Tanggal 27 Agustus 1883, hari itu masih pukul 10.00 ketika langit berubah gelap. Kala itu, geliat Gunung Krakatau telah mencapai puncaknya setelah pada 20 Mei 1883 gunung ini mulai menunjukkan keaktifannya melalui letusan Gunung Perbuwatan. Abu dari letusan dahsyat ini membuat pagi seketika menjadi 'malam'. Abu yang menyelimuti langit menyebabkan kegelapan hingga radius 200 km dalam waktu 22 jam. Dalam waktu 10-12 hari, hujan abu Krakatau telah bergulir hingga sejauh 6 ribu km, mencapai Semenanjung Afrika. Dan pada 30-31 Agustus 1883, hujan abu telah mencapai pantai barat Australia.
Letusan dahsyat itu membuat abu panas bersuhu tinggi mampu menerobos celah-celah lantai rumah warga yang bertingkat atau pun berbentuk panggung kala itu. Abu panas ini menerobos masuk bagaikan air mancur yang menyebabkan sekitar 2 ribu penduduk Desa Ketimbang menjadi korban dari panasnya abu dan kebakaran. Letusan yang diiringi dengan tsunami itu pun pada akhirnya menjatuhkan hampir 40 ribu korban jiwa. Kini, ratusan tahun telah berlalu. Letusan dahsyat itu telah menyebabkan Pulau Krakatau terpecah menjadi Pulau Sertung, Pulau Panjang, Pulau Rakata, dan juga yang terbaru Pulau Anak Krakatau. Pada Pulau Anak Krakatau terdapat gunung api yang tumbuh dari kaldera Krakatau purba. Meski 'kecil', Gunung Anak Krakatau yang berada dalam kawasan cagar alam ini memiliki aktivitas yang sangat aktif.
Untuk menuju Gunung Anak Krakatau, harus melakukan perjalanan laut dengan menggunakan kapal. Biasanya, orang-orang yang hendak menuju Gunung Anak Krakatau akan memulai perjalanan dari Dermaga Canti, menuju Pulau Sibesi terlebih dahulu. Dari Dermaga Canti, ada kapal-kapal reguler yang siap membawa penumpang dari dan menuju Pulau Sibesi dengan tarif Rp 25-35 ribu per orang. Kapal-kapal reguler ini memiliki jadwal pelayaran tetap. Pelayaran dengan rute Dermaga Canti-Pulau Sibesi terjadwal setiap pukul 13.00 waktu setempat, sedangkan rute Pulau Sibesi-Dermaga Canti terjadwal setiap pukul 07.00. Penjadwalan ini membuat orang-orang yang akan menuju Gunung Anak Krakatau umumnya akan memilih untuk menginap di Pulau Sibesi dengan tarif sekitar Rp 350-500 ribu per malam. Tak jarang pula, orang-orang memilih untuk menyewa kapal pribadi dengan merogoh kocek yang lumayan besar dibandingkan menunggu jadwal kapal reguler.
Perjalanan membelah laut menuju Gunung Anak Krakatau memang cukup lama. Namun, kita akan merasa terhibur dengan pemandangan langit yang cerah, hamparan laut biru sejauh mata memandang dan pemandangan beberapa biota laut yang berenang mendekati permukaan. Sayangnya, pemandangan indah di lautan lepas tersebut kadang diselingi dengan sampah yang terhanyut di tengah laut. Setelah melalui perjalanan laut yang cukup berombak selama lebih kurang empat jam, kita pun akhirnya bisa menginjakkan kaki di kawasan cagar alam Pulau Anak Krakatau. Pulau Anak Krakatau yang terletak di perairan Selat Sunda ini dikelilingi oleh hamparan pasir berwarna hitam yang unik. Sebelum melakukan pendakian Gunung Anak Krakatau, akan ada pengarahan terlebih dahulu yang diberikan oleh petugas BKSDA Lampung. Mengingat Gunung Anak Krakatau merupakan kawasan cagar alam, sangat dianjurkan untuk tidak menangkap, membunuh, atau membawa satwa masuk ataupun keluar dari kawasan. Selain itu, pengunjung yang akan mendaki juga tidak boleh membuat coretan, menempel sesuatu, membuang sampah sembarangan, menggali lubang yang dapat mengganggu satwa liar, serta tidak diperkenankan untuk melakukan pendakian di luar jalur dengan alasan keamanan.
Cukup hanya berbekal masker dan air mineral, pendakian pun bisa dimulai menuju batas aman yang diperbolehkan untuk didaki, yaitu puncak pertama yang menjulang setinggi 200 meter di atas permukaan laut. Pengunjung tidak diperkenankan mendaki hingga puncak kedua yang memiliki ketinggian nyaris dua kali lipat dari puncak pertama karena alasan keamanan. Perjalanan dimulai dengan memasuki kawasan hutan. Di sini mata kita akan disuguhkan pemandangan dengan warna-warna kontras yang berasal dari perpaduan pasir hitam, batang pohon mati, hingga hijaunya pepohonan yang tumbuh menjulang. Samar-samar, telinga kita juga akan mendengar kicauan burung dari kejauhan yang seakan sedang menyemangati kita untuk terus mendaki. Kicauan burung ini terdengar dari segala penjuru, karena Pulau Anak Krakatau memang memiliki 22 jenis burung menetap dan 20 jenis burung migran.
Setelah melewati hutan, kita pun mulai memasuki jalur pendakian yang ternyata menjadi semakin terjal, berpasir, dan juga dipenuhi batu-batu hasil dari muntahan Gunung Anak Krakatau. Oleh karena itu, perlu waktu paling cepat sekitar 30 menit bagi pendaki awam untuk bisa mencapai puncak pertama dari Gunung Anak Krakatau. Ketika kita telah berhasil menginjakkan kaki di puncak pertama Gunung Anak Krakatau, indra penglihatan kita yang semula hanya melihat hamparan pasir hitam, bebatuan, dan batang-batang pohon, seketika dimanjakan oleh pemandangan luar biasa indah yang terlihat dari puncak atau pos pertama Gunung Anak Krakatau. Kita akan bisa melihat birunya hamparan Selat Sunda yang seakan mengepung keberadaan kita. Warna perairan yang biru seakan saling beradu dengan warna biru langit yang terlihat cerah. Pemandangan ini pun semakin menawan dengan pemandangan Gunung Rakata, Pulau Sertung hingga Pulau Panjang yang menjulang kokoh mengelilingi Gunung Anak Krakatau,
Tentu, perjalanan singkat menjejakkan kaki di Gunung Anak Krakatau tak sekedar menjadi pengalaman yang mendebarkan hati. Lebih dari itu, perjalanan singkat ini juga berhasil membuka mata kita untuk menyadari bahwa ada banyak 'warisan' alam yang perlu kita jaga dan lindungi dengan saling bergandengan tangan. Sehingga pada masanya nanti, anak-cucu kita tidak akan hanya menikmati keindahan 'warisan' alam yang menakjubkan tersebut melalui penuturan cerita belaka.
0 komentar:
Posting Komentar