asing. Tak heran jika kemudian pemerintah pusat mulai giat melakukan pembangunan di kota ini. Selain pembangunan jalan, sebuah gedung berarsitektur rumah adat di kawasan kota Mota'ain disulap menjadi kantor imigrasi. Untuk mencapai perbatasan, dibutuhkan waktu kurang dari sejam perjalanan darat dari kota Atambua. Kondisi jalan menuju perbatasan ini sepi, mulus, dan rapi. Namun jangan sampai terlena dan menurunkan kewaspadaan. Pasalnya, hewan ternak berupa ayam, sapi, dan kambing kerap berdiri di pinggir atau bahkan di tengah jalan.
Dari gedung ini, wisatawan dapat berjalan kaki mencapai gerbang negara Timor Leste. Jangan lupa, siapkan paspor dan uang sebesar 30 USD jika ingin melanjutkan perjalanan ke Dili atau kota lain di Timor Leste. Tapi, tidak perlu menyiapkan paspor atau membayar jika hanya ingin melihat kondisi di sekitar perbatasan. Tidak banyak yang bisa dilihat di perbatasan ini, namun pengunjung bisa berbelanja di sebuah pasar bebas pajak yang ada di dekat kantor imigrasi Timor Leste. Pasar ini pun belum sepenuhnya beroperasi, dan hanya ada satu toko serta beberapa gerobak makanan dan minuman yang dapat ditemui. Aktivitas jual beli di tempat ini tidak terlalu merepotkan karena pedagang masih bisa berbahasa Indonesia. Bahkan, sayup-sayup masih terdengar musik Indonesia mengalun dari Pos Keamanan penjaga perbatasan Timor Leste. Walau transaksi menggunakan uang dolar Amerika Serikat, rupiah pun masih diterima pedagang. Minuman yang dijual di tempat ini kebanyakan didatangkan dari berbagai negara seperti Portugal dan Australia. Khusus untuk minuman keras, setiap satu orang pengunjung yang akan kembali ke Indonesia tidak diperbolehkan membawa lebih dari satu botol minuman keras.
Menurut data imigrasi, jumlah wisatawan asing yang datang ke Atambua melalui gerbang di Mota'ain menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Agar jumlah kedatangan wisatawan mancanegara terus meningkat, sejak pertengahan tahun 2016, pihak Kementerian Pariwisata menggelar Festival Crossborder. Festival ini dimeriahkan dengan hadirnya beragam musisi lokal dan ibu kota. Setiap bulan, festival ini selalu dipadati pengunjung lokal maupun dari negara tetangga. Festival Crossborder sendiri diadakan di wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Timor Leste, dan Papua Nugini. Selain untuk meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara, acara ini juga dapat mengikat tali persaudaraan dengan negara tetangga, sekaligus branding 'Wonderful Indonesia'.
Musisi ibukota pun kerap meramaikan festival ini. Khusus untuk festival di Atambua, pernah dihadirkan Kikan, Roy Jeconiah, Fade to Black, juga pemenang The Voice Indonesia. Selain diadakan di Atambua, acara serupa juga sempat diadakan di Dili, Timor Leste. Acara ini secara langsung juga membantu menggulirkan roda ekonomi kreatif masyarakat setempat. Masyarakat yang berjualan di arena bazar mengaku, kegiatan ini membuat penjualan mereka naik.
0 komentar:
Posting Komentar